Selasa, 31 Mei 2011

Debu Cinta Bertebaran



Novel kaleidoskop yang penuh dengan pertentangan batin dan pemikiran antara liberalisasi atas nama modernisasi global dengan nilai humanisme universal ketimuran. Suatu pertentangan yang membuat cinta pun hanya tinggal debu-debunya saja dan bertebaran dibawa angin zaman. Penulis berhasil menggambarkan pola pikir dan sudut pandang seorang Indonesia yang "terasing" di negeri seberang.

Gejolak pemikiran pasca revolusi kemerdekaan sangat terasa pada jalan cerita. Tentang bagaimana arus pemikiran individualisme Barat bercampur dengan kolektivitas ketimuran. Tentang bagaimana seorang Indonesianis melihat kedalam bangsanya sendiri. Menarik untuk dibaca sebagai refleksi penyadaran kembali tentang sejarah perjuangan bangsa terutama pasca revolusi kemerdekaan.

Judul: Debu Cinta Bertebaran
Penulis: (Alm) Achdiat K. Mihardja
Penerbit: Balai Pustaka
Tahun: 2004
Genre: Novel




Paninggilan, 31 Mei 2011.

Salah

Apakah kau tak pernah tahu, betapa indahnya dirimu...*

Tiba-tiba aku merasa bahwa lagu itu, lagu yang selalu terngiang saat aku masih mengharapkanmu, yang selalu kubayangkan betapa benar indahnya dirimu itu, adalah sebuah kesalahan. Rupanya, perasaanku (saat itu) terlalu besar padamu. Sehingga kabutnya menutupi akal sehat dan logika. Ya, karena itu pula aku sudah terlalu sering membuat penyangkalan. Bahwa segala sesuatu harus diperjuangkan, bagaimanapun caranya. Tapi, agaknya aku pun lupa, "some battles can't be won"**. Dan itu adalah dirimu.

Mungkin waktu itu, aku terlalu gelap mata sehingga berani menjanjikanmu bahagia. Bahagia yang hanya kita saja. Kebahagiaan dalam memberi. Memberimu keabadian tentang rasa yang (mungkin) pernah tumbuh di sela-sela harapan dalam hati.

Sebelum aku benar-benar sadari bahwa semua itu hanya fatamorgana semata. Hilang begitu saja, tanpa bekas.

I dont know much, but i know i love you..***

Kini kusadari betul bahwasanya dirimu adalah sebuah kesalahan. Kesalahan terindah? Tidak juga, tapi tetap saja aku kecewa. Aku kecewa bukan karena dirimu yang menjelma jadi kesalahan itu. Tapi, aku kecewa pada diriku sendiri. Betapa mudahnya diriku untuk bertekuk lutut pada imaji asa dan harap yang kau beri. Padahal, semua itu tidak ada artinya bagimu. Tidak ada sama sekali. Bahkan pada semua kenangan yang kau lekatkan pada bimbangku.

Lagu itu adalah penanda. Penanda kelemahanku padamu. Diriku yang (waktu itu) selalu berusaha meyakinkanmu. Dengan segala galau dalam jiwa yang mendesah. Ada rasa untukmu. Ada harap yang ingin kutambatkan pada labuhan hatimu.

Sebelum kusadari bahwa takdir dan nasib telah bersekongkol. Kongkalikong, untuk menjeratku dalam suatu penyangkalan. I'm on a denial. Great denial. Penyangkalan agung yang membutakan segenap intuisi.




Till you do me right, i dont even wanna talk to you, i dont even wanna hear you speak my name...****

Kadang kita harus bercermin dari hari kemarin. Walaupun, ada sedikit perasaan aneh dan muak bila harus mengingat semua tentangmu, tentangnya, terlebih tentang perasaanku. Dalam penyangkalan, yang bisa kulakukan hanyalah meyakinkan diriku lagi. Bahwa, segala macam pertanda yang Dunia berikan sudah cukup untuk mengakhiri rasa itu, padamu.

Harusnya aku cukup sadar ketika lagu itu mengalun pelan setiap kali terbersit tanya tentangmu. Dan aku sudah cukup merasa menjadi orang paling goblok sedunia untuk menyangkal kembali semua pertanda itu. Nasib, biarpun terkadang lebih keras dari baja tapi rupanya ia masih memberiku banyak pilihan. Biarlah kucoba lagi mencari bunga penggantimu. Bahkan diantara keping-keping hati ini.

*

I love you always forever, near and far closing together..*****

Lain lubuk lain ikannya. Lain wanita, lain lagunya. Begitulah adanya. Biar lirik itu jadi penanda masa. Bahwa, kelak pernah ada cerita antara kita. Minimal, aku saja yang merasa.

Lagu itu selalu merdu untukku. Untukku yang selalu menunggu di dekat tangga hanya untuk tahu siapa dirimu. Kelak, aku selalu menunggumu disitu pada waktu tertentu, juga hanya untuk melihat wajahmu.

Pada suatu siang yang indah, setelah malam galau yang berlalu begitu saja, aku berhasil mengenalmu lebih dekat. Bermodal sedikit nekat. Mungkin kau kaget. Tapi, aku yakin itu bukan yang pertama bagimu.

Aku tidak perlu bilang bahwa aku menginginkanmu. Kau pun sepertinya tahu dari caramu menghindariku. Kalau bukan karena kabar dari Bunda sore itu, mungkin saat ini aku belum berhenti untuk merangkul hatimu, membawanya berlayar berkain layar cita.

Kini, yang tersisa darimu hanyalah sebuah tingkah dan kesan yang sempat tertinggal. Betapa merdunya lagu itu telah berganti dengan tingkahmu. Tanpa senyum, lalu pergi begitu saja bagai pesawat tempur.******



Paninggilan, 29 Mei 2011. 01.17


* dari lirik lagu "Menikah", dinyanyikan oleh Java Jive

** kutipan dari buku "The Enemy - Jack Reacher Series #8", ditulis oleh Lee Child, Dell Publishing, 2004

*** dari lirik lagu "Don't Know Much", dinyanyikan oleh Aaron Neville dan Linda Ronstadt

**** dari lirik lagu "Till You Do Me Right", dinyanyikan oleh After 7 feat. Babyface

***** dari lirik lagu "I Love You Always Forever", dinyanyikan oleh Donna Lewis

****** dengan ingatan pada lirik lagu Iwan Fals, "Pesawat Tempur".

Suatu Malam Aku Menulis

Airplane, take you away again...
Are you flying above where we live...*)

Ya. Pesawat buatan Perancis itu pula yang membawamu ke peraduan. Kembali ke pelukan Bunda. Merangkai rindu dalam akhir pekan yang terlalu singkat. Tak kulihat dulu barang sejenak. Manis senyum diatas bibir bergincu tipis yang melambaikan salam perpisahan.

Aku dengar lagu di radio butut itu. Aku akan pergi tuk selamanya. Bukan tuk meninggalkanmu sementara. Aku pasti tak kembali pada dirimu. Tapi kau jangan harap, aku takkan kembali.**) Mirip lagu yang pernah kita nyanyikan. Dulu, waktu kita masih bersama. Saling membuka rasa dan bercerita cita.

Kini, hanya pesan darimu yang jadi penanda rindu. Pesan-pesan yang tertinggal di kotak masuk dan masih enggan kuhapus satu per satu. Ternyata kusadari satu hal. Bahwa lebih mudah untuk mengusap wajahmu dan menyeka air mata daripada menghapus semua pesan itu.

Senja perlahan menghampiri. Butiran gerimis menambah resah yang selalu hadirkan kenangan. Kenapa kita menciptakan kenangan kalau ternyata malah tidak bisa melepasnya? Harusnya kita, aku dan kamu mampu hadapi semua.

Ketika malam semakin larut, aku coba menulis. Entah sajak, puisi, atau hanya catatan biasa. Mungkin untukmu, mungkin untuknya.

Masihkah aku menginginkanmu? Bila setiap pagi masih berharap senyummu
Masihkah aku menginginkanmu? Bila masih tega mengharapkanmu

Masihkah aku menginginkanmu? Bila asa itu masih ada

Masihkah aku menginginkanmu? Bila harap tak pasti resah tak peduli

Masihkah aku menginginkanmu? Takkan ku menanti bila harus mengerti

Masihkah aku menginginkanmu?
Sedang cinta aku tak punya



Sudirman-Thamrin, 27 April 2011.


*) dari lirik lagu Sleeps With Butterfly, dinyanyikan oleh Tori Amos
**) adaptasi dari lagu Aku Pasti Kembali, ciptaan Maia, direcycle oleh Pasto