Sabtu, 24 Juli 2010

Nyanyian Sepanjang Hari #2

06.00 Meja Kerja
Pinokio Instrumental played following Winter Games melody


07.00 Meja Kerja
...cinta satu malam, oh indahnya...


07.30 Meja Kerja
... it came over me in a rush, when i realize that i love you so much...


09.00 Kantin Minerba
... semua terserah padamu, aku begini adanya...


10.00 Ruang Rapat Minerba lt.4
... the winner takes it all, the looser standing small...


12.00 Masjid di daerah Tebet Barat
... Tuhan aku ingin mencurahkan isi hatiku kepada-Mu...




13.59 Meja Kerja (wangi menthol dari Starmild)
... katakanlah, katakan sejujurnya, apa mungkin kita bersatu...


19.30 Meja Kerja
...but you were history with the slamming of the door, and I made myself so strong again somehow...


21.45 Meja Kerja (menghisap Surya Slims Red Label)
...andaikan mungkin ingin aku mengajak kau kembali...


23.55 Meja Kerja (mulai dungdeng,)
...meskipun jauh, ku kan selalu merindukannya...


00.55 Meja Kerja (mata mulai berat, angka-angka sialan terpampang di LCD)
...now the drugs don't work, they just make you worse, but i know i'll see your face again...


Paninggilan, 24 Juli 2010. 01.03

*Pinokio Instrumental, dari album Kahitna, Sampai Nanti (1998), track #5

*Winter Games melody, theme from Winter Olympics Canada 1988, ada di album The Best of David Foster (1992)

*penggalan lirik lagu "Cinta Satu Malam", dinyanyikan oleh Melinda

*penggalan lirik lagu "In A Rush", dinyanyikan oleh Blackstreet

*penggalan lirik lagu "Jangan Ada Dusta Diantara Kita", dinyanyikan oleh Dewi Yull & Broery Pesolima

*penggalan lirik lagu "The Winner Takes It All", dinyanyikan oleh ABBA

*penggalan lirik lagu "Terbalik", dinyanyikan oleh Delon Idol

*penggalan lirik lagu "Katakan Sejujurnya", dinyanyikan oleh Christine Panjaitan

*penggalan lirik lagu "It's All Coming Back To Me Now", dinyanyikan oleh Celine Dion

*penggalan lirik lagu "Mungkinkah", dinyanyikan oleh Kris Biantoro

*penggalan lirik lagu "Meskipun Jauh", dinyanyikan oleh Apel Band

*penggalan lirik lagu "The Drugs Don't Work", dinyanyikan oleh The Verve

Kamis, 22 Juli 2010

Nyanyian Sepanjang Hari

10.07 Meja Kerja

...dingin, dingin, hati ini tambah dingin entah mengapa...


12.00 Busway Blok M-Kota

...show me the meaning of being lonely, this is the feeling I need to walk with...


13.40 Toko Donat depan Wisma Hayam Wuruk

...mengapa ku selalu sendiri, akankah hidupku tiada berarti...




16.30 PPD Cililitan-Blok M

...Cause all of the stars, have faded away, just try not to worry, you'll see it someday...


21.29 Meja Kerja

...biarlah bulan bicara sendiri, biarlah bintang kan menjadi saksi...



Paninggilan, 22 Juli 2010. 22.24

- penggalan lirik lagu "Dingin", dinyanyikan oleh Hetty Koes Endang
- penggalan lirik lagu “Show Me The Meaning of Being Lonely”, dinyanyikan oleh Backstreet Boys
- penggalan lirik lagu “Langit Tak Mendengar”, dinyanyikan oleh Peterpan
- penggalan lirik lagu “Stop Crying Your Heart”, dinyanyikan oleh Oasis
- penggalan lirik lagu “Biarlan Bulan Bicara”, dinyanyikan oleh Broery Marantika

Perjalanan

Setelah mampir dan membaca kembali pesan-pesan yang berseliweran di milis indobackpacker@yahoogroups.com, saya kemudian mengembalikan ingatan saya pada beberapa perjalanan yang pernah saya lakukan. Bersama teman-teman, ataupun sendirian, termasuk ketika menembus belantara Jakarta berduaan dengan teman yang belum pernah ke Jakarta sekalipun.

Rasanya, saya masih akan bisa memenuhi target saya. Minimal, setahun sekali saya harus melakukan perjalanan. AKAP. Antar Kota Antar Provinsi, Antar Kota Antar Pulau., atau Antar Kota Antar Negara. Mengapa begitu? Saya yakin bahwa dengan perjalanan akan membuka pikiran kita dan menghantarkan diri pada pengalaman-pengalaman baru. Hal ini sangat diperlukan mengingat aktivitas padat setahun penuh.

Kadangkala, perjalanan saya perlukan seperti Ramadhan, untuk mengistirahatkan jiwa dan menenangkan pikiran serta membuka hati, bahwa dunia ini masih luas dan menunggu kita. Tuhan pun pasti tidak ingin bumi dan seisinya yang dia ciptakan ini disiakan begitu saja karena Tuhan tentu masih menginginkan hambanya ini menikmati perjalanan sambil mensyukuri tanda-tanda kebesaranNya.

Kalaupun ada tiket perjalanan menuju kesepian terindah maka saya akan membeli dan menghadapinya. Seperti sekarang ini.


Paninggilan, 29 Juni 2010. 16.55
diedit ulang 22 Juli 2010. 00.30

3 Hati 2 Dunia 1 Cinta: Elegi Hari Nanti

Seorang pemuda muslim. Seorang gadis katolik. Will they live happily ever after?

Intisari dari film ini kurang lebih seperti disebutkan diatas. Tetapi, kesan pertama saya terhadap film ini adalah: Henidar Amroe is Back! Stunning! Rupanya, ia membuktikan ucapannya pada suatu interview di acara Just Alvin! Henidar is on-screen, yeah!


Film garapan Mizan Production ini mengangkat tema yang universal dan masih membalas isu yang sama, perbedaan. Perbedaan keyakinan antar tokoh-tokoh utama dalam film ini menjadi tema sentral yang menjadi roh dalam film garapan Benni Setiawan ini. Diceritakan bagaimana Rosid (Reza Rahadian) yang terobsesi menjadi seorang sastrawan wannabe inspired by W.S Rendra berhubungan dekat dengan Delia (Laura Basuki), seorang mahasiswi dari keluarga berada. Keberadaan sastra sebagai bumbu lain di film ini juga cukup membangkitkan kenangan penonton terhadap syair-syair Rendra. Saya terkesan dengan potongan dialog antara Rosid dengan Martha (Ira Wibowo), Ibu dari Delia, “Mama pikir setelah Rendra nggak ada lagi yang mau jadi sastrawan...”.

Hubungan Rosid dan Delia pun semakin berjalan selayaknya kaum muda yang sedang bercinta. Mereka cenderung menjalani perbedaan dengan apa adanya dan saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi, konflik baru timbul ketika kedekatan mereka mulai beralih menjadi sesuatu yang serius. Ada beberapa adegan yang menampilkan rapuhnya nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Betapa kecurigaan dan prasangka terhadap sesuatu yang terlanjur melekat dalam keseharian kita menimbulkan gejolak dalam masyarakat.

Dalam satu adegan digambarkan bagaimana keributan yang terjadi hanya karena perkumpulan yang dibentuk Rosid dan teman-temannya. Kejadian itu pun akhirnya diselesaikan dengan jalan keributan, jalan yang selalu ditempuh beberapa warga masyarakat kita untuk menyelesaikan masalah. Hal ini menampakkan bahwa kebenaran itu bukan sesuatu yang mutlak dan ada di masing-masing kepala. Sehingga, terjadilah benturan yang tidak diinginkan atas dasar prasangka dan kehendak umum-yang kadang-kadang menyesatkan. Bila dicermati lagi, scene itu terkesan mirip dengan beberapa kejadian yang pernah terjadi sebelumnya di Indonesia ini. Kekerasan telah jadi bagian hidup di Negara yang warganya dikenal ramah dan damai.

Konflik utama dari keseluruhan cerita adalah ketika keseriusan Rosid untuk menikah dengan Delia mendapat tentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan: keluarga. Sampai disini, penonton seakan disadarkan kembali bahwa pernikahan adalah bukan hanya sekedar ikatan dua anak manusia, tetapi lebih dari itu. Pernikahan pun melibatkan dimensi-dimensi lain dalam ruang kehidupan seseorang, keluarga itu jelas faktor utama selain lingkungan yang ikut menentukan. Maka, ketika dua dunia meminta dipersatukan timbullah berbagai persoalan. Mulai dari orang tua Delia, Frans (Robby Tumewu) dan Martha yang berniat menyekolahkan Delia ke Amerika dan orang tua Rosid dengan mencarikan jodoh yang sealiran dengan mereka.

Prahara pun kembali muncul ketika 3 hati yang terlanjur bermain dengan perasaan itu bertemu satu sama lain. Nabila (Arumi Bachsin) yang tampil anggun dibalik kerudungnya, rupanya berhasil memikat hari Rosid. Namun, ketika Delia menanyakan tentang kesungguhan Rosid, maka Rosid pun terperangkap pada kenangan masa lalunya bersama Delia. Kesungguhan mereka kembali diuji.

Akhir cerita, Delia dan Rosid akhirnya sepakat pada takdir. Mereka biarkan takdir membawa nasib mereka masing-masing. Delia dan Rosid sepakat pada kata-kata mereka dulu, “Kita liat aja nanti...”.


Catatan Akhir Seorang Kritikus Dadakan

Pada akhirnya, Rosid, Nabila, dan Delia menjalani takdirnya masing-masing. Tidak satupun dari mereka bersatu kembali dalam satu ikatan. Memang nasib takdir tidak menentu. Hal ini semakin menegaskan bahwa ketika anda berpikir bahwa anda bisa mengendalikan segalanya justru yang terjadi adalah kebalikannya: everything’s out of control.

Dalam diskusi seusai pemutaran film Romo Benny Susetyo dan satu pembicara yang saya lupa namanya, mempersoalkan tentang ending dari film yang konon diangkat dari Novel Best Seller dengan judul yang sama. Bagi kedua komentator, selain jalan cerita yang memang mencerminkan perilaku masyarakat kita ditengah himpitan dan benturan antara nilai-nilai modernitas dengan budaya serta tradisi, ending dari film tadi haruslah jelas dan berujung pada satu kesimpulan (conclusion) agar tidak menimbulkan berbagai macam pretensi. Akhir cerita yang demikian tersebut diharapkan mampu memberikan suatu gambaran atau solusi bagi penonton yang kebetulan mengalami kejadian yang sama.

Akan tetapi, saya yakin bahwa ending yang ditampilkan dalam film sudah merupakan suatu keindahan tersendiri. Dalam satu tulisan, saya pernah membaca bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang memberikan kesempatan bagi pembaca untuk menentukan kesimpulan masing-masing. Rasanya tidak berlebihan bila ending dari film ini kemudian berakhir dengan memberikan wacana bagi penonton, sama halnya seperti ciri karya sastra yang baik diatas.

Mempersoalkan perbedaan kini bukan lagi hal yang tabu. Perbedaan itu lumrah karena pada dasarnya kita mengalami pengalaman demikian setiap harinya. Tinggal bagaimana menyikapi perbedaan sebagai keberagaman dalam masyarakat yang multikultur. Dibutuhkan lebih sekedar sekedar pengertian dan pemahaman terhadap konteks keberagaman. Kesenjangan yang menimbulkan gesekan antara nilai-nilai modernitas gaya barat dan nilai-nilai tradisional, seperti terdapat dalam novel Atheis, dapat diminimalisir dengan berbagai cara, diantaranya dialog antar budaya. Menyikapi perbedaan dalam heterogenitas masyarakat mutlak diperlukan untuk mengembalikan dan menegakkan kembali nilai-nilai humanisme universal yang terlanjur pudar dalam wajah masyarakat kita.


Paninggilan, 21 Juli 2010 23.56


*dengan ingatan pada Nonton Bareng & Diskusi Film, 3 Hati: dua dunia, satu cinta, 10 Juli 2010 di Pondok Indah Mall.

crossposting dari tetangga selendangwarna

Senin, 19 Juli 2010

Hujan dan Hal-hal yang (Belum) Selesai

Aninda,
Diluar masih hujan. Rintiknya masih bisa kudengar sangat jelas. Menghantam ruang sunyi disekitar dinding hati. Entah hatiku yang sebelah mana. Pekaknya pun semakin perih kurasa, menimbulkan prahara. Membangunkanku dari lamunan panjang.

Aninda, betapa kuingin mendendangkan lagu bisu sepanjang jalan sunyi. Nyanyian yang hanya bisa kau dengar lewat setiap detak jantungmu. Dalam hujan yang selebat ini kadang-kadang aku selalu membayangkan sesuatu. Aku melihat kau bersama anak-anak kita menyanyikan lagu hujan itu “tik tik tik... bunyi hujan di atas genting...”. Kalau sudah begitu, giliran aku yang merinding. Betapa lirik lagu masa kecil kita dahulu itu berubah jadi momen-momen mengerikan. Aku selalu terbayang matinya seseorang oleh penembak misterius yang entah darimana asalnya. Barangkali, aku hanya terbawa cerita dalam buku itu saja*.

Aninda. Betapa derasnya hujan siang ini mengingatkanku pada dirimu. Usai hujan yang selalu basah di pinggir kota itu. Senja belum merambat, hanya wanginya kadang tercium. Begitulah, menjelang senja terakhir di batas kota, aku cium keningmu sambil berkata selamat tinggal. Kau tidak mengelak sedikitpun. Air mata yang sempat meluncur pun tak kau hiraukan. Kau hanya menatapku dalam. Mungkin hatimu menyanyikan lagu Dian Pisesha itu, “malam ini tak ingin aku sendiri, kucari damai bersama bayanganmu...**”. Tentu kau harap aku juga menyanyikan lagu lain, “bila kau seorang diri, jangan engkau bersedih... bila kau seorang diri, kuingin menemani... kan kuceritakan tentang sekuntum mawar merah... kan kunyanyikan lagu tentang asmara...***”.

*****

Tahukah kau Aninda, bahwa aku pun sama adanya dengan dirimu. Diantara lembaran-lembaran terbuka dan Horison yang menggelepar di atas kasur lipat itu, aku semakin kesulitan menuliskan cerita untukmu. Padahal, aku punya banyak cerita yang hanya kusimpan di kepalaku saja. Bukankah kau selalu ingin tahu konspirasi-konspirasi untuk menentang Hitler, lalu tentang kenapa tiba-tiba Petruk jadi Guru? Belum lagi bedanya Orang dan Bambu Jepang dengan heterogenitas masyarakat kita dan kenapa laki-laki lain dalam secarik surat selalu membuatku resah hingga berujung pada gelisah terindah.

Aku tahu semua tapi aku belum tahu kapan harus menuntaskannya. Hingga kau bisa beristirahat dengan tenang setiap malam. Tanpa harus risau menunggu cerita-cerita yang kukirimkan lewat angin malam. Aku hanya tidak ingin kau hanya mengendus bau rokokku saja setiap malam tanpa ada cerita untuk dibaca menjelang tidurmu. Hujan mulai mereda. Senja belum akan tiba. Aku masih disini, mencoba mengikat makna. Diantara melodi-melodi harmoni Diego Modena dan Jean-Phillipe Audin hingga nyanyian sunyi Olivia Ong. Masih teringat pada butir embun yang mampir di kacamatamu, aku menulis:

Antara hujan, basah, dan gelisah
Mana yang kau restui
Merangkai untaian paling indah
Menghujam sepi, meretas sunyi



Paninggilan, 19 Juli 2010. 15.15


*”Penembak Misterius”, Kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma

** dari lagu “Tak Ingin Sendiri”, dinyanyikan oleh Dian Pisesha

*** dari lagu “Bila Kau Seorang Diri”, dinyanyikan oleh Nur Afni Octavia


Dengan ingatan pada hal-hal yang belum selesai:

Ajip Rosidi, Orang dan Bambu Jepang, Pustaka Jaya, 2003

Darma Aji, Menantang Diktator, Penerbit Buku Kompas, 2006

Sindhunata, Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas, 2006

Budi Darma, Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, Bentang Pustaka, 2008

Majalah Horison, Juni-Juli 2010


Sabtu, 17 Juli 2010

Setelah Malam Ini

Setelah malam ini
Ratu Sofia masih harus berpikir
Akankah Catalan dimerdekakan
Seperti Habibie melepas Timor Timur

Setelah malam ini
Hanya tinggal sisa cerita
Tentang keinginan-keinginan tanpa batas
Menuju horison terasing*


Setelah malam ini
Masih ada rasa mengusik
Tentang nama yang tersirat
Laki-laki lain dalam secarik surat**

Setelah malam ini
Angin berdebar menyebar impresi
Dan malam kian mendendangkan sunyi
Aku (masih) sendiri



Paninggilan, 12 Juli 2010. 03.59


ditulis usai Spanyol mengalahkan Belanda, 1-0 di Final Piala Dunia 2010

* Horison Terasing, satu judul pameran yang pernah diselenggarakan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung
** Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, Kumpulan Cerpen Budi Darma, Bentang Pustaka, 2008


NB: judul diatas sama dengan judul lagu Kahitna, Setelah Malam Ini, album Permaisuri (2000)

Jumat, 16 Juli 2010

Jemputan Pak Tata (Cinta Monyet #5)

Kalau saja Pak Tata tidak menarik jemputan sambil pulang-pergi mengajar mungkin tidak akan ada cerita. Cerita tentang R, perempuan lain yang selalu ada di Hijet abu-abu itu. Pak Tata, guru Fisika, yang nanti akan segera menjelma jadi tokoh dengan gelar Pak Dollar rupanya cukup tahu siapa saja orang yang bisa ikut mobilnya. Tentu saja, anak-anak kolega dan tetangga. Ketika itu pula saya menyadari bahwa R tinggal tidak jauh dari rumah saya.

Singkat cerita, kadang-kadang sambil menunggu angkot, jemputan sialan itu lewat. Kadang juga, beberapa anak laki-laki manja yang ikut jemputan itu meneriaki kami. Tentu saja kami balas ulah mereka sambil memberi salam pada perempuan-perempuan di dalam lewat lambaian tangan. Suatu tindakan bodoh yang nantinya akan saya sesali. Terlalu bodoh rasanya kalau hanya untuk menunggu kesempatan setiap jemputan lewat dan memberi salam.


Bajai pasti berlalu, begitupun jemputan Pak Tata. Rasanya tidak pernah ada kesempatan untuk sekedar ngobrol sepulang sekolah dengan anak-anak jemputan. Tanpa terasa saya semakin penasaran dengan R dan selalu mencoba untuk mengaguminya. Akibat tindakan bodoh itu pula saya terperangkap dalam suatu keadaan yang tidak pernah saya sadari.

Suatu siang, sebelum dentang bel sekolah, N memanggil saya yang kebetulan lewat samping mobil Pak Tata sehabis dari kantin. “Anggi, kamu sukanya sama P atau G?”, kurang lebih begitulah pertanyaan dari N. FYI, P bukan anak jemputan Pak Tata tetapi G yang justru ikut jemputan dan mereka berdua sekelas. Perlu pembaca ketahui juga bahwa saat itu mereka berdua naksir saya pada saat yang bersamaan.

Di balik jemputan Pak Tata, saya hanya menjawab sambil berlalu dan tersenyum tanpa jawaban meninggalkan N dan P. Terus terang, saya kaget karena mengapa harus P dan G bukannya R. Sorenya, N masih bertanya pertanyaan yang sama. Kalau waktu itu saya tahu G akan berubah seperti saat ini tentu saya akan jawab G. Tetapi, tidak ada yang tahu perubahan itu kapan terjadi. Saya masih berlalu dan menganggap itu pertanyaan tidak penting.

Padahal, kenyataannya saya malah menutupi perasaan saya yang masih dongkol. Saya mengingkari kenyataan bahwa ada dua orang perempuan menaksir saya pada saat yang bersamaan. Saya tidak punya jawaban untuk mereka berdua. Lagipula, ini bukan pilihan ganda, yang bisa saja R jadi pilihan ketiga atau keempat.



Paninggilan, 16 Juli 2010. 01.57



If I Never See You Again (#1)

Kata orang, kalau lagi sepi kau punya banyak waktu untuk berpikir. Entah untuk hidupmu sendiri atau untuk hal-hal lain yang belum selesai. Penyesalan Bulan Juni belum juga selesai kutulis. Hanya jadi penanda semata dalam kalender tanpa makna. Juni menyisakan terlalu banyak kata.

Aku masih belum mau memejamkan mata. Usai hujan yang turun sore ini di suatu kota yang tidak pernah sepi. Diantara citra landsat dan keheningan malam. Diantara lengkingan Lea Simanjuntak dan kegalauan Sophia Latjuba. Maka, ketika malam ini tak berwarna dan anginnya pun tidak karuan, aku menulis surat. Tertuju pada seseorang, yang (seharusnya) jadi bagian cerita di Bulan Juni itu.

Dear Celline,

I know that it might be hard for me to write all these memories behind. It’s been a year now. But, I can still remind the moments we had work together. You’ve spent a week in the Library. Yeah, sounds good to me and it might felt like hell to you. Well, you clearly known that I mustn’t go far with this memoir. You know my English. Just to remembering you. The one I always admiring.


Well, since that day you left, I’m all alone like I used to. I used to play all the songs that still reminding me to that week. To all those books you’ve placed. Every mandarin’s words you’ve read it for me. As conclusion, I’ve spent an unforgettable week along with you. I still remind your face while you were covering those books. Maybe there were some annoying sounds from the speaker when I asked you to play all the songs about my graduation day.


Did I missing something from you? Well, I have one. I still don’t know about the look in your face. Your smile was blown away by the air when I asked you about the Tiananmen Massacre-TIME magazine’s headline. I thought you’re just too young to understand the circumstances behind the political intrigue inside. But later, on the day we’ll meet again, I’ll ask the same question. I don’t want to see any objection. Hope you don’t mind.


Warm smile,

Librarian




Paninggilan, 16 Juli 2010. 01.27

*dengan ingatan menjelang Summer Break 2009 di Kelapa Gading

Senin, 12 Juli 2010

Kiss in the Air

Have you ever seen the rose? Sometimes when we touch
In the fields of gold seem all true colors
I believe that there was something there
Being close to you
Between love fools
And someone kiss me

*

Is this all about you and me?
Since I feel the earth move
Did I say something to you?
Have I told you lately?
Since we never can say goodbye

Tomorrow, by the end of this day
Almost here, there and everywhere
Bittersweet feelings that you can’t avoid

Did you ever ask me something?
No, I can’t go for that (no can do)
Ain’t no sunshine through above us
Between the Luka, among the stars


Paninggilan, 12 Juli 2010. 19.59

*taken from song lists in Olivia Ong's album: Kiss in The Air and Olivia Ong

Cinta Monyet#4: Hari Pertama

ku terantuk wajah sayu... hari itu bukan sabtu...*

Hari pertama di SMP adalah sebuah kejutan. Berangkat pagi-pagi menuju Jalan Semar. Yang istimewa, teman-teman rumah yang juga kakak kelas ikut nyamper ke rumah. So, we have a walk together dan berpisah di gerbang sekolah. Seperti biasa, ritual pagi itu dimulai dengan bertemu dan berkumpul kembali dengan kawan-kawan SD. Bersama-sama melirik setiap jendela kelas barangkali ada nama masing-masing disana. Tak lama kemudian, kami harus menyadari bahwa ada sebagian dari kami yang tidak akan bersama lagi.

Kalau saya bilang hari pertama itu adalah kejutan maka itu pun tak terlalu salah. Saya bertemu dengan banyak kenalan baru. Sekalipun begitu, dibenak saya masih terbayang wajah E dan A. Kejutan lainnya, saya pingsan pada saat upacara bendera. Entah karena masuk angin padahal sudah sarapan, saya tumbang. Seketika pemandangan disekeliling saya berubah. Ada banyak kunang-kunang. Mirip seribu kunang-kunang di Manhattan**.

Saya tiba-tiba jadi pusat perhatian. Beruntunglah saya karena saya bisa siuman secepatnya. Ketika sepasang mata menoleh, meninggalkan tanya pada sejumput asa. Saya memulai hari pertama sekolah dengan kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup saya. Tetapi, saya sadari bahwa kemudian hal itu justru membuat saya jadi pusat perhatian dan bahan obrolan. Sehingga, saya dengan mudah dikenal oleh banyak orang. Kalau waktu itu sudah ada twitter, barangkali pingsannya saya akan jadi trending topic.

Memulai hari pertama dengan perasaan yang tidak menentu membuat saya sedikit malu. Dengan kepolosan anak ingusan saya berhasil melewati hari itu dengan baik. Punya banyak kawan baru dan juga dikenal guru-guru. Dasar anak ingusan, saya pun tidak melewatkan momen-momen untuk sekedar ngeceng anak baru. Sebagai sesama murid baru, hal itu belum dilarang lho oleh Depdikbud.

Ada banyak wajah. Wajah tanpa nama. Mengusik rasa. Hanya ingin sekedar tahu. Terima kasih untuk kesan yang tertinggal.


Paninggilan, 12 Juli 19.25

* dari lirik lagu "Bukan Sabtu", dinyanyikan oleh Kahitna, Album Sampai Nanti (1998)
**dari judul kumpulan cerpen Umar Kayam,”Seribu Kunang-kunang di Manhattan.”


Sabtu, 10 Juli 2010

Cinta Monyet #3: The Soundtrack (Lihat, Dengar, Rasakan)

Bicara tentang kenangan, seperti yang saya pernah sebutkan sebelumnya adalah pekerjaan yang tidak mudah karena harus menggali kembali sisa-sisa memori penuh debu. Akan tetapi, ada kalanya situasi seperti itu bisa menjadi lebih mudah. Saya bicara tentang pengelolaan kesan. Bagi saya, untuk mengingat satu dan banyak peristiwa lainnya sepanjang hidup saya ini, ada banyak variabel yang bisa melengkapinya. Yang paling gampang adalah dengan musik.

Tidaklah terlalu salah bila kita secara pribadi punya soundtrack pribadi yang secara khusus mengingatkan pada momen-momen khusus, tertentu, dan special. Ibarat episode hidup kita ini adalah film bioskop maka musik dan lagu yang pernah mengalun sepanjang film adalah soundtracknya. Masing-masing tentu membawa kisah dan lika-likunya masing-masing.

Sampai Nanti, Album Ketiga Kahitna

Seperti saya yang mencandu berat sama Kahitna. Semenjak kemunculan mereka lewat single perdana “Cerita Cinta” saya mendadak suka. Bagaimana tidak, untuk jiwa yang masih melayang-layang, lirik mereka begitu kuat dan bermakna sekali untuk yang sedang mengalami cinta monyet. Walau tidak pernah punya full album 1 dan 2 tetap saja Kahitna selalu dihati. Album ke-3 dirilis tahun 1998, the year of excitements. Tahun itu juga saya punya kaset album itu, full album. Semua jadi lebih semarak dengan Setahun Kemarin dan Sampai Nanti-yang ada Cut Tari di video klipnya.

Saat cerita ini ditulis, lagu-lagu dalam album itu kembali diputar dalam format MP3. Mengingatkan kembali pada semua tingkah laku bodoh saya kepada E, W, A, Ne, dan I. Semua itu akan tambah semarak lagi dengan idola lainnya, The Moffatts. Pokoknya waktu itu wannabe rockstar family band ini lagi ngetop banget. Album pertamanya, A New Beginning dirilis dalam dua versi di Indonesia, versi original recording dan live version ditambah satu packaging album, For You Indonesia.

Album Perdana The Moffatts, Chapter I: A New Beginning

Selain Kahitna, saya benar-benar menggilai The Moffatts. Saya hampir hafal semua lagu hitsnya. Miss You Like Crazy, I’ll be There for You, If Life is so Short, Girl of My Dreams termasuk If You Only Knew, hasil kolaborasi dengan Gil Ofarim, yang berasal dari tanah Bavaria. Kalau dilihat lagi kebelakang rasanya memuakkan. Geuleuh lah kata Orang Sunda mah. Tapi, saya sadar bahwa itu semua bagian dari masa lalu saya. Bahkan, kaset A New Beginning baru saya beli waktu kelas 2 SMP, tahun setelah masa-masa itu terlewati, itu juga karena seorang teman yang lagi butuh uang.

Soundtrack lainnya? Ada. Kebetulan waktu itu Sheila On 7 baru muncul dengan single Kita. Namun, momen-momen semasa SD sudah terlewati sehingga mereka baru masuk dalam hitlist saya untuk periode Cinta dalam Celana Biru alias masa-masa SMP. Mereka nanti akan mengiringi kisah saya dengan nama-nama lain yang pernah terukir dalam hati ini. Nama-nama yang sempat merajut asa. Asa untuk sekedar merasa.


Paninggilan, 10 Juli 2010. 00.33

Kamis, 08 Juli 2010

Obituari 2 Maestro

Belum usai menuliskan isi kepala tentang Abdullah Totong Mahmud, baru saja saya mendapat kabar bahwa Achdiat Karta Mihardja meninggal dunia.

*

Ambilkan Bulan, Bu.


Beberapa bulan yang lalu, sekitar bulan Mei entah apa yang merasuki saya waktu itu, saya menjadi sangat ingin sekali mendengarkan lagu Ambilkan Bulan. Thanks God it’s 4shared. Menjelang tidur, saya selalu memutar lagu itu sebagai pengantar. Pertama kali mendengar tahu ada lagu anak-anak seperti itu kira-kira sekitar medio 1997. Entah Tasya atau siapa yang menyanyikannya, kalau tidak salah ingatan yang tersisa di kepala saya adalah model yang jadi Ibu si anak di video klipnya adalah Maudy Koesnaedi.


Adalah suatu perasaan yang mengagumkan untuk mengenang sang pencipta lewat karya-karyanya. Apalagi kalau ternyata karyanya abadi dan selalu menjadi pertanda zaman. Mengenai lagu itu juga ada alasan emosional sehingga saya tidak pernah bosan memaksa si Ngipod untuk memutarbalik playlist. Menurut saya, kekuatan lirik yang sangat dahsyat tercermin dari lagu ini. Saya sendiri tidak pernah punya pengalaman untuk sekedar memintakan bulan pada Ibu. Barangkali karena saya anak laki-laki jadi Ibu tidak pernah menjadi Ibu yang diperankan dalam video klip lagu ini.

Saya tidak menyangka bahwa ditengah guyuran hujan dan gemuruh dari langit pada siang 8 Juli kemarin bangsa Indonesia telah kehilangan seorang maestro lagu anak-anak. Mendengar kabar wafatnya Pak A.T. Mahmud saya hanya bisa diam sambil memutar lagu itu dikepala saya, berulang-ulang. Semoga bulan pun ikut menerangi jalan keabadian Pak Abdullah.

Lelaki kelahiran Palembang, 3 Februari 1930 yang juga sahabat Prof. Emil Salim semasa SMP itu kini telah tiada untuk selamanya. Namun, karyanya akan tetap abadi. Selalu dikenang sepanjang masa oleh mereka yang tak pernah lupa akar rumput bangsanya.

Achdiat K. Mihardja


Perkenalan saya dengan Begawan sastra yang satu ini dimulai dengan cerpen beliau yang dimuat dalam Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia hasil kompilasi Korrie Layun Rampan sekitar tahun 2005. Judul cerpennya saya lupa. Tetapi dari biografi singkat penulisnya sudah barang tentu beliau ini adalah satu dari sekian banyak maestro sastra Indonesia. Buktinya, beliau menjadi Guru Besar yang mengajar Kesusasteraan Indonesia di Australia National University (ANU). Biografi singkat itu juga yang selalu menyemangati saya supaya suatu saat nanti harus bisa berlabuh di ANU, Canberra atau Monash di Melbourne. Saya mengenal lebih dekat sosok beliau melalui Majalah Horison edisi bulan April 2010.

Beliau lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat pada tanggal 6 Maret 1911 dan wafat pada usia 99 tahun di Australia sana. Ia pernah mengenyam pendidikan AMS-A Solo dan Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Semasa mudanya, beliau pernah bekerja sebagai guru di perguruan Taman Siswa, Redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1956-1961), dan sejak 1961 hingga pensiun sebagai dosen kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra, Australia.


Hingga hari ini belum ada satu pun karya beliau yang saya baca secara penuh. Kecuali tulisan cerpennya di buku Korrie Layun Rampan tadi. Awal-awal menulis di blog saya sering mengutip judul novel beliau lainnya, Debu Cinta Bertebaran, untuk dimasukkan kedalam tulisan. Keduanya adalah karya fenomenal yang mengalami cetak ulang di dalam negeri dan luar negeri. Akan tetapi, barangkali Atheis lah yang merupakan karya terpenting dari beliau. Waktu di SMA, penggalan novel Atheis seringkali jadi bahan soal dan pertanyaan di LKS (Lembar Kerja Siswa) Bahasa Indonesia.

Pada masanya, Atheis yang ditulis sekitar tahun 1940-an mengemukakan masalah baru yang belum pernah dikemukakan sastrawan-sastrawan lain. Terlebih lagi pada masa itu atheisme mulai di kenal di Indonesia. Pemikiran Karl Marx dan Frederick Nietzsche merasuki ranah pembicaraan kaum intelektual. Atheis menjadi satu bukti respon dan keterlibatan beliau dalam diskusi tentang atheisme.

Satu lagi yang membuat Atheis akan selalu dikenang dan melegenda dalam sejarah sastra Indonesia adalah isinya yang membahas benturan nilai-nilai antara theisme dengan atheisme dalam tatanan masyarakat tradisional Indonesia. Ada konteks ikatan pertentangan budaya antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern serapan dari Barat. Implikasinya terlihat langsung pada benturan antara nilai-nilai kepercayaan pada Tuhan di satu sisi dan nilai-nilai penolakan terhadap Tuhan di sisi lain*).

Selamat jalan, Aki. Doa kami bersamamu. Terima kasih untuk telah jadi pembeda, antara mereka yang memilih jalan Tuhannya dan mereka yang mencoba membuat jalan sendiri menuju keabadian yang kekal.


Paninggilan, 8 Juli 2010. 23.35


*) dikutip dari Majalah Horison, April 2010

NB:
Profil A. T. Mahmud dapat dibaca di website Tokoh Indonesia
Crossposting dari blog tetangga

Setangkai Mawar di Dahan Lain (Cinta Monyet #2)

Setiap ku memandangmu merana hatiku... Terulang kisah rupa wajah sayu...*)

Sejak saya menulis tentang E di edisi perdana, tiba-tiba ingatan saya tentang masa-masa itu kembali mengalir begitu saja memenuhi benak ini. Sehingga saya harus menata kembali ingatan yang tidak seragam itu. Mengingat kembali tentang E berarti saya wajib mengenang juga sebuah nama. Nama yang kurang lebih sama dengan saya. Hanya saja, nama perempuan yang ini harus ditambah lagi satu huruf vokal dibelakangnya.

Entah sejak kapan saya memperhatikan A, anak perempuan berkacamata di SD tetangga itu. A SD I, saya SD II. Saya tidak tahu tepatnya namun harus saya akui saya memang diam-diam memperhatikannya. Dari kejauhan seringkali saya mengintip keluar jendela. Terutama kalau sekolah pagi karena kami akan bertukar kelas sehingga A pasti sedang menunggu diluar. Maka dari itu, disela-sela keinginan bersama E, kadang terlintas A begitu saja. Saya hanya menikmati kisah ini sendirian. Sebisa mungkin saya pendam supaya hanya saya dan Tuhan saja yang tahu.

Sepanjang pengamatan saya, A seringkali duduk sendirian menunggu kelas bubar. Jarang sekali A berbaur dengan teman sekelasnya. Memang ada beberapa orang yang sering dekat bersamanya, namun itu tidak banyak. Buat saya itu tidak menjadi soal yang penting saya bisa lebih fokus bila suatu saat tidak menemukannya di halaman sekolah. Asumsi saya waktu itu, A adalah seorang penyendiri, loner, solitary minded. Untuk ukuran anak SD saat itu ternyata hal seperti itu bisa jadi desas-desus tanpa sebab.


Saya menemukan kenyataan yang kurang mendukung perasaan saya. Sebab itu pula saya tidak bisa terang-terangan membiarkan perasaan saya untuk A karena E masih terlalu menarik untuk dilepas begitu saja. Dari percakapan dengan teman-teman, saya menyimpulkan bahwa mereka mempunyai pandangan lain terhadap A. Kasarnya, A mengidap suatu kelainan dan kata mereka juga itu bisa tercermin dari kacamatanya. Saya tidak percaya itu. Namun, dorongan untuk mengikuti omongan mereka terlanjur lebih besar untuk menghindari fakta bahwa saya menaruh perhatian pada A.

Padahal, untuk standar saya waktu itu, A tidaklah terlalu mengecewakan. Tidak terlalu tinggi bahkan terkesan pendek dengan tubuhnya yang mungil. Memakai tas punggung warna pink atau biru muda. Rambutnya panjang terurai, kadang dibuat buntut kuda sehingga menyerupai Deo Mi. Terakhir, bagian yang paling saya suka adalah fakta bahwa A berkacamata. Suatu kebiasaan yang kelak belum bisa saya hindari sampai saya menemukan A yang lain.

Keinginan saya untuk sekedar bisa mengobrol atau hanya sekedar berbasa-basi harus saya kubur pelan-pelan. Saya masih tetap menjaga rahasia terpendam ini. Terlebih lagi jangan sampai ada anggapan bahwa saya mengalihkan perhatian pada A hanya karena E terlanjur tidak mau bicara apa-apa lagi pada saya-bahkan untuk tugas kelompok sekalipun.

Ada banyak kesempatan supaya saya bisa kenal dengan A. Sepulang sekolah sambil menuggu bel masuk atau saat les malam di sekolah dimana tidak ada lagi hijab antara anak SD I dan SD II. Sejak saat itu, setiap kali les malam digelar saya lebih sering membuktikan asumsi teman-teman saya itu. She’s not a loner tapi kenyataan bahwa tidak banyak orang yang dekat sebagaimana teman pada biasanya juga membuat saya goyah. Apakah betul A mengidap suatu kelainan, penyakit aneh misalnya. Saya belum bisa membuktikannya karena saya pun tidak yakin A seperti itu.

*

Biarlah aku menyimpan bayangmu
Dan biarkanlah semua menjadi kenangan
Yang terlukis di dalam hatiku
Meskipun perih, namun tetap selalu ada
Disini....**)

Selebihnya, yang tersisa dari A hanyalah memori tentang sebuah nama. Sebuah nama yang selalu sendiri, jalani hari dalam keriangan masa anak-anak yang akan segera hilang. Sebuah nama yang entah sama berartinya dengan E. Tidak ada perpisahan dengan A. Bahkan dulu, saya tidak mau bertanya pada temannya yang lain, yang satu kelas dengan saya di SMP. Tetapi, seiring berjalannya waktu, kalau saat ini saya masih menginginkannya saya akan lebih tidak peduli lagi pada omongan orang tentang A.



Paninggilan, 8 Juli 2010. 21.46

*) dari lirik lagu “Bila Saya”, dinyanyikan oleh Kahitna, album Permaisuri (2000)
**) dari lirik lagu “Biar Menjadi Kenangan”. Dinyanyikan oleh Reza Artamevia dan Masaki Ueda
^judul tulisan diadaptasi dari judul yang sama di blog selendang warna

Let Me Begin (Cinta Monyet #1)

Sekilas nampaklah engkau dibalik pintu... tersenyum dikau menusuk hatiku...*)

Sebetulnya, untuk menuliskan hal yang demikian saya masih kurang sreg, mungkin karena melibatkan makhluk Tuhan bernama monyet. Memangnya ada apa dengan monyet sehingga saya masih merasa seperti itu? Baiklah, tidak usah jadi pembahasan karena bukan tanpa maksud juga Tuhan menciptakan monyet. Kalau monyet tidak dipersilahkan turun ke dunia ini barangkali Darwin kehabisan teori untuk mengungkapkan idenya tentang evolusi manusia. Biar begitu, monyet juga memberi makna khusus bagi beberapa penulis. Satu yang saya tahu adalah Mahesa Djenar Ayu, dengan karyanya berjudul “Mereka Bilang Saya Monyet”. Menarik, karena Djenar tidak hanya mampu menulis tetapi juga mengadaptasinya ke layar lebar.

Merujuk pada judul diatas, asumsi umum yang berlaku di dunia kita saat ini adalah suatu masa dimana anak muda menjelang dewasa mulai mengenal dan ingin tahu apa itu cinta. Biasanya ini terjadi pada masa akhir SD berlanjut hingga SMP, dan SMA. Kalau kau mau percaya, hal seperti itu tidak hanya terjadi pada hidupmu yang sudah begitu, tetapi juga terjadi dalam dinamika kehidupan saya. Maka, ketika kau memintaku bercerita tentang mereka aku sempat bingung harus memulai dari mana. Jujur saja, terlalu banyak nama yang harus saya ingat dan sebut-sebut lagi sambil membuka berkas-berkas kenangan penuh debu disela-sela memori yang terbatas ini.

Awalnya hanya rasa biasa. Entah mengapa jadi suka. Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati. Begitulah yang saya baca dari buku pantun di perpustakaan SD kami yang baru direnovasi. Konon, ada beberapa lembar rupiah yang mengalir dari Yayasan yang dikelola Pak Habibie sehingga perpustakaan SD kami bisa berfungsi layaknya sebuah perpustakaan. Imbalannya, ada banyak buku tentang profil, biografi, dan kisah-kisah pencapaian lainnya di lemari yang masih bau gergaji itu.

Kembali ke pantun tadi. Saya masih belum menyadarinya ketika saya perlahan-lahan mulai menyukai seseorang dari masa lalu. Sebut saja teman TK, namanya F. Entah waktu masih kelas 5 atau di kelas 6, ingatan tentang F mulai pudar. Gantinya, saya mulai melirik teman sekelas. Sebut saja namanya E. E ini rupanya “bos” di kelompok kecil yang guru kami bentuk untuk setiap tugas kelompok. Entah sebab apa Bapak Guru yang baik itu mempersilahkan nama saya masuk di kelompoknya. Omaigat. That’s it.

Kalau saya pikir-pikir lagi, semua kejadian yang berasal dari pembagian kelompok itu hanyalah sebuah kesalahan. Waktu itu, di sekolah kami sedang ramai-ramainya setiap murid punya kameumeut, bahasa gaulnya ‘kecengan’. Saya perhatikan betul, si Ne ngeceng D, si W ngeceng A, dan masih banyak lagi. Kebetulan, dua orang pemalas di kelompok kami, saya dan N, lagi mengobrol karena si ketua kelompok terlalu sibuk dengan anak buahnya yang lain. N bilang E ngecengin saya. Saya tak lantas percaya karena saya tahu betul tidak ada tanda-tanda dari E. Tetapi, si N ini masih keukeuh punya informasi rahasia (maklum, dulu itu kalau sudah main rahasia bisa jadi sesuatu yang benar dan dapat dipercaya). Saya akhirnya menuruti saja dan diam-diam mulai memperhatikan E. And the story goes bang bang boom.

Musim penuh cinta betul-betul saya rasakan. Dari wanginya pun sudah bisa ditebak. Kelas kami selalu wangi setiap hari. Bukan karena semprotan pewangi ruangan rasa mawar melati. Semarak wewangian itu hadir semerbak dari kertas loose leaf warna-warni. Love is in the air. Rupanya,ada beberapa dari kawan kami yang berniat menulis surat cintanya yang pertama dan kesekian kalinya untuk kemudian dititipkan atau sengaja ditinggal di kolong meja. Siapa tahu sang pujaan yang membacanya.

Agak non-sense memang untuk jalan pikiran anak SD waktu itu. Walaupun begitu, saya tidak terbawa oleh arus deras saat itu karena beberapa teman lelaki saya juga melakukannya. Hanya untuk mengungkapkan kata-kata yang sekarang nilainya adalah: Gombal! Saya pikir saya lebih baik melakukannya di rumah saja sehingga mudah-mudahan kata-katanya akan lebih teratur sehingga membuat perasaan E senang.

*

Baiklah, aku tahu kau masih penasaran. Sebentar, aku nyalakan dulu jatah rokok dari atasanku. Surya Pro Mild. Tahan dulu, aku masih mau menyeruput kopi susu yang sedari tadi mulai dijilati semut-semut hitam sialan.

Semuanya terjadi begitu saja and everything’s messed up! Dunia anak-anak adalah dunia bermain betul-betul saya alami, rasakan, dan pahami. Karena sekolah siang, saya selalu bermain sejak Bapak berangkat kerja sampai menjelang jam 11 siang. Pada hari naas itu, saya lupa bahwa saya harus menulis surat untuk si E, pujaan hati yang kian hari kian mempesona dan membakar rasa di dada. Sehabis mandi, saya tidak punya waktu untuk berpikir mengenai apa yang harus saya tulis. Kata-kata itu seketika buyar ketika saya berlari menendang bola dalam terik matahari pagi tadi. Jadinya, menguap begitu saja dan saya benar-benar tidak punya ide.

Untung saja Tuhan menjadikan saya orang yang to the point (waktu itu). Dengan penuh percaya diri, pada selembar kertas loose leaf wangi bunga lily made in China dan bermotif daun-daun kering kecoklatan. Saya menulis: E, I L U. Lengkap dengan tanda hati yang tergores tipis. Saya lipat dan segera saya masukkan amplop dengan warna senada milik adik perempuan saya**). Saya masukkan ke dalam tas, dan saya berangkat sekolah naik sepeda GT yang garpu depannya sudah diganti (yang waktu itu juga lagi musim).

Seperti judul lagu John Paul Young, Love is in the Air

Sesampainya di sekolah, saya menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya pada E. Saya sudah lupa bagaimana tetapi E mau saja menerima surat cintaku yang pertama,***) tanpa curiga. Beberapa saat kemudian, E terlihat begitu marah. Surat itu pun dengan segera berubah jadi bola kecil dan E membuangnya ke arah jendela, lalu pergi begitu saja bagai pesawat tempur.****)

Mereka yang usil tentu saja mengetahui kalau saya sudah menyatakan perasaan saya ke E. Dan apa yang terjadi selanjutnya tidak pernah saya duga, bermimpi pun tidak pernah, mereka semua menertawakan saya. Hasilnya, seisi kelas tahu. Yang lebih parah, sejak saat itu E, tidak pernah mau lagi bicara sama saya walaupun masih satu kelompok. Saya memang telah membuatnya malu tetapi saya masih terus memikirkannya. Saya sadari bahwa saya masih mendambanya karena rasanya ada sesuatu yang membuat saya harus menaruh perhatian padanya.

Menjelang perpisahan SD, kami masih belum mau bicara. Tepatnya, E masih belum mau bicara sama saya. Makanya, waktu itu, sehabis acara paturay tineung atau Perpisahan (tanpa Prom Night), saya segera pulang ke rumah dan melewatkan banyak acara yang sudah disiapkan. Buat saya, acara perpisahan hanyalah keinginan sebagian orang saja supaya dianggap punya nama dan meninggalkan kesan yang baik terhadap sekolah. Saya kayuh sepeda sendirian, tanpa teman-teman yang biasa menemani. Matahari belum meninggi, jalanan tampak sepi dan sedikit berdebu. Belakangan, sikap saya itu saya sesali karena itu adalah saat-saat terakhir kita bisa bercengkerama dengan sahabat yang selalu menemani sejak kelas 1 hingga 6 tahun kemudian. Yang saya dengar, beberapa dari kami larut dalam kesedihan dan menangis. Mungkin itulah yang namanya perpisahan.

Sejak perpisahan itu dan kami masuk SMP, saya belum pernah bertemu lagi dengan E. Saya masih menyimpan penasaran karena saya tidak mampu menahan ego untuk segera pulang ke rumah dan melupakan semuanya. Padahal, saya masih punya satu kesempatan untuk memberikan penjelasan pada E. Saya masih beranggapan bahwa kami akan dipertemukan kembali karena pada hakikatnya saya dan E masih berada di batas kota dan kolong langit yang sama. Kalaupun terpisah, itu hanya masalah jarak saja.

*

Sampai suatu hari, takdir mempertemukan kami kembali. Dan E, masih belum mau bicara, hanya mampu menatap mata saya yang terlanjur berlalu karena malu.



Paninggilan, 8 Juli 2010. 15.46


*) dari lirik lagu lawas “Teringat Selalu”, dinyanyikan oleh Tetty Kadi

**) Saya sadari kemudian, Don’t try this at home!

***) dari lagu lawas “Surat Cintaku”, dinyanyikan oleh Vina Panduwinata

****) dari lagu “Pesawat Tempur”, dinyanyikan oleh Iwan Fals, Album “1910”


foto courtesy Picasaweb