Selasa, 29 Juni 2010

The Diary of a Traveler: Solitary Tour (2)

Perjalanan belum selesai. Saya sadari itu tak lama setelah menghela napas saat duduk di bangku tamu sambil menyantap jatah makan dari yang punya hajat. Saya berniat untuk langsung pulang ke Jakarta dengan naik bis terakhir paling malam dari Purwokerto. Itupun dengan resiko bukan bis AC, tapi bis ekonomi. Mau naik kereta, rasanya saya tidak punya waktu lebih banyak untuk mencoba semua kemungkinan yang ada walau saya masih berkuasa penuh atas diri saya.

Suasana Terminal Bis (Baru) Purwokerto

Kembali ke Purwokerto dengan bis ¾ yang tanpa nama, maksudnya nama PO bis itu tidak terlihat kecuali seluruh bodi yang dipulas coklat. Ongkosnya lebih murah 2 ribu dibandingkan dengan pada saat berangkat tadi. Ini menjadi pertanyaan bagi saya, apakah saya terlihat sebagai pendatang baru di kota ini sehingga si kondektur menarik ongkos pada perjalanan pertama? Bisa saja. Pelajaran lagi untuk saya, daripada tidak tahu sama sekali mendingan sok tahu dan jangan banyak tanya kondektur.

Mendung menggelayuti langit Purbalingga, pertanda bagi awan untuk segera menumpahkan air dari bak penampungannya. Sepanjang jalan, saya teringat sesuatu. Saya teringat pada episode A Trip to Surabaya Oktober 2007. Ya, saya pernah lewati kota ini, Bukateja yang sepi. Ingatan itu tiba-tiba menyeruak begitu saja ketika melihat pemandangan dan pohon-pohon yang berjajar sepanjang jalan Purbalingga-Purwokerto.

Suasana Terminal Bis (Baru) Purwokerto (2)

Hujan semakin menangis. Meninggalkan embun di kaca jendela. Kota yang sudah terlanjur sepi jadi semakin sepi. Purwokerto menyambut senja dalam guyuran hujan. Getuk goreng yang semula masuk daftar oleh-oleh terpaksa dicoret. Biar di terminal banyak yang jual tapi tetap rasanya nggak sreg kalau nggak beli di tempat oleh-oleh yang beneran.

Menjelang senja penutupan, aktivitas terminal benar-benar berkurang. Bis antar kota tujuan Wonosobo tinggal menyisakan bis pamungkas. Kecuali tujuan Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung dimana pemain utama jalur itu mulai bersiap-siap. Sinar Jaya, Dewi Sri, Aladdin, dan Harum mulai memasuki apron. Aroma buangan mesin diesel menyeruak ke udara yang basah. Malam datang begitu saja membawa gelap tanpa guratan matahari senja yang biasanya selalu mengagumkan.

Saya bisa saja pulang ke Jakarta dengan bis AC terakhir jam 9 malam dan masih punya waktu 2,5 jam untuk sekedar melihat-lihat Ibukota Republik Banyumas itu. Tetapi, apa yang bisa dilakukan seorang pengembara dalam hujan deras seperti itu? Akhirnya, saya memutuskan untuk mampir dulu ke Bandung saja. Lagipula, Aladdin sudah menunggu dan siap untuk berangkat ke Bandung. Kalau Aladdin bisa melaju tanpa hambatan berarti saya bisa tiba di Bandung sekitar tengah malam, atau paling lambat jam 00.30. Kejadian seperti ini berulang lagi sama halnya ketika Tour de Pangandaran Desember 2008, saya datang naik bis AC dan pulang naik bis ekonomi. :D

Aladdin, Purwokerto-Bandung

Keluar terminal bis berhenti sejenak untuk mengisi angin ban. Tak hanya itu saja, rupanya saringan udara pun ikut dibersihkan oleh tukang semprot angin dan hasilnya, Omaigat, debunya banyak banget. Tandanya saringan sudah lama tidak dibersihkan. Tidak ada jaminan bis ini akan sampai dengan selamat sentosa tanpa hambatan berarti dan hal itu semakin membuat waswas. Ingin rasanya saya turun dan ganti naik bis AC yang datang jam 7 kurang. Ketika saya akan beranjak turun, bis jalan lagi dan saya pun urung turun. Tidak seperti ketika di bis ekonomi Perkasa Jaya Jakarta-Pangandaran yang semakin membuat saya ingin cepat-cepat turun kabur dan segera bersembunyi di balik jendela Budiman Jakarta-Banjar.

Mudah-mudahan setelah disemprot dan dibersihkan bis tua Aladdin ini mampu berlari di jalur selatan. Kondektur menagih dan saya bayar tiket seharga 45 ribu. Saya rasa cukup mahal untuk tujuan Bandung dengan bis ekonomi seperti ini. Saya pikir harganya sekitar 35 ribu atau 40 ribu. Barangkali, bayar mahal sedikit tidak apa-apa kalau untuk sesekali saja mengingat armada yang digunakan Aladdin juga menyerap biaya operasional (yang tentunya) sangat tidak sedikit.

Perjalanan masih panjang. Itulah yang ada di pikiran saya. Apalagi bis yang saya naiki bis kelas eksekusi eh ekonomi, dengan segala macam ketidaknyamanannya. Rasanya tidak fair juga kalau saya membandingkan Aladdin dengan Sinar Jaya 79 DX. Tetapi, karena hujan masih akan turun sepanjang perjalanan tidak banyak penumpang yang membuka jendelanya. Maka saya membuat suasana senyaman mungkin. Saya nyalakan Si Ngipod, MP3 player yang dibeli setelah pensiun dari SIS. Sisa baterainya tinggal setengah lagi dan itu pasti tidak akan cukup untuk memutar lagu sampai di Bandung nanti sekalipun Aladdin ngeblong habis-habisan.

Saya pasang headset dan mulai menikmati lagu ketika sepasang mata menatap tajam ke arah saya. Seorang anak kecil perempuan duduk diapit kedua orang tuanya yang tertidur pulas-hingga celangap. Sepintas saya balas menatapnya lalu saya biarkan saja anak kecil itu. Mungkin yang ada dipikirannya adalah ada seorang aneh yang berkomat-kamit sambil menatap kosong dalam keremangan bis malam ekonomi. Itu kalau saya tidak salah selebihnya hanya Tuhan yang tahu.

Generally, bis melaju tidak terlalu kencang. Mungkin efek dari raungan mesin yang membuat bis ini serasa berjalan kencang. Hanya sesekali pak supir menggenjot gas dalam-dalam ketika disusul Budiman dari Wonosobo, Sinar Jaya dan Doa Ibu dari Majenang dan Wangon. Hujan pun belum enggan reda. Alhasil, entah karena perasaan saja, perjalanan terasa semakin panjang, seperti hidup ini.

Selepas Majenang menjelang perbatasan Jateng-Jabar seharusnya pemandangan indah itu jelas terlihat andai saja matahari bersedia bertukar tempat dengan malam. Bis terus melaju sambil terus menurunkan dan menaikkan penumpang. Sampai di Banjar Aladdin masuk terminal, yang jelas bukan untuk mencari si Abu atau Jin yang bersemayam di lampu wasiat. Lajur keberangkatan diisi oleh Doa Ibu Banjar-Jakarta Ekonomi via Cianjur-Puncak dan Budiman dengan stiker khas di jendelanya: EURO 2 BANJAR-JAKARTA Eksekutif.

Setiap lewat Banjar saya selalu teringat pada Rumah Makan Beti yang terletak di sebelah kanan jalan arah Jateng/Pangandaran (dari Bandung) 200 m sebelum pertigaan yang belok kanan arah Pangandaran. Waktu saya kesana (A Trip to Surabaya, Oktober 2007) memang tidak ada sesuatu yang wah dan spesial dari rumah makan ini. Tetapi, paman saya yang sering mampir kalau mudik ke Magelang punya alasan sendiri. “Masakan ikannya gak bau tanah dan hanyir. Kopinya juga bikin melek kok. Terus ikan bakarnya enak.”

Sekilas, memang menunya kurang lebih sama dengan rumah makan khas Sunda sejenis yang ada di jalur lintasan antar kota. Barangkali, nilai lebihnya si Beti terletak pada apa yang disebutkan paman saya. Untuk pembaca yang kebetulan sering lewat jalur selatan saya rekomendasikan untuk istirahat mengisi perut di Rumah Makan Beti. Dari jalan raya, anda sekalian tidak akan kesulitan menemukan RM Beti karena papan namanya “ngajeblag” (baca: cukup besar) dan ada efek spotlightnya bila tersorot cahaya.

*

Setelah melewati terminal Ciamis yang sepi, waktu tepat menunjukkan pukul 23.00 WITA (Waktu Indonesia Bagian Tasik). Hujan tinggal menyisakan gerimis di Kota Tasik yang sudah sepi. Yang tertinggal di terminal hanyalah para penjual rokok dan mi instan yang tertidur dekat kiosnya masing-masing. Di lajur apron Budiman, dua bis eksekutif tujuan Jakarta sudah bersiap. Yang satu akan berangkat 23.30 dan satu lagi 01.00 ke Kampung Rambutan tentu saja.

Kalau saya boleh menyarankan, seandainya pembaca jalan-jalan ke daerah selatan Jabar-Jateng dan akan kembali ke Jakarta, banyak alternatif yang bisa ditempuh. Saya pelajari dan merangkum hal ini dari pengalaman Tour de Pangandaran sebelumnya. Apabila anda ingin menghabiskan malam di jalan supaya sampai pagi/subuh ke Jakarta, usahakan untuk tiba di Terminal Banjar sebelum jam 23.00 karena saat itu ada bis terakhir Budiman tujuan Jakarta, AC Eksekutif dengan tarif 55 ribu, tidak include makan dan istirahat di Rumah Makan Grupnya Budiman di Nagreg. Kalau mau lewat Tasik, seperti sudah saya tulis diatas, Budiman Tasik-Jakarta Eksekutif AC masih melayani sampai pukul 01.00 dini hari. Tarifnya 45/50 ribu. Asumsi ini saya buat berdasarkan pengamatan saya di lapangan terutama pada waktu weekend. Mudah-mudahan berguna bagi pembaca yang senang jalan-jalan apalagi kalau juga senang naik bis seperti saya ini.

Kembali ke perjalanan. Aladdin berhenti sekalian istirahat sekitar 40 menit. Saya kira Aladdin akan berhenti di rumah makan atau tempat jajan oleh-oleh bukan di terminal. Saya hanya bisa mengangguk ketika menyadari yang dimaksud Tasik oleh kondektur tadi itu adalah Terminal Tasik bukan tempat istirahat di Tasik. Memang setelah membayar tiket saya sempat bertanya akan istirahat dimana. Dan seharusnya saya sudah tahu dari jawaban kondektur yang tidak meyakinkan itu bahwa akan ada sesuatu yang terjadi, dan itu terjadi saat istirahat ini.

Saya tidak keberatan bila Aladdin beristirahat di terminal. Lagipula saya masih punya bekal makanan dari Neni. Hal ini menimbulkan perasaan was-was apakah bis akan istirahat lagi nanti. Tetapi, saya juga semakin menyadari bahwa saya sekarang sedang ada dalam perjalanan dimana masih banyak variabel yang mungkin berubah. Saya berada jauh dari zona nyaman yang sudah terlanjur melekat belakangan ini. Itulah pelajaran yang saya rasakan di perjalanan saya kali ini. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Purbalingga sendirian. Kalau diingat kembali jarak yang sudah saya tempuh sejak dari Metro Mini Ciledug-Blok M, Sinar Jaya 79DX, hingga PO Tanpa Nama, saya hanya bisa mensyukuri bahwa saya masih sehat wal afiat dan masih sanggup mengakhiri perjalanan edisi Solitaire Tour*** ini.

Perjalanan dilanjutkan. Berdasarkan pengalaman, hambatan selanjutnya adalah Nagreg. Ada selentingan yang beredar dari orang-orang terminal kalau di Nagreg sedang macet. Suatu hal yang lumrah sekaligus aneh di tengah malam seperti ini. Mungkin saja, barangkali ada trailer/tronton nggak kuat nanjak. Keluar terminal, saya langsung tidur. Berhubung tidak ada pemandangan lagi dan si Ngipod juga kehabisan tenaga. Sempat terbangun sebentar, dan memang benar saudara-saudara sekalian, Nagreg Macet! Saya tidur lagi.

Angin yang berhembus dari jendela yang terbuka membangunkan saya. Saya segera menyadari bahwa sekarang sudah berada di Cipacing dekat Cileunyi. Saya tertidur lagi karena mungkin setengah jam lagi bis tiba di Cicaheum. Saya kembali terbangun tepat di depan LP Sukamiskin. Saya segera bersiap untuk turun tapi mata ini masih berat akhirnya saya tidur lagi sebentar. Klakson bis di terminal yang sepi membangunkan saya. Hawa dingin Bandung kembali menusuk seperti biasa. Tidak ada aktivitas di terminal. Bis Aladdin segera parkir di jalurnya, ditemani Sami Djaya. Dekat pintu keluar, supir angkot ramai berkumpul di depan TV. Brazil VS Pantai Gading. 02.45 WIB (Waktu Indonesia bagian Bandung).

*

Kalau pembaca mengira perjalanan saya selesai sampai di Cicaheum maka anda semua salah. I still have a long way to go after all the long road on this trip. Sambil terkantuk-kantuk saya naik angkot Cicaheum-Ciroyom yang hanya butuh waktu setengah jam saja untuk sampai di Jl. Pajajaran. Di suatu daerah dekat situ yang sering disebut Pandu, saya turun, masih dengan rasa kantuk namun angin dinginnya memaksa mata saya untuk selalu waspada. Maklum, dini hari begini banyak hal yang biasanya terjadi. Saya berjalan menyusuri Jl. Samiaji dan berbelok di Jl. Teluk Buyung. Walaupun bukan di rumah sendiri, still feels like home. 02.20 WIB. Rupanya yang punya kamar sudah tahu kalau saya bakal datang sehingga saya tidak menemui banyak kesulitan untuk menyaksikan pertandingan Brazil VS Pantai Gading. This is the end beautiful friend****.

*

Catatan Setelah Perjalanan

Perjalanan adalah petualangan menuju diri sendiri. Bagi saya pribadi, melakukan perjalanan sendirian adalah pekerjaan yang tidak ringan sama sekali. Betapa banyak pergolakan dalam pikiran ini. Karena bagimanapun dan apapun yang terjadi saya bertanggungjawab atas sukses atau gagalnya perjalanan. Selain itu, menjadi tidak gampang karena saya melakukan perjalanan ke suatu bagian dunia yang saya hanya tahu letaknya saja dalam peta dan cerita dari kawan-kawan di forum www.bismania.com. Namun, ketika saya sudah melangkah saya semakin tahu kemana tujuan saya dan apa saja yang harus saya lakukan untuk mencapai tujuan itu.

Saya semakin belajar bahwa bagian terpenting dari perjalanan adalah tujuannya, bukan caranya. Tujuan itulah yang seharusnya jadi fokus perhatian karena tanpa fokus, perjalanan akan kehilangan esensinya. Dalam perjalanan itupun betapa masih banyak variabel yang akan berubah dan kadang-kadang terjadi begitu cepat. Misalnya, jadwal keberangkatan bis yang berubah. Hal itu tentu saja menyulitkan tetapi dengan persiapan yang matang saya yakin semua itu hanya akan jadi bumbu cerita dan bahan pelajaran untuk perjalanan selanjutnya.

Ketersediaan informasi melalui berbagai media harus dimanfaatkan dengan baik sebagai persiapan terlebih ketika tujuan perjalanan adalah daerah yang pertama kali dikunjungi. Supaya tetap bisa fokus pada tujuan, saya sarankan lebih baik mengadakan riset kecil-kecilan. Untuk bekal di jalan, selain makanan dan snack, saya juga sarankan untuk membawa peta. Tidak usah peta besar/lengkap, cukup peta ukuran saku yang biasanya dibagikan secara gratis setiap musim mudik. Hal ini sangat berguna untuk memperhitungkan jarak dan waktu perjalanan. Apabila anda senang bercerita, siapkan juga catatan untuk menuliskan cerita perjalanan anda.

Hal lainnya, saya juga semakin sadar bahwa saya harus belajar bahasa Jawa. Alasannya sederhana, kemanapun saya pergi saya selalu bertemu dengan orang Jawa. Alangkah baiknya bila saya mampu berkomunikasi dengan mereka walau hanya untuk sekedar bertanya. Selain itu, saya tidak ingin dianggap sebagai orang asing terutama di tanah mereka sendiri sehingga saya harus bisa menjalin keakraban dengan mereka.

Akhirul kalam, setiap perjalanan adalah membuka segala kemungkinan yang masih dimungkinkan oleh takdir karena segala sesuatunya bisa berubah begitu cepat. Manusia melakukan perjalanan karena ada yang dituju, seperti hidup ini juga. Tinggal bagaimana caranya untuk mencapai tujuan itu. Cara yang baik akan menghasilkan kebaikan, begitu juga sebaliknya.



Paninggilan-Banjarbaru-Bandung, 29 Juni 2010. 23.18


*** Nama Solitaire diambil dari kata Soltero/Soltera yang dalam bahasa Spanyol berarti Single. Namun, penulis kemudian menyadari bahwa Solitaire berarti card game, single gemstone, dan songbird (Kamus Encarta DVD 2009). Selain itu, alasan lainnya adalah karena lagu Solitaire (Carpenters) versi Clay Aiken selalu terngiang sepanjang perjalanan. Barangkali setelah cerita ini selesai ditulis judulnya akan diganti menjadi “Solitary Tour”.

****dari lirik lagu The Dorrs, “The End”

*) Foto Terminal Bis Purwokerto courtesy Reski Harimurti, Aladdin courtesy Julian Bismania taken from www.bismania.com


The Diary of a Traveler: Solitary Tour

Seperti yang pernah saya baca, perjalanan adalah petualangan menuju diri sendiri*. Dan kini, saya sedang mengalami perjalanan itu. Tujuan saya sudah jelas, Desa Kedungjati, Bukateja, Purbalingga. Semalaman, saya mengalami kebingungan yang lumayan mengganggu. Saya tak henti berpikir untuk menentukan terminal keberangkatan. Namun, saya segera tersadar bahwa dalam perjalanan yang terpenting adalah tujuan akhir, bukan dari mana kita berangkat. Berangkat bisa dari mana saja sepanjang pengetahuan kita memang memadai untuk mencapai tujuan itu. Maka, alternatif keberangkatan pun diputuskan antara terminal Grogol atau Pulogadung.

Mengingat saya harus bangun lebih pagi untuk mengejar bis yang berangkat pagi saya berusaha untuk menghindari pertandingan Inggris kontra Aljazair. Tetapi seringkali kenyataan berkata lain, saya malah bangun kesiangan sehingga mau tidak mau harus berangkat naik bis dari Pulogadung. Ya, pilihan paling logis untuk berangkat ke arah timur (Jawa Tengah dan Jawa Timur) adalah dari Pulogadung karena bis selalu tersedia dengan jadwal yang fleksibel.

Walaupun saya sudah sering bolak-balik ke terminal Pulogadung, saya belum pernah sekalipun naik bis arah timur dari sana. Tadinya, saya mau beli tiket lewat loket-loket yang tersedia. Namun, sebelum dihadang calo-calo yang berkeliaran saya memutuskan untuk berjalan kaki agak jauh hampir mendekati pool PO Dewi Sri sambil berharap ada bis Sinar Jaya lewat siap berangkat. Tak lama kemudian, Sinar Jaya AC Eksekutif Jurusan Jakarta-Tegal-Slawi nomor bodi 79 DX bermesin Hino RG dan dilengkapi air suspension menghampiri saya. Saya pun naik dan berharap sampai tujuan tepat waktu. Walau masterplan tetap Bukateja, Purbalingga, saya akan mampir dulu di rumah seorang kawan di Losari, Brebes. Mudah-mudahan, bis ini mengantarkan saya sampai sana sampai ceritanya berubah, nanti kau akan simak ceritanya.

Sinar Jaya dari Pulo Gadung
79DX yang saya naiki karoseri model Setra bukan Travego seperti ini


Sedikit kembali ke awal. Perjalanan ke Pulogadung hingga selepas tol JORR Cakung-Cikunir adalah tentang kenangan. Kenangan yang terlintas ketika hanya mampu berdiri menunggu Metro Mini P42 sedangkan Sinar Jaya dan bis AKAP lainnya hanya menyisakan debu-debu yang bertebaran and semburat dihajar asap knalpot yang hitam pekat. Kenangan lainnya saling beradu ketika terbayang segala ingatan tentang bis kecil dan Primajasa yang selalu keluar-masuk pintu tol Bekasi Timur. Untuk saya pribadi, pertama kalinya saya melintas jalur Pantura (dari Jakarta) dan pertama kalinya pula (nanti) merasakan jalan tol Kanci-Pejagan yang kemarin baru diresmikan.

Perjalanan ini terasa sangat menyenangkan karena saya hanya sendirian. Saya memiliki kebebasan dan kuasa penuh atas diri saya sendiri. Sendirian tanpa teman bagi saya bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan. Itu adalah konsekuensi logis dari tindakan seseorang seperti saya. Sebelumnya, Desember 2008 saya pun melakukan perjalanan sendirian ke Pangandaran, berbekal sedikit pengetahuan tentang bis Budiman. Jadi, hal ini mestinya tidak menyulitkan karena saya sudah pernah mengalami sebelumnya. Apapun yang terjadi, ada ataupun tanpa teman, saya akan tetap berangkat. Saya akan sampaikan salam dari teman-teman semua untuk kebahagiaan kedua mempelai walau harus menempuh perjalanan sendirian.

Sepanjang perjalanan, saya ditemani lantunan suara emas bossa nova dari Olivia Ong dan Susan Wong. Lain kali akan saya ceritakan perjumpaan saya dengan mereka. Lagu-lagu yang terkesan soft dan calm itu tidak berhasil membuat saya tertidur. Saya tetap terjaga. Barangkali, karena saya duduk di bangku paling depan sehingga tidak mau ketinggalan untuk melihat pemandangan khas Pantura. Kalaupun ada yang membuat saya sedikit gemas adalah ketika bis Sinar Jaya yang saya naiki disusul bis lainnya seperti Kramat Djati dan Dewi Sri jurusan Jakarta-Pekalongan serta Primajasa tujuan Garut, Tasik, dan Bandung.

Pantura yang gersang namun tetap memberi suatu perasaan yang menenteramkan dengan hamparan sawah yang menghijau luas. Tidak banyak titik kemacetan barangkali karena tengah bulan sehingga tidak terlalu banyak aktivitas kendaraan yang melewati jalur Pantura. Memasuki daerah Lohbener Utara, Indramayu, bis istirahat. Usai makan dan menunaikan shalat, saya mengamati bis yang saya naiki. Mendengarkan suara mesinnya dan melihat dari dekat kaki-kaki air suspension. Sejenak saya diam sambil menggumam “You’ve got a long way to go, Son.”.

Bis kembali berangkat. Setelah melewati daerah Arjawinangun, bis masuk tol Kanci-Pejagan. Saya kira hal ini tidak akan berpengaruh pada rute yang akan saya lalui sampai Losari sampai saya sadar kalau ternyata saya salah. SMS dari Budi, kawan saya, segera mengingatkan saya bahwa bis tidak akan lewat Losari, melainkan langsung bablas sampai Pejagan lalu lanjut ke Tegal. Mengetahui demikian, saya tidak bisa tidur sepanjang jalan tol. Jalan Tol Kanci-Pejagan yang baru diresmikan dan diurus oleh Bakrie Toll Road rupanya masih terlalu baru. Cor-coran jalannya masih terasa keras seperti pertama kali Tol Cipularang dibuka tahun 2005. Yang lebih membosankan adalah jalurnya yang lurus membentang hampir 39 KM. Bagi pengemudi tentu hal ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kantuk. Lagipula, tidak ada tempat istirahat seperi di tol Cikampek-Jakarta. Rasanya bagaikan a long road to heaven**.

Setelah keluar dari pintu tol, bis menuju pertigaan jalan Losari-Tegal. Belok kiri Losari, Belok kanan Tegal. Atas petunjuk Budi, saya turun di pertigaan itu, 100 meter sebelum rel kereta api yang membentang sejajar dengan jalan raya utama. Saya pun segera menghampiri sahabat lama yang kini kembali pulang ke rumahnya di Losari. Jabat tangannya masih hangat dan mantap seperti waktu di Bumi Jatinangor dulu. Sore yang indah dan senja yang masih seperti biasa menutup hari tatkala perut telah terisi masakan rumahan khas Losari.

Malam minggu di Losari adalah malam yang biasa namun hangat. Anak-anak sudah pulang dan tidur di rumahnya masing-masing. Remaja-remaji yang masih mencari jat diri mencoba menghibur hati dengan keliling kota bersama kekasih. Menikmati malam minggu di Losari yang mungkin hanya sekali ini saja dalam episode hidup, saya mencoba untuk menikmati sate longong atau sate blengo, begitu kata Budi, teman saya itu. Blengo adalah hasil persilangan bebek dan mentog, dan hanya jantannya saja yang dagingnya enak buat dimakan. Kenyal-kenyal bebek dan daging sapi. Ditambah nasi atau lontong yang disiram sayur kari. Disajikan dengan tusukan sate yang panjangnya sekitar 30 cm. walau hanya makan 3 tusuk tetapi sudah cukup rasanya. Cukup nikmat dan cukup puas.

Sambil menikmati Tahu Tegal yang tampilannya mirip tahu batagor kami menghabiskan malam. Bulan setengah purnama tersenyum di langit. Angin berdesir pelan. Aroma kopi panas mewangi beradu dengan aroma cengkeh Djarum Super dan Surya Slims. Ada sedikit penyesalan malam itu. Mungkin itu kesalahan saya karena saya tidak cukup responsif untuk meyakinkan Perempuan dari Babakan itu agar mau dan percaya pada saya untuk bersama pergi berdua sampai tempat hajatan. Tiket kereta sialan yang sudah dipesan itu kali ini jadi penghalang rindu. Tetapi, itu tak jadi soal. Seperti yang sudah saya bilang di awal tadi, With or without her, saya akan tetap pergi kesana. Malam semakin meninggi, raungan truk barang terdengar semakin nyaring, persis seperti malam-malam di Jatinangor.

*

Hari Minggu. Lagi-lagi saya underestimate. Saya pikir saya akan sudah berangkat jam 7 pagi. Tetapi kesiangan lagi sehingga harus check-out dari rumah Budi jam 8.30. Itu pun masih sempat sarapan. Rencananya, saya akan lanjut ke Tegal untuk naik bis tujuan Purwokerto. Biasanya, Tegal menjadi transit bis tujuan Purwokerto sehingga akan mudah bagi saya untuk mencapai tujuan. Setelah ketinggalan bis Sahabat jurusan Cirebon-Tegal-Semarang karena terhambat di kasir mini market seberang agen PO. Dewi Sri, akhirnya tiba bis Goodwill trayek Bandung-Tegal-Purwokerto AC Ekonomi. Setelah berdiri sampai pertigaan Pejagan (tempat saya turun kemarin) saya membayar tiket seharga 25 ribu. Lumayan murah untuk perjalanan yang cukup memakan waktu ini.

Goodwill, Bandung-Tegal-Purwokerto, AC Ekonomi

Selanjutnya, perjalanan menuju Purwokerto diselingi dengan pemandangan indah khas Banyumasan selepas perbatasan Kab. Brebes dan Kab. Banyumas. Pemandangan hijau tanah subur alam makmur semakin menandakan kekayaan alam Indonesia ini. Entah karena memang jaraknya masih jauh atau bis yang tidak terlalu ngebut perjalanan terasa panjang. Tepat pukul 13.35 Goodwill masuk terminal Purwokerto. Penampilan terminal tidak jauh berbeda dengan yang saya lihat sebelumnya di website www.bismania.com. Dengan perasaan lega saya turun dari bis sambil plengak-plengok kiri kanan atas bawah, timur ke barat, selatan ke utara. Maklum, ini kali pertama saya menginjakkan kaki di bumi Banyumas.

Dengan sedikit bingung saya susuri satu per satu apron terminal antar kota. Tujuannya jelas: Wonosobo. Seorang calo yang menolak disebutkan namanya memberitahu jalur keberangkatan ke Wonosobo. Sebelum kesana, saya melewati jalur bis lainnya. Ada PO Efisiensi yang lebih popular dengan sebutan “Mbak Efi” dengan armada barunya melayani trayek Purwokerto-Jogja kelas Patas AC, sedangkan saingannya ada Sumber Alam yang menawarkan paket kelas eksekusi maaf kelas ekonomi. Ada juga bis tujuan Solo, Pemalang, dan Surabya. Nah, barulah mendekati ujung sebelum line bis arah Sumatra, yang pada hari itu dikuasai Lorena terselip bis-bis kecil mirip Trans Metro Bandung dengan tujuan Wonosobo.

Saya naik dan tak lama beberapa penumpang yang tadinya bersama saya di Goodwill ikut naik sehingga bis terisi penuh dan langsung meninggalkan terminal. Saya kira bis ini akan melaju dengan kecepatan normal tetapi ternyata saya salah. Karena biarpun kecil dan muatannya penuh, Pak Supir yang entah namanya siapa itu terus memacu bis dengan kecepatan diatas Metro Mini. Alhasil, perjalanan Purwokerto-Bukateja cukup ditempuh dengan waktu 45 menit dan ongkos 8 ribu rupiah saja. Saya turun di Perempatan Pasar Bukateja, tepat seperti SMS dari Neni. Melanjutkan perjalanan, opsi terakhir hanyalah becak. Bukateja hanyalah kota kecil di lintasan Purwokerto-Purwodadi-Wonosobo. Kehidupan kotanya pun masih bercorak tradisional agraris, tidak terlalu semarak dibandingkan Losari atau Cirebon.

Sesuai petunjuk Neni, saya bilang ke penarik becak minta diantarkan ke tempat hajatan di Desa Kedungjati lengkap dengan nama Bapaknya Neni yang saya kira bakal jadi semacam password yang akan mempermudah saya untuk mencapai TKP. Ternyata saya salah (lagi). Bapak penarik becak rupanya tidak tahu dan malah mengantarkan saya ke depan rumah Yang Terhormat Bapak Kepala Desa. Setelah memperkenalkan diri sebagai tamu dari yang punya hajat dan menyebutkan asal dari Jakarta barulah Pak Kepala Desa yang baik hati menunjukkan arahnya. Tak lama kemudian, saya berhasil menuju TKP. Orang terakhir yang saya tanyai adalah tetangga yang punya hajat yang menyambut saya dengan ramah sambil menunjukkan lokasi.

Naik becak membuat saya keringatan namun itu segera terbayar karena Neni rupanya menyambut saya di pintu masuk TKP. Saya langsung bercengkerama dengan orang tua yang punya hajat, Bapak dan Ibunya Neni. Setelah itu, kami saling bertukar cerita tentang apa yang terjadi selama ini diantara teman-teman kuliah sambil menikmati hidangan. Ada fakta yang menarik, bahwa setiap hajatan pernikahan di daerah itu akan berlangsung terus menerus sepanjang hari sampai besoknya walau tenda sudah diturunkan. Menarik, karena saya pikir saya sudah terlalu kesorean dan mungkin saja hajatan sudah selesai. Tetapi, kenyataan bahwa apa yang Budi bilang semalam itu memang kenyataan. Hajatan masih berlangsung dan saya tidak terlambat. I made to the FINISH LINE, but still, you have a long way to go, Son!


(end of Part I: klik untuk sambungan cerita to be continued)


Paninggilan-Banjarbaru-Bandung, 29 Juni 2010. 23.08



*kalau tidak salah ada dalam kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Atas Nama Malam”, Gramedia Pustaka Utama, 1999

** dari satu judul film yang bercerita tentang teroris bom bali, dibintangi Surya Saputra dan Alex Komang. Disutradarai oleh Enison Sinaro. Dirilis Januari 2007, produksi Kalyana Shira Films.

*)foto bis courtesy Rado Sinaga, Julian Bismania, www.bismania.com



Rabu, 16 Juni 2010

The Quotes

"How a story ends has much to do with how it begins"


"I felt all these little things, but after a lifetime of fears i was not afraid. I had done what i thought was right. I had given everything i had to do something i believe in. I had made mistakes but i had made a differences. I was at peace with my choices and their consequences. My soul was still my own."


Kelapa Gading, 5 November 2009.
rewrite here: Paninggilan, 16 Juni 2010. 00.38

* quotes taken from Carly Fiorina's Biography in "Tough Choices", Portfolio Books, London, 2007



Jumat, 11 Juni 2010

A Short Tale of David Foster


Tidak berlebihan untuk mengatakan bila semua yang disentuh David Foster berubah jadi emas-bahkan platinum. Penulis lagu dan produser sekaligus peraih 15 kali Grammy Award (termasuk tiga kali Producer of the year) dengan 44 nominasi, penerima 7 kali Canadian Juno Awards, satu kali Emmy Awards, dan 3 kali nominasi Oscar yang diraihnya dalam 4 dekade kesuksesan yang luar biasa. Bahkan, ia juga berhasil mengorbitkan beberapa penyanyi terbaik dunia sepanjang masa. Untuk keberhasilannya ini beberapa kalangan pengamat musik menamainya, Midas of Music Industry.

Satu dari pencapaian tertinggi dalam karir David Foster adalah konser spektakuler one-night only “Hit Man: David Foster and Friends” yang menampilkan Andrea Bocelli, Michael Buble, Josh Groban, Celine Dion, Peter Cetera, Kenny G, Brian McKnight, Katherine McPhee, Blake Shelton, penyanyi debutan Charice, dll. Rekaman konser itu juga tersedia dalam CD dan DVD.

Dalam konser tersebut, ia tampil sebagai host yang tentu saja menambah daftar panjang bakat dan keahliannya. Selain tampil sebagai host dalam konser tersebut, David Foster juga berperan membawakan welcome highlight dengan menampilkan beberapa hits nomor satu dan lagu-lagu favorit pemenang berbagai penghargaan. Rencananya, biografinya yang berjudul “Hit Man: Forty Years Making Music, topping the Charts and Winning Grammies” akan dirilis pada 11 November. Setelah itu, konser ini akan disiarkan di PBS pada bulan Desember.

David Foster berkarya di jalur musik sejak tahun 1973 dan dengan cepat segera mendapat reputasi sebagai kibordis yang disegani. Ia juga sering diminta tampil untuk mengiringi musisi lain. Sebut saja John Lennon, Diana Ross, George Harrison, dan Rod Stewart. Pada akhir tahun 1970, ia mulai beralih untuk menulis lagu dan memproduserinya seperti ketika bekerjasama dengan Earth, Wind and Fire yang menghasilkan lagu “After The Love Has Gone” dan “Got To Be Real” yang meraih sukses besar.

Karirnya pun semakin menanjak pada tahun 1980-an ketika ia memproduseri sekaligus menulis beberapa lagu luar biasa yang masuk dalam jajaran single No.1, seperti “Hard To Say I’m Sorry” dari Chicago, “The Glory of Love” Peter Cetera, dan “Man in Motion” John Parr. Sementara menyelesaikan multi-platinum selling songs dari OST Ghostbusters, Footloose dan album 16, 17, dan 18 dari Chicago, pada periode ini juga ia masih memproduseri dan menulis lagu untuk Alice Cooper, Al Jarreau, Hall and Oates, Kenny Rogers, Kenny Loggins, Boz Scaggs, dan Olivia Newton-John.

Periode 1990-an reputasinya kembali menghasilkan beberapa hits seperti hit pertama Celine Dion “The Power of Love”, “Unforgettable” Natalie Cole, “Have You Ever” Brandy, “Music of My Heart” Gloria Estefan dan N’Sync, serta single “Somewhere”dan album “Back To Broadway” dari Barbara Streisand. Pada tahun 1993, ia kembali menikmati tahun yang sangat berharga dimana ia dianugerahi Billboard Magazine’s "Top Singles Producer”, "Top R&B Producer," dan Top Grammy Nominee dengan 7 nominasi yang mengejutkan. Diatas itu semua, ia mendapatkan penghargaan “Producer of The Year” untuk soundtrack film The Bodyguard.


Setelah melewati tahun yang menggembirakan sepanjang 1993, David Foster tetap berkarya dan menapaki kesuksesan kembali pada tahun-tahun berikutnya (1994-1997). Ditandai dengan beberapa hits yaitu “Unbreak My Heart” Toni Braxton, “I Will Always Love You” Whitney Houston, “I Swear” All-4-One dan “Because You Loved Me” Celine Dion. Single-single tersebut berhasil meraih posisi No.1 pada tangga lagu Billboard Pop Singles dan berhasi memecahkan rekor dengan bertahan selama 42 minggu.

Pada akhir 90-an, David Foster mendirikan 143 (I Love You) Records dan bermitra dengan Warner Brothers. Dibawah label barunya, ia mulai merekrut beberapa bakat baru yang luar biasa. Tercatat nama-nama tenar seperti, The Corrs, yang telah menjual 30 juta kopi rekaman, Plus One, Grup Penyanyi Lagu Rohani, dan Kevin Sharp, bintang televisi dan penyanyi country yang meraih platinum.

Memasuki milenium baru merupakan awal bagi David Foster untuk kembali menemukan gairah dan bakat baru. Ia kembali dan memproduseri Josh Groban, yang dikritik karena albumnya diklaim telah terjual sebanyak 17 juta kopi. Pada 2007, Josh Groban dan David Foster berpasangan untuk album Natal “Noel” yang memecahkan rekor sebagai album Natal terlaris tahun 2007 dengan lima minggu berturut-turut bertahan di chart no.1 dan terjual sebanyak 3,7 juta kopi.

Selanjutnya, ia melirik Michael Buble, yang juga berasal dari Kanada. Seorang penyanyi dengan soft low voice yang albumnya, Call Me Irresponsible berhasil menduduki peringkat 2 chart Billboard dan menjadi nomor satu beberapa minggu kemudian. Album itu sendiri telah terjual lebih dari 5 juta kopo di seluruh dunia. Proyek terbaru darinya adalah bekerjasama dengan storyteller sekaligus musisi, Peter Cincotti. Album ke-2 dari Peter Cincotti, East of Angel Town, berisikan paduan dari funk jazz, rock dan blues. David Foster tidak berhenti dan terus mencari untuk menemukan bakat-bakat baru seperti Renee Olsted dan pianis William Joseph.

Diluar dari petualangannya untuk menemukan bibit-bibit baru, ia juga kembali bekerjasama dengan beberapa nama besar dan veteran dalam industri musik. Ia memproduseri album peraih platinum milik Andrea Bocelli, Amore, bersama dengan tambahan DVD/CD combo, Under the Desert Sky. Ia juga memproduseri dan menulis bersama dengan Carol Bayer Sager untuk lagu peraih Golden Globe, “The Prayer” yang dibawakan oleh Celine Dion dan Andrea Bocelli, dan beberapa hits untuk Madonna dan Michael Jackson. Kemudian, ia juga memproduseri beberapa album lainnya seperti duet Nicole Kidman “Come What May” dalam soundtrack film Moulin Rouge, album multi-platinum Celine Dion “Miracle” dan juga diberi kehormatan untuk membuat lagu penutup Olimpiade Musim Dingin 2006 bersama Amy, putrinya, dimana mereka menulis dan memproduserinya bersama.

Kesuksesan dan pencapaian hebat David Foster dalam industri musik selama 3 dekade terakhir juga membawakannya kesempatan untuk berkontribusi pada masyarakat disekitarnya terutama pada anak-anak. Pada tahun 1986, ia mendirikan David Foster Foundation yang bermarkas di Kanada sebelah barat, dimana ia sering mengadakan fundraising dana amal untuk membantu anak-anak yang membutuhkan transplantasi organ. Ia juga tampil pada beberapa acara amal, seperti the Andre Agassi Foundation, Race to Erase MS, Muhammad Ali’s Fightnight Foundation, Cap Cure Prostate Cancer Research Foundation, Malibu High School Scholarship Program, The Carousel Ball, and Cedars-Sinai Research Center for Woman’s Cancer.

Sepanjang karirnya, David Foster telah menunjukkan dirinya sebagai musisi yang kreatif, pekerja keras, dan perhatian. Ia tumbuh sebagai produser dan penulis lagu papan atas yang telah bekerja dengan banyak nama besar dan berhasil padu dengan mereka untuk menciptakan banyak hits terbaik selama 80-an dan 90-an.

Sebagai penulis dan produser, ia juga berhasil untuk membentuk dan memoles karir dari bintang-bintang muda berbakat. Kecenderungannya untuk menemukan bakat-bakat baru dan juga dedikasi dan kesuksesannya selama 3 dekade terakhir adalah sebuah bukti bahwa ia masih memungkinkan untuk meraih beberapa pencapaian, penghargaan, dan apresiasi untuk karyanya yang mengagumkan. Sepertinya, para penggemarnya akan masih dibuat untuk menunggu karya-karya dari David Foster selama beberapa tahun ke depan.


Nama Lengkap : David Walter Foster
Tanggal Lahir : November 1, 1949
Asal : Victoria, British Columbia, Canada
Genre : Pop, R&B, classical, gospel, adult-contemporary
Profesi : Record producer, composer, songwriter, arranger
Instrumen : piano, keyboards, synthesizers
Website : www.davidfoster.com



Terjemahan bebas dari website & Cross-posting dari tetangga

Kamis, 10 Juni 2010

Carpenters - (Serial Jadul #1)

With their light, airy melodies and meticulously crafted, clean arrangements, the Carpenters stood in direct contrast with the excessive, gaudy pop/rock of the '70s; yet they became one of the most popular artists of the decade, scoring 12 Top Ten hits, including three number one singles.

Karen Carpenter's calm, pretty voice was the most distinctive element of their music, settling in perfectly amidst the precise, lush arrangements provided by her brother Richard. The duo's sound drew more from pre-rock pop than rock & roll, but that didn't prevent the Carpenters from appealing to a variety of audiences, particularly Top 40, easy listening, and adult contemporary. While their popularity declined during the latter half of the '70s, they remained one of the most distinctive and recognizable acts of the decade produced.

The Carpenters formed in the late '60s in Downey, CA, after their family moved from their native New Haven, CT. Richard had played piano with a cocktail jazz trio in a handful of local Connecticut nightclubs. Once the family had moved to California, he began to study piano while he supported Karen in a trio that featured Wes Jacobs (tuba/bass).

With Jacobs and Richard forming her backup band, Karen was signed to the local Californian record label Magic Lamp, who released two unsuccessful singles by the singer. The trio won a Battle of the Bands contest at the Hollywood Bowl in 1966, which led to a record contract with RCA. Signing under the name the Richard Carpenter Trio, the group cut four songs that were never released. Jacobs left the band at the beginning of 1968.

Following Jacobs' departure, the siblings formed Spectrum with Richard's college friend John Bettis. Spectrum fell apart by the end of the year, but the Carpenters continued performing as a duo. The pair recorded some demos at the house of Los Angeles session musician Joe Osborn; the tape was directed toward Herb Alpert, the head of A&M Records, who signed the duo to his record label in early 1969.

Offering, the Carpenters' first album, was released in November 1969. Neither Offering or the accompanying single, a cover of the Beatles' "Ticket to Ride," made a big impression. However, the Carpenters' fortunes changed with their second single, a version of Burt Bacharach and Hal David's "(They Long to Be) Close to You." Taken from the album Close to You, the single became the group's first number one, spending four weeks on the top of the U.S. charts.

"Close to You" became an international hit, beginning a five-year period where the duo was one of the most popular recording acts in the world. During that period the Carpenters won two Grammy Awards, including Best New Artist of 1970, and had an impressive string of Top Ten hits, including "Rainy Days and Mondays," "Superstar," "Hurting Each Other," "Goodbye to Love," "Yesterday Once More," and "Top of the World."

After 1975's number-four hit "Only Yesterday," the group's popularity began to decline. For the latter half of the '70s, the duo were plagued by personal problems. Richard had become addicted to prescription drugs; in 1978, he entered a recovery clinic, kicking his habit. Karen, meanwhile, became afflicted with anorexia nervosa, a disease she suffered from for the rest of her life.

On top of their health problems, the group's singles had stopped reaching the Top Ten and by 1978, they weren't even reaching the Top 40. Consequently, Karen decided to pursue a solo career, recording a solo album in 1979 with Phil Ramone; the record was never completed and she returned to the Carpenters later that year. The reunited duo released their last album of new material, Made in America, in 1981.

The album marked a commercial comeback, as "Touch Me When We're Dancing" made it to number 16 on the charts. However, Karen's health continued to decline, forcing the duo out of the spotlight. On February 4, 1983, Karen was found unconscious at her parents' home in Downey; she died in the hospital that morning from a cardiac arrest, which was caused by her anorexia.

After Karen's death, Richard Carpenter concentrated on production work and assembling various compilations of the Carpenters' recorded work. In 1987, he released a solo album called Time, which featured guest appearances by Dusty Springfield and Dionne Warwick. ~ Stephen Thomas Erlewine, All Music Guide

Origin: New Haven, CT
Decades: 1960's, 1970's, and 1980's

source: jango.com