Sabtu, 18 September 2010

Lagu Itu

Di radio, aku dengar lagu kesayanganmu...*)

Betul benar itu terjadi padaku. Saat yang paling menyenangkan dalam hidupku itu pula yang rupanya menghantarkan lagu itu melewati gendang telingaku. Begitulah, entah mengapa selalu terbayang wajahmu setiap saat lagu itu diputar. Aku tidak pernah tahu sejak kapan itu terjadi padaku. Kiranya, apa karena aku masih ada rasa padamu.

Lagu itu bukanlah lagu syahdu sebagaimana lantunan suara merdu Christine Panjaitan, Dian Pisesha, atau Iis Sugianto yang selalu mengantarku ke peraduan. Bukan. Bukan itu kan? Tentu saja. Mungkin saja telinga dan lidahmu bakal kelu kalau terlalu sering nguplek dengan lagu jadul.

Aku pikir kau memang menyukai lagumu itu bukan saja karena kau memang menyukai musikalitasnya tetapi juga barangkali terselip memori indah dibalik liriknya. Seperti rasa bahagia milikku yang menyangkut dalam setiap bait lagu On My Own milik Whitney Houston pada makan siang bersama kita waktu itu.


And i am not afraid to try it on my own...
I don't care if i'm right or wrong...



Ah, rasanya tidak perlu kuceritakan kembali perihal kejadian siang itu. Bukankah kita berdua sama-sama menikmati makan siang yang paling spesial? Walau menunya cuma ayam bakar dan jus mangga tetapi tetap kesan itu tak berubah hingga hari ini.

*

Tentu aku tidak perlu tahu kenangan macam apa pula yang ikut menempel lekat dalam lagumu itu. Aku juga tidak perlu tahu apakah lagu itu juga tentang dirinya. Sebuah nama laki-laki lain dalam secarik surat** yang pernah tak sengaja kau sebutkan di depan hidungku. Hadirkan resah. Sentuh rasa tiba-tiba. Mungkinkah aku cemburu?



Pharmindo, 14 September 2010. 21:43


*) dari lirik lagu ''Kugadaikan Cintaku'', dinyanyikan oleh Gombloh.

** dari judul buku Budi Darma, ''Laki-laki Lain Dalam Secarik Surat'', Bentang Pustaka, 2008.

Selasa, 14 September 2010

Malam Terakhir

Tarawih malam terakhir semalam tadi hanya menyisakan sepi dalam balutan kantuk yang semakin menjadi. Dalam 11 rakaat yang entah masih ada pahalanya atau malah nilainya tergerus kantuk itu sendiri.

Tuhanku, apalah yg sudah kulakukan untukmu di Ramadhan yang kesekian kalinya ini? Adakah setiap huruf dalam lantunan ayat-ayat itu bernilai pahala seperti yang telah kau janjikan?

Tuhanku, Ramadhanku kali hanya berisi keyakinan semu. Khattam pun tak mampu. Masih terhenti di deretan ayat An-Nisa. Masihkah ada nilainya bila semua itu menuju padaMu?

Tuhanku, aku berharap semua kelakuanku di RamadhanMu yang akan segera berlalu ini tidak lantas menambah dukaMu yang abadi. Entah harus berapa lafadz maaf harus terucap ke haribaanMu.

Tuhanku, RamadhanMu akan segera berlalu meninggalkan kami yang tertatih menuju ridhoMu. Tiada lain yang kami inginkan selain umur untuk kembali menyambut Ramadhan yang akan datang. Supaya kami bisa semakin menata diri dan berkaca atas segala kealpaan kami terhadapMu.

Tuhanku, diantara bulir-bulir hujan yang semisal dosa kami, kami serahkan kembali padaMu. Asalkan Engkau sedang tidak marah, apapun yang terjadi kami tidak peduli. Kami terimakan dan ridho atas segala keputusanMu.

Tuhanku, maafkan kami yang terlalu lancang untuk selalu mengemis dan meminta supaya doa-doa kami tidak menggantung di langitMu yang maha luas tak terkira. Maka, Ya Allah perkenankan kami (yang tak layak untuk surgaMu ini) untuk sekedar menikmati kesucian di awal bulan Syawal, yang sesungguhnya kami pun malu untuk menyambut hari kemenangan besok.

Tuhanku, di senja yang mendung ini, di ambang Syawal nan fitri, perkenankanlah kami untuk kembali pada kesucian. Seraya menyebut namaMu yang agung, mengumandangkan takbir penuh haru, sambil mengucap selamat jalan Ya Ramadhan. Mudah-mudahan, Engkau masih berbaik hati supaya kami bisa menyambutnya kembali. Barakallahi wa lakum.



Pharmindo, 09 September 2010. 17:55

Malam Pembuka

Hujan belum juga reda seperti perasaanku padamu. Dingin menjemput kehangatan malam yang tercipta dari sisa-sisa kenangan bersamamu. Malam terus merambat. Menutup gelisah musim yang basah.

Aku bayangkan dirimu berselimut mimpi. Tentang hari dimana rasa belum juga pudar. Tentang rasa yang dulu kau simpan semisal senja di musim yang basah.

Musim terus berganti membawa ceritamu. Entah kapan lagi kau ceritakan padaku. duduk bersama sambil menunjuk satu bintang dilangit kelam. Menambatkan rasa pada dinding hati.

Mungkin ini hanya khayalku sendiri. Aku yang tak mampu sembunyikan mimpi dari imaji keinginan. Bagai puisi yang lepas dari kata-kata. Begitulah cintaku, nikmatilah malam ini bagaikan senja terakhir di pulau tanpa nama. Hirup dan rasakanlah aroma hidup ini. Hingga saat nanti, hingga ujung waktu.


Teluk Buyung 17, 8.9.10: 22.37