Senin, 31 Januari 2011

Le Memoir du Soir (2)

Akhirnya sore macam kemarin datang lagi. Membawa cerita yang silih berkejaran dalam rindu yang menghadang. Betapa langit mendung seperti sengaja menghalangi bias mentari senja. Tidak ada senja keemasan menutup hari. Usai puas menertawakan diri sendiri sepanjang akhir pekan di kotamu. Tinggal tanya dalam hati: masihkah kutemui asaku?

Ada rindu tersisa untukmu. Rindu padamu bagai rindu pada setiap lembaran cerita dalam buku-buku di rak kamarku untuk kemudian kutuliskan dalam sebuah esai pendek berlabel memoar. Sebagai tanda perekat memori tentang rasa. Suatu saat akan kutuliskan juga cerita tentang kita. Tentang wangi coklat dan tarian malam di hari itu atau malah tentang perasaan masing-masing.

Masih diiringi deru mesin bis yang mengaum menerkam aspal, aku tak juga bisa memejamkan mata mengistirahatkan pikiran barang sejenak. Entahlah, mungkin karena semua lagu tentangmu yang mengalun pelan itu atau karena rindu pada tatapan matamu lagi. Bukan aku meragukanmu, tapi sungguh ku tak ingin engkau jauh dariku.

Kupuisikan rindu di hatiku sambil membaca kembali surat-suratmu yang selalu meredakan gelisah ini. Apalagi ketika sampai pada baris uang palsu itu hingga pelajaran untuk ikhlas dan memaafkan. Terkadang kita perlu menghela nafas sejenak untuk berlari kembali.

Mungkin sulit untuk bisa dimengerti. Kenapa sore seperti ini turun dengan segala resahnya. Membawa rindu hanpa pada yang tertuju. Segalanya kian menyesak menyiksa. Tolong ikhlaskan dan maafkan aku.


Pharmindo-Purwakarta-Paninggilan. 30 Januari 2011.

Minggu, 30 Januari 2011

Beri Aku Alasan Untuk Pulang

beri aku alasan untuk pulang
pada senyum yang melekat rona wajahmu

beri aku alasan untuk pulang
membilas rindu pada teduh matamu

beri aku alasan untuk pulang
pada setiap nasihat Ibu

beri aku alasan untuk pulang
entah hanya untuk menatap gelisah wajahmu

*

beri aku alasan untuk pulang
menambat harap pada labuhan hatimu

beri aku alasan untuk pulang
menebar cita pada ladang harapmu

beri aku alasan untuk pulang
entah hanya untuk mencintai resahmu

beri aku alasan untuk pulang
alasan abadi bukan pembenaran


Cengkareng-Paninggilan. 26 Januari 2011.

Rabu, 26 Januari 2011

Usai Merenda Malam

Rindu yang mereda
Tinggal gelisah dalam tanya
Akankah sama jadinya
Mengenang dahulu
Atau, selesai dari masa lalu


Paninggilan, 23 Januari 2011. 23.46

Sabtu, 22 Januari 2011

The Wishes



It's been a year since those wishes
Nothing's been written
Keeping silence
in reminiscing places


Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 19 Januari 2010.

Jumat, 21 Januari 2011

Angin Tolonglah Aku Sedang Jatuh Cinta

"Aku benci angin diluar sana...!"

*

Dia keluar ruanganku. Ada apa dengannya? Apa yang terjadi sehingga angin begitu dipersalahkan? Apakah angin berhembus terlalu kencang usai hujan sesaat pagi ini?

Angin yang berhembus kencang masih menyapu wajahnya. Suatu ketika akan ia rindukan kembali saat-saat seperti itu. Hanya angin yang masih setia menyapu dan membelainya. Dia sudah lupa tentang jemari kekasihnya yang selalu menyeka air mata dipipinya. Kekasihnya telah pergi jauh. Jauh sekali. Menyisakan kerinduan itu padanya.


*

Andai aku jadi angin. Aku akan berhembus menyapu wajahnya yang dibalut bedak tipis. Seperti angin malam yang selalu membelai lentik bulu matanya. Akan pula kuciumi bibir tipisnya itu. Dan yang pasti, aku akan jadi udara yang masih dan selalu dihirupnya.

Maka hanya aku saja yang akan menyapu wajah cantik itu.



Pegangsaan Dua, Kelapa Gading. 26 Februari 2009


* judul cerita ini diambil dari bait pertama lirik lagu "Angin" milik DEWA, Album Cintailah Cinta (2002).

Rabu, 19 Januari 2011

Le Memoir du Soir

Aninda,

Entah cepat atau lambat, aku tahu saat seperti ini akan terjadi. Saat meninggalkan kota ini dengan segenap perasaan yang tertinggal. Tertinggal pada hatimu atau malah disela-sela rerumputan di perbukitan Utara itu. Ini bukan pertama kali, tapi sudah untuk kesekian kalinya. Kini, semua itu kembali menyeruak dalam ingatan. Mengiringi deru mesin-mesin, pada suatu sore di terminal yang tak rapi.

Aku pernah membayangkan bahwa saat ini memang akan tiba. Melaju mengejar mimpi-mimpi kosmopolis-artifisial buatan ibukota dengan bis paling eksekutif yang pernah ada. Impianku melaju didera deru mesin yang saling berkejaran dengan parau suaramu. Usai kau ucapkan salam perpisahan kita di ujung jalan itu. Menangiskah kau kemarin?

Aninda,

Tahukah engkau? Dulu, aku selalu menatap getir matahari sore yang selalu mengantar senja. Dibalik jendela bis sambil menatap keluasan semesta. Sesekali terbayang wajah-wajah sahabat dan semua yang pernah mengisi hati ini. Ah, betapa kenyataan memang tidak selalu menyenangkan.

Rasanya sangat tidak pantas bila aku mengeluh pada Tuhan. Ini hanya bagian kecil dari jutaan potongan scene kehidupan yang tentu masih berlanjut. Kalau aku menyerah dan kalah saat ini, aku justru malu pada diriku sendiri. Betapa masih banyak orang yang pernah lebih menderita dibandingkan dengan aku yang disiksa perasaanku sendiri. Yeah, sometimes i'm afraid of myself.

Aninda,

Aku belum pahami betul apa maksud semua ini. Apakah ini hanya ujian godaan religi ataukah hanya sekedar momen penguras rasa? Rasa dimana gelisah tak pernah pudar.



Pharmindo-Leuwi Panjang-Paninggilan 16-18 Januari 2011.



Kamis, 13 Januari 2011

Una Verso y Poema Esta Manana

Bolehkah aku duduk disini?
Sendiri menemani sendiri
Mengurai resah menambal sepi
Menandai mimpi memindai hari

Bolehkah aku duduk disini?
Sendiri meyakini arti hari
Merangkai jarak rindu pada kepingan mimpi
Tiga musim basah dalam lembaran sepi

Bolehkah aku duduk disini?

*

Sementara menunggu jawabmu, kuhadirkan seribu tanya, mengapa pelangi enggan nampak di ujung langit utara. Usai hujan gelisah melanda kota yang tak pernah terlalu tua, tempat labuhan mimpi-mimpi kosmopolis-artifisial.

Ah, sementara duduk, akan kubuatkan juga rumah untukmu dari sisa-sisa dinding hati. Menjelmakan mahakarya. Rumah terindah untuk anak-anak kita nanti. Tempat mereka bermain dan belajar mengucap "Ibu...".

Sementara pada dinding kamar kulukis engkau disitu. Peretas rindu sejak dari kalbu. Pada gerimis selintas, kau tak tahu. Jarak merentang hanya sejengkal tatap sayu.

Karena itu, biarkan aku belajar mencintai resahmu*). Ketika hidup telah dikatakan pada lembar-lembar sepi. Ketika aku merasa lelah berjuang dengan kata-kata dan suara.

Bagai rintik (entah hujan, entah gelisah) yang saling berkejaran di jalan-jalan kota, kata-kata ingin mencintaimu bertebaran sebebas puisi menjelma paragraf bisu.



Medan Merdeka Barat, 13 Januari 2010

*) Adaptasi dari puisi Sulaiman Djaya, Silence Memoir, Majalah Sastra Horison, Desember 2010.

Kamis, 06 Januari 2011

Saya Tidak Percaya Bahwa Saya Menulis Hal Yang Demikian Eps. 5

just a lil bit clue: for me 2010 feels like Tommy Page said, Life is full of lots of up and downs...

2010, it's started with 2 of my best friends getting their first promising jobs while i was still unemployed, seems the world has left me

#2010, utk kesekian kalinya sy cukur botak lg, buang sial spy cepet dpt kerjaan lg... and u know what? it happened...

so, whole this #2010 i've been learning something, experiencing new way of thinking... it's a hard life but somebody has to live it....

in this december, seems so colorful: fight for what i started for, new friends, dating someone new, all that u cant leave behind lah....

still remembering what i've done in #2010 #np The Winner Takes It All, Susan Wong

in this #2010 also, i really learn how to deal with my feeling (again), when she found another to love her, loving her is hurt sometimes...

it was in october #2010, she found another lover. that wasn't so easy for me but i've predicted that it will be happened, sooner or later

since that Oct #2010, things keep remain. i'm still having my life, my soul was still on my own. just like LeAnn Rimes song: Life goes on...

facing the end of #2010, i hope everything's getting better and higher next year. for you, me, and us!


Paninggilan, 30 Desember 2010.

*disalin ulang dari posting update di Twitter

Minggu, 02 Januari 2011