Selasa, 25 Desember 2012

Mochtar Lubis Bicara Lurus

"Sastrawan tak akan pernah ketinggalan bila dibanding wartawan! Karena sastrawan memang tidak berlomba dengan wartawan, dan sia-sialah usaha seorang wartawan, yang hendak berlomba dengan sastrawan." *)

Buku ini merangkum wawancara Mochtar Lubis dengan beberapa wartawan dari berbagai media cetak negeri ini. Kumpulan ini secara tidak langsung mendokumentasikan buah pikiran, ide, dan gagasan Mochtar Lubis dalam rentang waktu 20 tahun. Dimulai dengan artikel wawancara tertanggal 18 April 1975 dan berakhir dengan artikel tertanggal 23 November 1995.

Sampul Buku

Sesuai dengan judulnya, Mochtar Lubis benar-benar bicara lurus. Artinya, Mochtar bicara secara gamblang dengan gayanya, penuh dengan konsistensi atas segenap permasalahan yang dijadikan topik dan pertanyaan wawancara. Buku ini seakan membuka tabir Mochtar Lubis dalam perannya sebagai wartawan dan sastrawan.

Banyak hal disinggung dalam buku ini, mulai dari persoalan yang dihadapi bangsa ini sejak pra-kemerdekaan hingga masa kejayaan Orde Baru pada 80-90an. Dalam kesemuanya itu, sikap konsistensi Mochtar Lubis tidak pernah berubah. Sebagai contoh, simak tanggapan beliau soal kemerdekaan Indonesia yang tidak memerdekakan manusia Indonesia itu sendiri. Pernyataan beliau soal kemerdekaan itu selalu muncul berulang-ulang dalam berbagai judul artikel. Bagi Mochtar Lubis, pengejawantahan demokrasi Pancasila dan hak azasi manusia masih jadi isu retoris belaka dan tidak pernah benar-benar diamalkan.

Tidak hanya itu, Mochtar Lubis juga menyinggung soal kehidupan sastra di Indonesia. Terutama, beliau menyorot persoalan yang muncul antara Manikebu dan LEKRA. Tidak hanya sampai disitu, beliau membahas juga kontroversi yang muncul seputar dirinya dengan Pram (Pramoedya Ananta Toer), dan juga soal penganugerahan Magsaysay Award yang secara terang-terangan ditolaknya. Yang menarik, ada nama lain yang juga muncul selain penguasa Orde Lama dan Orde Baru, yaitu Budi Darma. 

Sebagai sesama sastrawan, Mochtar Lubis menganggap bahwa tidak sepantasnya Budi Darma melakukan kritik sastra. Dengan kata lain, Budi Darma tidak sepantasnya melakukan kritik atas karya sastra orang lain agar tidak kehilangan objektivitas dalam penilaian karya sastra tersebut. Alasan tersebut cukup masuk akal mengingat sikap Mochtar Lubis sendiri yang tidak pernah melakukan timbangan atau kritik sastra. Perlu dicatat juga bahwa mungkin saja alasan Budi Darma berperan sebagai kritikus dipengaruhi oleh latar belakang akademik yang mengharuskannya melakukan kajian-kajian sastra.

Buku ini setidaknya menggambarkan sikap seseorang yang teguh memegang prinsip dan setia pada amanat perjuangannya. Mochtar Lubis dengan 'lurus' bicara segala macam persoalan bangsa ini dengan konsistensi yang tidak tergoyahkan. Membacanya, justru akan menambah khazanah pengetahuan khalayak melalui penuturan seorang tokoh bangsa yang mengakhiri perjuangannya dengan paripurna.

Insert halaman buku: Foto-foto kenangan Mochtar Lubis
 
Insert halaman buku: Mochtar Lubis bersama anak angkat di Vietnam

Insert halaman buku: Mochtar Lubis di Vietnam

Insert halaman buku: Mochtar Lubis dengan anak angkat di Vietnam


Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Ada beberapa hal yang saya cermati dalam buku Mochtar Lubis ini. FYI, buku ini adalah buku Mohctar Lubis kesekian yang saya baca setelah Jalan Tak Ada Ujung, Senja di Jakarta, dan Harimau-Harimau (tidak tamat). 

Saya tidak tahu apakah Mochtar Lubis ini juga tergolong ke dalam 'kaum futuris' yang selalu memimpikan tatanan baru Indonesia dalam Demokrasi Pancasila. Hal ini tersirat dalam satu petikan wawancara soal suksesi kepemimpinan tahun 1998 lalu. Mochtar Lubis telah lama memprediksi bahwa akan ada suksesi setelah tahun 1998 karena konstelasi politik dan tuntutan rakyat. Nyatanya, seperti yang telah kita alami sendiri, Soeharto mengakhiri masa kekuasaannya pada tahun 1998 tersebut.

Dalam catatan yang saya selipkan selama membaca buku ini muncul beberapa topik yang relevansinya masih tinggi dengan keadaan negeri kita saat ini. Sudah dari zamannya Mochtar Lubis bahwa partai dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang seringkali mengaku sebagai penyambung lidah rakyat kehilangan kepercayaan dari rakyat itu sendiri. Kecenderungan tersebut menyebabkan keadaan politik yang tidak pernah stabil dan rawan KKN. Keadaan seperti itu masih berlangsung setidaknya sampai saat ini. Dengan demikian, sejarah telah menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang berulang. Entah bangsa kita yang gagal belajar darinya.

Soal kehidupan sastra di negeri ini, saya angkat topi pada sikap Mochtar Lubis yang 'menahan' dirinya untuk tidak tampil sebagai sastrawan sekaligus kritikus sastra. Sila simak beberapa wawancara, Mochtar Lubis beberapa kali menyatakan bahwa ia tidak akan mau untuk menulis suatu kritik atas suatu karya tertentu sesama sastrawan. Tentu saja, hal itu dilakukannya demi menjaga objektivitas.

Persoalan lain yang muncul soal sastra  adalah perseteruannya dengan Pram. Mochtar Lubis mengecam sikap Pram yang mengangkangi kebebasan berekspresi dalam sastra melalui segenap intimidasi pada harian Lentera yang dipimpin Pram. Menurut Mochtar Lubis, Pram telah melakukan kesalahan dalam sejarah sastra Indonesia dengan 'membakar' semua karya sastrawan anggota Manifest Kebudayaan. Harapannya hanya satu, agar mengingatkan kaum muda untuk tidak begitu saja melupakan sejarah yang terjadi pada masa itu.

Menurutnya, Pram tidak pernah mengakui kesalahannya itu. Mochtar Lubis dapat menerima karya-karya Pram tetapi tidak untuk sikapnya yang hanya diam ketika disinggung soal pembakaran tersebut. Mochtar Lubis tidak menuntut apa-apa kecuali Pram mau mengakui kesalahannya itu. Hingga saat Pram dianugerahi Ramon Magsaysay Award, sikap yang demikian itu tidak berubah. Sebagai protes atas penghargaan tersebut, Mochtar Lubis mengembalikan semua hadiah yang ia terima ketika mendapatkan penghargaan serupa yang diterimanya jauh sebelum Pram dinominasikan.

Entah pembaca mau menganggap Mochtar Lubis sebagai seorang utopis, idealis, sekaligus realis, yang jelas konsistensi sikapnya itu perlu jadi teladan. Mochtar Lubis tidak sembarang berkata. Semua yang diucapkannya dalam 'rekaman wawancara' ini menunjukkan konsekuen dan konsistensinya. Dan yang terpenting semua itu diungkapkannya sebagai sintesa sebuah pengalaman karena ia sendiri telah mengalami semua yang ia katakan itu. Kesesuaian tingkah laku dan ucapannya menjadi semacam 'trademark' yang sudah melekat bagi sebuah simbol atas nama: Mochtar Lubis.


Judul                     : Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan
Penulis                 : Ramadhan K. H (editor)
Penerbit                : Yayasan Obor Indonesia
Tahun                   : 1995
Tebal                     :315 hal.
Genre                   : Memoar-Tokoh


Paninggilan, 18 Desember 2012.


*) Petikan wawancara redaksi Memorandum, halaman 4.

Jumat, 07 Desember 2012

Angklung: Sebuah Kritik Budaya

Heran. Katanya angklung sudah masuk ke dalam warisan dari budaya dunia. Tetapi mengapa masih sulit untuk menemukan pengejawantahan karya angklung tersebut.

Bukankah kita juga yang selalu out of mind setiap tahu kebudayaan kita akan dicaplok bangsa lain. So, saya kira wajar saja kalau kebudayaan kita selalu dicaplok orang-utamanya tetangga sendiri. Disaat negara tetangga bersedia melakukan apa saja dengan budget besar untuk mengumpulkan khazanah kebudayaan dunia, kita, bangsa Indonesia, bangsa yang mengklaim batik sebagai warisan budaya dunia, bangsa yang marah saat Reog Ponorogo dicaplok Malaysia, malah hanya bisa jadi penonton. 

Kita tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan, hanya untuk sekedar membuat CD berisi rekaman lagu-lagu daerah yang dimainkan dengan angklung.


Ribuan orang memainkan Angklung di halaman Gedung Sate, Bandung. Image courtesy: @thejakartapost

Maka tak heran bila nanti 10 atau 20 tahun lagi, kita harus pergi ke National Museum of Singapore hanya untuk menonton pagelaran wayang kulit, menyimak kembali film karya Usmar Ismail: Lewat Djam Malam, atau sekedar mendengar lagu Manuk Dadali yang dimainkan dengan komposisi angklung.

Sungguh sangat mengherankan bagi bangsa yang katanya punya aneka ragam kebudayaan tetapi malah sulit menemukan khazanah kebudayaan negeri sendiri.

Hari-hari ini kita terlalu sibuk dibuai mimpi. Kita terlalu sibuk untuk menyimak Sang Pahlawan yang rela blusukan demi membangun kotanya. Kita terlalu sibuk untuk memastikan koruptor-koruptor itu mendapat hukuman yang setimpal. Kita terlalu sibuk menggunjing soal artis yang itu-itu juga. Pun kita terlalu serius soal aksi buruh yang semakin mengancam pergerakan Homo Jakartensis dan harga daging sapi yang semakin menggila.

Agaknya, kita perlu juga mengoreksi atau malah mempertanyakan keindonesiaan kita ditengah himpitan arus modernitas yang menghadirkan sejuta impian artifisial. Manusia Indonesia sudah sepantasnya dewasa dan bersikap konsekuen terhadap apa yang sudah menjadi miliknya. Bukan lantas menikmati, lalu menangguk keuntungan dari komoditas budaya tersebut, hingga menjadikannya bagian dari fashion dan lifestyle semata.

Kita patut bertanya, apakah yang bisa Indonesia pamerkan dalam festival kebudayaan antar negara? Apakah kita hanya mau menampilkan batik yang itu-itu juga? Apakah kita tetap mau menyajikan tarian yang itu-itu juga? Atau kita mau menampilkan sisi keragaman budaya lainnya. Entah itu sekedar balas-membalas pantun ala Betawi, Karapan Sapi khas Madura taiyee.., atau hanya sebuah atraksi Lompat Batu ala Nias.

Indonesia pun masih menyimpan potensi budaya tulis yang amat mengakar. Sudah berapa kali penulis Indonesia mampu bersuara di ajang regional South East Asia Award? Banyak penulis negeri ini telah memubuktikan kepiawaiannya dalam merangkai suatu fenomena dalam bentuk tulisan yang dibukukan.

Jangan lantas keragaman budaya bangsa kita didominasi hegemoni budaya tertentu yang kemudian menyeragamkan identitas keindonesiaan kita. Kesusasteraan Indonesia pun masih menyimpan khazanah keindonesiaan yang erat melekat dengan keseharian kita.

Peran kebudayaan sebagai identitas eksistensial bagi Bangsa Indonesia sangatlah vital. Kita sesungguhnya mampu mewujudkan hegemoni budaya bangsa dihadapan masyarakatnya sendiri. Hanya perlu sedikit semangat. Semangat individu-individu didalamnya untuk mau berbuat dan mencari khazanah kebudayaan bangsa lain yang belum terekspos agar lantas tidak menjadi komoditas kapital semata.


Pancoran, 23 November 2012.

Jumat, 16 November 2012

Menggugat Jakarta

Pernahkah membayangkan bagaimana kehidupan di Jakarta, 100 tahun dari sekarang?

Selalu menarik untuk membahas Jakarta dari berbagai sudut pandang. Jakarta bukan hanya dapat dipandang sebagai suatu letak geografis semata. Jakarta adalah suatu entitas yang terus berkembang dan menggeliat. Jakarta adalah soal segalanya. Impian, kesuksesan, peradaban, popularitas, kekuasaan, and all that you can’l leave behind (sounds like judul album U2 :p ). Jakarta masa depan adalah Jakarta masa kini. Jakarta tidak pernah kehabisan pesona. Jakarta, Jakarta, Jakarta.




Buku ini bukan kumpulan cerpen tentang Jakarta. Penulisnya cenderung lebih suka menyebutnya sebagai “laporan jurnalistik imajinatif”. Imajinatif. Kata kunci untuk dapat menikmati dan lebih memahami esensi buku ini. Jakarta adalah magnet yang tidak pernah berhenti memancarkan pesonanya. Kini, dan entah 100 tahun lagi.

Andre Syahreza mengungkap berbagai sisi kehidupan di Jakarta dengan imajinasi pada 100 tahun kedepan. Ia menghadirkan imaji tentang citra kota Jakarta sebagai metropolitan yang tidak pernah tidur. Black Interview menantang pembaca dengan sindiran-sindiran khas black comedy atau komedi satir. Black Interview menjungkalkan logika-logika yang sedang berlangsung di masa sekarang dengan menciptakan ruang imajinasi atas segenap interpretasi di masa mendatang. Jakarta, 100 tahun dari sekarang. Dekonstruksi realitas sangat kental sebagai unsur utama dalam buku ini. Pembaca diajak untuk melepas segala macam pengalaman nyata soal Jakarta.

Semua hal yang bisa ditemukan di Jakarta, bakal ditemukan juga disini. Mulai dari kesemerawutan kota dan imajinasi tentang bau parfum yang bisa membuat kita melupakan segala kerumitan itu, soal busway dan segenap problematikanya, soal bisnis seks dan narkoba yang tetap jadi primadona, soal kebosanan atas segenap rutinitas harian, soal mall yang cenderung membela kepentingan gender tertentu, hingga soal legenda Si Pitung dan sejarah kota Jakarta. Semua terjadi lengkap dengan pengandaian pada suatu masa seratus tahun dari sekarang.

Meniru kata Seno Gumira Ajidarma pada bagian endorsement, Black Interview berhasil meleburkan genre jurnalistik dengan genre sastra. Imajinatif dan provokatif. Buku seperti ini memang sangat diperlukan untuk mewarnai kehidupan rutin kita yang cenderung monoton dan sudah mirip dengan kematian.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Personally, saya selalu suka untuk membaca segala sesuatu tentang Jakarta. Setelah novel adaptasi @adhityamulya, “Kejar Jakarta”; lalu kumpulan esai @mkusumawijaya, “Jakarta Tunggang Langgang” yang banyak mengadu wacana tentang ruang publik di Jakarta yang sudah terlanjur begini; hingga kumpulan esai dan fiksi “Jakarta Banget” (sekalian nebeng promosi :) ).

Tulisan favorit saya dalam buku ini adalah sebuah komedi satir berjudul “Hawa Air”. Tulisan yang mengingatkan kembali pada tahun terburuk dalam sejarah penerbangan Indonesia. Seperti tulisan lainnya, “Hawa Air” menegaskan dekonstruksi logika yang realistis dibalut rapi dengan konstruksi imajinatif sebagai “jiwa” dari keseluruhan buku ini.



Anyway, apresiasi terhadap Jakarta-apapun bentuknya-menandakan suatu perhatian khusus bagi publik. Jakarta seakan mewakili seluruh wajah orang Indonesia. Karenanya, impian dan segenap interpretasi publik akan Jakarta yang lebih ramah, bersahabat, dan manusiawi selalu dihadirkan dalam bentuk apapun, entah itu teks, visualisasi, atau bahkan hanya sekedar imajinasi.

Judul        : Black Interview
Penulis        : Andre Syahreza
Penerbit    : GagasMedia
Tahun        : 2008
Tebal        : 222 hal.
Genre        : Fiksi Jurnalistik

Medan Merdeka Barat, 23 Oktober 2012

Minggu, 30 September 2012

The Lies We Live In


 
"Ada bagian masa lalumu yang belum selesai..."
"Bagian mana?"
"Tanya dirimu, hatimu lebih tahu..."
"Apa perlunya? Apa itu masalah untukmu?"
"Kadang-kadang itu jadi masalah buatku. Lagipula kamu tak peduli."
"Kamu cemburu...?"
"............"

Percakapan terakhir pada suatu senja penghabisan itu membuatku teringat lagi padanya. Aku masih mengingkari kenyataan bahwa memang ada bagian masa laluku yang belum selesai. Bagai noktah kecil dalam tirai hati. Aku tidak mau mengakui kalau aku masih belum bisa melepaskan semua ingatan tentang perempuan yang menangis ketika kutinggalkan sore itu. Ketika semua yang mampu dihadirkan mimpi perlahan membias dalam keremangan senja. Dan kini, perempuan lain hadir dalam hidupku hanya untuk sekedar mengingatkan perihal masa lalu itu.

Aku yakin ia tidak sedang merasa seperti Inez yang batal menikah dengan Francis Lim, hanya gara-gara Francis masih punya masa lalu yang belum selesai dengan Retno.* Ah, sudahlah. Hidup ini tidak seperti novel walau kadang diperlukan waktu yang panjang untuk menyudahinya dan kejutan-kejutan hebat sebagai bumbu cerita.

"Kadang tidak perlu benar-benar jahat untuk jadi penjahat..."
"Kata siapa? Apa itu sindiran buatku?"
"Ya, jika kau merasa..."
"Lantas?"
"Tidak perlu memaksa melupakan bila memang tak sanggup"
"Kamu cemburu?"
"........."

Aku rasa berkomitmen itu mudah dan bukan sesuatu yang 'sakral'. Komitmen adalah bagaikan memilih barang di etalase toko. Kalau suka, ambil. Kalau memang tidak, ya sudah jangan dibeli. Dalam komitmen, yang dibutuhkan hanya kesungguhan untuk menjalani hidup bersama tanpa harus melupakan diri masing-masing. Toh, kita masih bisa tetap jadi diri sendiri. Tetapi, apakah meninggalkan segala ingatan tentang masa lalu adalah bagian dari komitmen itu juga?

Semua orang punya rahasia masing-masing. Aku dan dia sama saja. Kita sama-sama pernah punya lubang di hati. Aku rasa kita berdua telah sama dewasa. Bicara dengan logika walau terkadang perempuan itu cenderung melibatkan emosinya.

"Sudah berapa lama kamu berhenti menemuinya?"
"Sejak aku mengenalmu"
"Gombal"

Aku memang pernah menginginkannya. Aku memang selalu rindu padanya. Pada tatap hangat dan senyuman yang merekah indah setiap pagi. Pada semua momen bersama yang terlalu indah dilepaskan. Sampai akhirnya aku tersadar bahwa aku pula yang menghentikan perasaan itu. Aku memang meninggalkan luka padanya, itu memang salahku. Lagipula, aku tidak akan memaafkan diriku bila aku sampai hati memainkan perasaannya. Aku sedang tidak ingin serius apalagi sampai harus memegang komitmen. Untuk apa? Dengan diriku saja aku masih belum bisa berkomitmen apalagi dengan dia.

"Kamu masih ingat perjumpaan kita?"
"Masih, bagaimana bisa aku lupa?"
"Apakah itu suatu penyangkalan?"
"Tentu tidak. Kamu tentu tahu betapa hebatnya ingatanku."
"Apa itu sebabnya kamu masih belum bisa lepas darinya?"
"Apakah kamu minta penjelasan?"
"Things happens for a reason..."
"Not everything in common..."
"Ah, tentu kamu masih ada rasa..."
"Itu untukmu..."
"Is that a compliment?"
"Akuilah, kamu cemburu?"

Perempuan itu terdiam lagi. Senyum tipisnya merekah seakan penuh kemenangan. Perlahan ia hirup aroma kopi Aceh pesanannya. Betapa sederhananya menemukan kebahagiaan dalam hidup ini walau hanya dalam aroma kopi.

"Kadang terlintas untuk cemburu, tapi buat apa? Toh aku tahu kamu tidak akan kembali pada masa lalumu."
"Mengapa kamu begitu yakin? Aku bisa saja melakukannya."
"Aku percaya kamu takkan pernah bisa melakukannya"
"Mengapa tidak?"
"Aku ini bukan apa-apa sehingga seandainya kehilangan dirimu pun aku rela, tak ada yang abadi walau memang kadang terlalu sulit menerima kenyataan... Sebab jarum jam tak pernah berputar ke kiri."

Kalimat terakhirnya cukup membuatku merasa bersalah. Aku tidak pernah meragukan dirinya. Sudah terlalu banyak 'pertengkaran' semacam ini. Suatu proses atas nama pendewasaan. Kami pun cukup sadar untuk melewati gerimis berkerikil tajam ini. Bukan suatu alasan untuk menyerah dan berpisah.

Ada ribuan tanya. Bukankah mencintainya adalah hal terbaik yang bisa kulakukan? Setelah reda semua gelisah, aku berhasil memenangkan hatinya. Sebuah pertempuran rasa yang tak mudah. Aku adalah kepingan hatinya yang berserakan. Kepingan-kepingan yang kini menyatu menjadi puzzle yang utuh dan menjelma dalam sosok diriku.

Dalam keremangan senja gerimis benar-benar menutup hari serupa tirai bioskop tanda usai pertunjukan. Lampu temaram jalanan mulai menghiasi sudut kota. Pekerja kantoran mulai berhamburan, sebagian menutupi kepala sebisa mereka. Pertanda episode kehidupan segera dimulai kembali.

"Memang sulit untuk menutup masa lalu, apalagi tentang dia.."
"Maksud kamu?"
"Selesai tidak selesai itu hanya dipikiranmu saja. Aku tidak tahu apa-apa."
"Apakah itu mengubah sesuatu?"
"Mungkin saja!"
"Apa itu?"
"Mungkin tidak ada bedanya. You do well and I'll live mine."

Ingatanku kembali pada Inez, yang mungkin punya sejuta tanya tentang mengapa Francis meninggalkannya hanya demi sebuah masa lalu yang tertinggal dan belum selesai. Bukanlah masa lalu itu adalah akhir dan kita hanya diperbolehkan untuk menengok sebentar. Bukan lantas tinggal kembali dan menjalaninya sementara melupakan hari ini. Masa lalu hanyalah sejarah kecil dalam rangkaian perjalanan panjang bernama hidup.

Aku tersadar ketika perempuan itu memelukku erat dalam guyuran gerimis. Aroma perpisahan mulai mewangi. Aku harap bukan, mungkin itu sisa parfumnya. Perempuan itu bergegas mengejar taksi. Dalam hitungan detik, perempuan itu menuju belantara kemacetan. Macet di Jakarta adalah bagai dosa yang takkan berakhir. Kulangkahkan kaki, sambil bergumam dalam hati: I'm all alone, and life is very long.

Ponselku berbunyi. Yup. Malam ini aku ada kencan dengan Cinta. Yeah!


 Medan Merdeka Barat-Paninggilan, 14 Februari 2012.

*baca cerita Francis Lim dan Retno dalam buku “Traveler’s Tale: Belok Kanan Barcelona!” karya Adhitya Mulya (et.al), Gagasmedia, 2007.
 *cerpen dimuat dalam "The Greatest Love of All: Tribute to Whitney Vol. 2"

Kamis, 05 Juli 2012

Konser

Judul       : Konser
Penulis    : Meiliana K. Tansri
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Tahun     : 2009
Tebal      :296 hal.
Genre     : Novel Dewasa

Jika kau percaya, cinta akan datang padamu bila saatnya tiba
.

Kirana, pemain biola andalan Simfoni Bintang dengan predikat "rising star". Seorang gadis yang baru saja beranjak dari masa remajanya. Masa-masa yang seharusnya penuh suka cita andai saja ayahnya masih bersamanya. Kehilangan ayah tercinta adalah suatu pukulan telak bagi keluarganya. Kehidupan mereka tidak akan pernah lagi sama. Kenyataan hidup telah mengajarinya banyak hal. Kirana "dipaksa" menjadi dewasa sebelum waktunya.

Kirana dan Fajar adalah sesama rekan kerja di Simfoni Bintang yang dipimpin oleh Adji. Keduanya terlibat dalam jalinan rasa yang mengikat pada hati masing-masing. Perlahan, Kirana telah jatuh cinta pada Fajar, sang pianis andalan Simfoni Bintang. Fajar sendiri telah menikah dengan Elise. Pernikahan yang berlangsung dalam kepura-puraan belaka. Fajar tidak pernah mencintai istrinya sekalipun Elise sangat mencintainya. Pernikahan yang dilangsungkan hanya untuk memenuhi ambisi ego pribadinya belaka. Demi sebuah konser tunggal yang kelak akan disponsori oleh Sudarto, ayah Elise.

Petaka itu dimulai ketika Kirana dan Fajar mulai terlibat dalam hubungan yang lebih intens. Tidak hanya sekedar rekan kerja belaka. Seringkali, bayangan tentang Kirana menyeruak dibenaknya. Fajar pun seakan tidak kuasa. Rasa simpati Fajar terhadap segala kejadian pahit yang menimpa Kirana berubah menjadi benih-benih cinta diantara semak belukar hatinya. Fajar menyadari bahwa ia mencintai Kirana namun belum sepenuhnya bisa terlepas dari jerat pernikahannya dengan Elise. Kirana pun demikian. Rasa cintanya yang kian membuncah itu harus berhadapan dengan jurang pemisah bernama pernikahan. Kirana tidak sanggup membayangkan bahwa dirinya akan terjebak diantara Fajar dan Elise.

Elise, belakangan mulai curiga dengan perubahan yang terjadi pada Fajar. Fajar terlihat sering muram dan mulai susah tidur. Elise menangkap sesuatu pada benak Fajar. Sesuatu yang melebihi insting nalar perempuannya untuk mengendus sesuatu dibalik sikap Fajar yang semakin dingin. Elise mulai berhadapan dengan berbagai asumsi dan prasangka. Elise kemudian mencoba untuk membuktikan semuanya. Tidak perlu waktu lama untuk menyadari yang terjadi pada Kirana dan Fajar. Elise telah mendapatkan jawaban atas segala kekhawatiran yang selalu melandanya.

Tensi konflik-konflik dalam cerita semakin meningkat ketika Lydia, sosok Ibu yang begitu dicintai Kirana jatuh sakit dan harus dirawat. Kirana berusaha untuk tetap tegar menghadapi vonis kanker yang diderita Ibunya. Disinilah Kirana mengalami berbagai ujian. Kirana sudah berhasil menjaga jarak dengan Fajar setelah Elise melabraknya dan menggores Stradivarius kesayangannya. Kirana menganggap dirinya telah cukup dewasa untuk menghadapi semua itu. Namun, ukuran kedewasaan tidak hanya diukur dari sejauh mana Kirana mampu menghadapi semua belenggu dihadapannya. Ada banyak hal lain yang masih membutuhkan jam terbang pengalaman. Dalam perjuangannya itu, Kirana mulai menerima kenyataan untuk merelakan Ibunda tercinta ke pangkuan Tuhan.

Perkenalannya dengan Sastro, kolektor barang antik, telah menyelamatkan Kirana dari jeratan lain yang mengintainya. Kirana merasa sangat merasa berterima kasih dan berhutang budi padanya. Sesuatu yang harus dibayar mahal. Kirana menerima pinangan Sastro, seorang kaya raya seumuran ayahnya yang masih membujang. Suatu awal bagi babak baru kehidupan Kirana. Ia memutuskan berhenti bermain musik setelah menikah.

Memasuki akhir cerita, semua konflik yang dibangun sejak awal hingga pertengahan cerita menemukan benang merahnya masing-masing. Fragmen-fragmen dalam adegan Elise yang mengalami pendarahan sehingga menyebabkan kematiannya dan bayi yang dikandungnya, pesan terakhir Elise yang menagih janji ayahnya, fakta bahwa ayah Elise sebagai biang keladi dibalik hancurnya bisnis keluarga Kirana, hingga kehamilan Kirana yang menimbulkan konflik baru dalam pernikahannya dengan Sastro.

Kehilangan Elise membuat Fajar semakin menyadari bahwa dirinya memang telah melakukan kesalahan terbesar dalam hidupnya. Fajar telah menyia-nyiakan cinta dan segenap pengorbanan Elise. Konser terakhir yang digelar pun bertajuk “Fur Elise” sama dengan judul sebuah nomor klasik. Fajar tampil sepenuh hati dalam konsernya itu demi membahagiakan Elise yang telah menantinya di alam lain. Konser itu pula yang akhirnya membawa penyelesaian bagi tautan perasaan Fajar dan Kirana. Sedang, Sastro mulai bisa menerima kenyataan pada konflik yang mereka alami dalam pernikahanya bersama Kirana.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Awalnya, saya merasa bakal mendapat gambaran yang jelas tentang bagaimana sebuah konser atau resital piano berlangsung. Saya semakin yakin karena sampul depan buku ini memang menampilkan alat musik yang menjadikan Beethoven sebagai masetro, piano. Selama ini, yang ada dibenak saya tentang resital piano adalah konser Francis Lim di Amerika sana, yang saya baca dalam buku Traveler’s Tale.
Namun, keyakinan saya itu seketika berubah sebaliknya. Membaca sinopsis singkat di bagian belakang buku, rasanya ada sesuatu lain yang ditampilkan buku ini. Tidak melulu tentang musik. Sejenak, saya menangkap makna bahwa buku ini memberikan sesuatu yang lain. Masih tentang cinta dan konflik-konflik seputarnya, dan itu melibatkan orang ketiga.

Isu tentang perselingkuhan sudah ada lama sekali sejak pertama kali Tuhan menciptakan cinta dalam jalinan pernikahan. Perselingkuhan selalu menjadi isu  yang menarik untuk diikuti. Selalu menarik untuk mengikuti cerita cinta yang tidak hanya milik dua orang anak manusia. Isu yang tidak akan pernah membuat bosan karena banyak variasi yang bisa dilakukan untuk tetap mencintai seseorang, sekalipun itu terlarang.

Konser lebih banyak bercita tentang konflik-konflik seputar pergulatan tokoh-tokohnya dengan kehidupan mereka masing-masing. Kirana, dengan segenap problematikanya yang mengharuskannya lebih dewasa dari orang dewasa. Fajar, yang harus mengakui sifat pengecut yang bersemayam dalam dirinya karena pernikahannya dengan Elise tidak pernah ditautkan oleh cinta sehingga mulai jatuh cinta pada sosok Kirana. Cerita yang berputar diantara tokoh-tokoh tersebut tidak lantas membuat buku ini kehilangan dimensi-dimensi lainnya. Latar cerita semakin menambahkan kesan yang kuat dalam membentuk imajinasi pembaca terhadap situasi-situasi yang dialami tokoh-tokoh cerita. Walaupun akhir cerita terkesan sedikit filmis dengan terkuaknya semua “rahasia”, semua itu tidak mengurangi kekuatan cerita yang berangkat dari ide yang sangat sederhana ini.

Yang patut dijadikan pelajaran dari buku ini adalah memaknai nilai-nilai keteguhan dan kesetiaan kaum perempuan. Keteguhan hati seorang perempuan ditampilkan dalam sosok Lydia dan Elise.  Lydia, dalam perjuangannya membesarkan ketiga buah hatinya. Pun, ketika berjuang melawan penyakit kanker yang menimpanya. Elise, walaupun tampak rapuh dibalik sikap manjanya ternyata sangat mencintai Fajar. Elise rela berkorban apa saja demi cintanya itu. Elise telah membuktikan bahwa cinta memang membutuhkan pengorbanan, sekalipun nyawa taruhannya. Elise meninggalkan dunianya dengan membawa cintanya. Cintanya masih menggema di sanubari sehingga membuat Fajar merasa sangat bersalah.

Sungguh tidak mudah bagi kaum istri untuk menerima kenyataan bahwa suami mereka berselingkuh. Namun, penolakan itu sama pahitnya dengan menyadari apa yang telah terjadi lalu mencoba berdamai dengan segala kecurigaan dan prasangka yang terlanjur mengisi relung hati. Sehingga, apapun pilihan atasnya menjadikan perempuan sebagai sosok yang lebih dari sanggup untuk mengatasi semua itu.

Melalui cerita ini, Meiliana berhasil membangun imaji tentang kekuatan seorang perempuan dalam menghadapi segenap prahara dan badai konflik dalam rumah tangga. Kekuatan yang berasal dari fitrah yang saling melengkapi peran kaum perempuan. Baik itu dalam konteks relasional dengan dunia sekitar mereka maupun dengan perasaan mereka sendiri. Perasaan dan intuisi yang seringkali jadi lawan abadi dalam menemukan pelangi di akhir badai.

Paninggilan, 22 April 2012.

Kamis, 10 Mei 2012

Menoreh Janji di Tanah Suci

Perjalanan, kemana pun tujuannya, adalah perjalanan menuju diri sendiri. Pencarian makna diri dalam ruang dan waktu yang tak pernah sama. Mencari arti dibalik hakikat penciptaan dan segala hal yang menafsirkan ayat-ayat Tuhan. Perjalanan spiritual yang membutuhkan lebih dari sekedar kesadaran untuk jujur terhadap diri sendiri. Perjalanan menuju titik dasar dalam jiwa. Berbalut pada harap dan ridho Yang Maha Kuasa.

Perjalanan haji sebagai tingkatan ibadah tertinggi di Rukun Islam bagi sebagian orang hanyalah mimpi belaka. Ongkos Naik Haji yang cenderung naik setiap tahun belum lagi ditambah kondisi inflasi adalah satu tantangan. Belum lagi, situasi sosio-religius masyarakat kita yang cenderung menganggap berhaji adalah suatu kewajiban bagi mereka yang mampu secara materi.

Padahal, bila dikaji lebih dalam, kata ‘mampu’ ini ditafsirkan sebagai penegasan bahwa ‘mampu’ bukan lagi bermakna harfiah sekedar bisa mencukupi dalam hal materi saja. Kata ‘mampu’ disini berarti mampu secara jiwa dan ragawi, secara maknawi, untuk mengelola hati dan perasaan terutama dalam kesiapan memenuhi panggilan Allah SWT.

Berhaji adalah persimpangan antara ikhtiar, tawakkal, dan harapan. Segala makna peribadahan terkulminasi dalam ibadah haji. Keberserahan diri kepada Yang Maha Kuasa diuji di Tanah Para Nabi, Tanah Haram. Melalui berbagai kejadian yang tidak disengaja, akhirnya Allah SWT telah berkenan memanggil hambanya. Seorang penulis prolifik, Pipiet Senja, untuk memenuhi panggilanNya. Allah SWT telah memberikan karuniaNya kepada Pipiet Senja untuk mengalami suatu kebesaran atas namaNya.

Buku ini banyak bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialami Pipiet Senja dalam perjalanannya ke Tanah Suci. Dua kali. Umroh dan haji. Ditulis dengan gaya yang santai membuat pembacaan buku ini tidak terkesan terlalu serius. Bahkan, dengan cara tersebut membuat pembaca lebih mudah untuk mengambil ibroh (pelajaran) dan hikmah dari cerita-cerita Pipiet Senja. Pembaca seakan diajak mengalami sendiri peristiwa-peristiwa di Tanah Suci. Mulai dari kekaguman penulis ketika pertama kali melihat Baitullah, merasakan susahnya masuk Raudhah, hingga rangkaian ibadah haji besar. Bermalam di Mina, wukuf di Arafah, sampai Tawaf Wada’.

Penuturan yang apa adanya khas Pipiet Senja membuat pembaca tidak akan kesulitan mencerna kisah-kisah dalam buku. Simak berbagai pengalaman yang didapat Pipiet Senja bersama rombongannya di Tanah Suci. Cerita-cerita seputar kelakuan jamaah haji Indonesia serta jamaah lainnya dari segenap penjuru dunia menjadi sajian tersendiri yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bahkan, beberapa diantaranya akan membuat kita terperangah dan tidak jarang malah berkaca pada diri sendiri. Terutama, ketika Tanah Suci memberlakukan ayat “Sesungguhnya aku tergantung pada prasangka hambaKu”. Entah keajaiban atau kesialan bisa menghampiri sebegitu cepatnya.

Lebih jauh, Pipiet Senja mengajak pembaca untuk senantiasa mentafakkuri hikmah dibalik pengalaman yang didapatnya. Catatan yang lebih tepat disebut memoar ini memberikan gambaran bahwa sejatinya berhaji adalah bukan sekedar memenuhi panggilan Allah SWT, bukan sekedar unjuk kepunyaan materi, bukan sekedar ritual ibadah belaka. Berhaji adalah bukan perjalanan biasa. Dibutuhkan lebih dari sekedar iman untuk melaksanakannya. Kita akan dibuat lebih yakin akan kebesaran Allah SWT. Kita akan semakin yakin bahwa janji Allah SWT itu benar adanya. Keikhlasan, tawakkal, tawaddhu, dan kepasrahan, menyublim dalam wujud pengharapan pada Sang Maha Pencipta.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Awalnya, saya menandai buku ini dalam daftar wishlist buku yang akan dibeli dan dibaca. Namun, keinginan untuk membacanya belum sebesar nafsu ingin menamatkan Nagabumi II. Saya memang punya keinginan untuk pergi umroh. Entah kapan. Tidaklah terlalu salah punya keinginan seperti itu. Toh, namanya juga ibadah. Hingga suatu saat saya tersadar bahwa saya juga merasakan hal yang sama seperti Pipiet Senja. Tepat ketika sahabat saya, Adit, berterus terang untuk berangkat umroh bersama ibundanya tengah bulan April ini. Akibatnya, saya merasa harus segera menamatkan pembacaan buku ini.

Selain itu juga, saya ingin mempunyai gambaran jelas tentang apa-apa saja yang harus dipersiapkan selama beribadah di Tanah Suci. Satu cara yang efektif yaitu dengan membaca memoar ini. Saya rasa tidak terlalu sulit bagi seorang penulis untuk menceritakan kembali pengalaman-pengalaman yang dialami disana. Akan mudah rasanya bagi saya untuk memahami semua itu melalui tulisan santai dan tidak melulu serius namun sarat akan makna, pengalaman, dan hikmah.

Harus saya akui bahwa karya yang kesekian dari Pipiet Senja ini adalah satu karunia untuk mengobati keringnya jiwa saya akhir-akhir ini. Buku ini adalah buku pertama yang berhasil membuat saya menitikkan air mata. Bulu roma saya merinding pada saat membaca halaman-halaman awal buku ini. Semua itu terjadi begitu saja di dalam bis yang membawa saya kembali ke Jakarta.

Saya bisa bayangkan keadaan yang digambarkan Pipiet Senja. Betapa keadaan beliau saat itu sangat tidak memungkinan untuk bisa memenuhi panggilan Allah SWT. Bahkan, berharap pun tidak. Tetapi, justru disitulah Allah SWT menunjukkan kebesaranNya. Tanpa disangka, takdir, harapan, dan keinginan bertemu di satu persimpangan atas nama nasib anak manusia.

Rasanya, ada banyak sentuhan emosional dalam proses penciptaan buku memoar ini. Sesuatu yang tadinya tidak akan pernah mungkin tiba-tiba bisa berubah menjadi suatu kenyataan, senyata-nyatanya. Pipiet Senja tidak pernah bermimpi dapat menunaikan ibadah umroh dan haji apalagi dengan dukungan finansial dari pihak-pihak yang tak terduga. Sebuah pelajaran berharga bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar. Bahwa rezeki kita masih 'nyangkut' di tangan-tangan yang Allah SWT kehendaki.

Membaca buku ini sama juga dengan menebalkan kembali keyakinan kita kepada Allah SWT. Allah SWT ingin memberi pelajaran bahwa janganlah sekali-kali berputus asa dari rahmatNya. Sebab, ketika saat itu tiba maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan. Wallahu’alam bis shawab.

Judul         : Menoreh Janji di Tanah Suci: Catatan Haji dan Umroh Pipiet Senja
Penulis      : Pipiet Senja
Penerbit    : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit        : Agustus 2011
Tebal        : 247 hal.
Genre       : Memoar

 Pharmindo-Paninggilan, 10 April 2012.

Selasa, 17 April 2012

Cerita Dibalik Debu, Sebuah Catatan, dan Trilogi

Sudah lama sekali saya tidak membersihkan rak buku. Entah kapan terakhirnya saya tidak ingat persis. Kuas cat ukuran 2 inci pun masih ditempatnya. Bulunya masih halus tanda masih perawan. Sudah lama juga saya tidak membuka buku-buku dalam rak itu. Akhirnya, saya pun memberanikan diri untuk membersihkan debu-debu dengan resiko bersin-bersin. Perlu dicatat, hidung saya terlalu sensitif untuk debu dan pagi itu sedang kumat-kumatnya.

Selesai bermain dengan debu, sambil menata buku satu persatu ke tempatnya masing-masing, saya mulai membuka-buka kembali buku-buku itu. Sebuah perasaan menakjubkan tiba-tiba muncul. Saat menemukan penanda, baik itu pembatas buku ataupun kalimat yang digarisbawahi. Merujuk pada bagian paragraf yang entah saat itu terasa sangat ada maknanya. Lengkap dengan aroma lembap dan debu yang menempel pada setiap lembar halaman buku.

Saya seakan berada pada masa-masa itu. Pada banyak malam sunyi, berbaring membaca buku-buku Seno Gumira Ajidarma sebelum tidur sambil ditemani alunan lagu jadul dari K-Lite 107.1 FM. Percayalah, Atas Nama Malam akan lebih syahdu bila engkau membacanya saat malam menuju puncak gairahnya. Ada kejutan tersendiri bila mengingat saat itu. Saat yang telah terlewati dan hanya jadi kenangan dalam ingatan semata. Hanya menyisakan makna-makna yang tertinggal berceceran dalam pikiran. Sampai saya menemuka dua buku itu, Catatan Hati Seorang Istri dan Trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya Pipiet Senja.

Kalau diingat lagi, ada korelasi antara kedua buku itu, Trilogi Pipiet Senja dan Catatan Asma Nadia. Saya memutuskan untuk membeli Trilogi Pipiet Senja dan Catatan Asma Nadia itu karena beberapa sebab. Selain rekomendasi seorang sahabat dan sebuah rasa penasaran tentang seluk beluk pernikahan. Entah kenapa, waktu itu dorongan untuk kembali memaknai kalam-kalam ayat Illahi menyeruak begitu hebat. Mungkin karena saat itu saya terlalu banyak mengkonsumsi buku-buku sastra yang begitu menalar pikiran. Pengaruh SGA begitu kuat sehingga saya tidak mampu untuk menjauh dari buku-buku sastra lainnya. Barangkali juga saya sedang jenuh. Saya butuh bacaan yang bisa mendekatkan kembali dengan tanda-tanda kebesaran Tuhan.


Beralih sejenak, saya sampai pada Catatan Hati Seorang Istri karya Asma Nadia. Buku yang dibeli tak lama sebelum keberangkatan saya ke Jakarta untuk sebuah wawancara kerja di bulan Oktober 2008. Buku berisi catatan-catatan singkat tentang perasaan dan suara hati kaum istri. Tentang bagaimana kaum istri memaknai peran mereka atas kehidupan ini. Sebagai seorang istri bagi suami mereka, seorang ibu bagi anak-anak mereka, dan kawan sekaligus lawan bagi diri mereka sendiri.

Buku ini sebenarnya jadi penanda atas suatu perasaan. Dalam suatu obrolan singkat pada suatu malam menjelang pernikahan seorang sahabat, terlintas ide untuk setidaknya ‘mempelajari’ hal-hal yang dimungkinkan terjadi pada saat pernikahan. Tak tahu kenapa pilihan untuk ‘belajar’ hal itu jatuh pada buku ini. Saya ambil logika sederhana. Jika kita mau mengetahui bagaimana isi dan suara hati seorang istri maka carilah dari mereka yang benar-benar menyuarakannya. Buku ini misalnya. Dikumpulkan dari beberapa kisah nyata yang benar-benar terjadi. Isu-isu tipikal macam perceraian, perselingkuhan, dan KDRT masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Satu hal yang membuat kisah non-fiksi ini memiliki kesan yang kuat adalah pengaruhnya untuk membangkitkan semangat menulis di kalangan kaum istri di tanah air.


Selanjutnya, saya menemukan lagi buku-buku yang belum saya tamatkan sejak pertama kali membelinya kurang lebih 4 tahun yang lalu. Buku Trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya dari Pipiet Senja. Ketiga buku kecil yang belum mampu saya tamatkan hingga hari ini. Saya sadari itu ketika mulai membaca buku terbaru Pipiet Senja “Menoreh Janji di Tanah Suci” seminggu yang lalu. Sebuah memoar pengalaman haji dan umroh yang dituturkan secara gamblang oleh penulisnya.

Saya sangat malu kepada diri sendiri untuk menyikapi keadaan ini. Saya merasakan suatu keadaan ‘imbalance’ atau ketidakseimbangan. Ada suatu perasaan yang kering. Sehingga, saya perlu menyeimbangkan kembali keadaan itu melalui bacaan sastra Islami sebagai bagian dari Sejarah Perkembangan Sastra Nusantara. Jangankan membaca kata per kata, lembar per lembar. Menyentuhnya pun saya tidak pernah.

Dulu, saya harap Trilogi ini bisa jadi alternatif bacaan sastra. Terutama sastra Indonesia dengan sentuhan Islami yang memang sedang menggeliat dan mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dekade terakhir ini. Ada yang ingin saya pelajari dari fenomena itu. Bagaimana fiksi berbaur dalam realita sehingga menghadirkan realitas fiksi dalam pikiran pembaca. Someday, saya akan menamatkan pembacaan Trilogi ini. Entah kapan, tapi saya tahu waktu itu akan tiba.


Paninggilan, 25 Maret 2012. 20.09
hujan besar disini

Rabu, 11 April 2012

Winter to Summer; 11.369 km untuk satu cinta

Pernahkah kita membayangkan berada jauh dari rumah, merasa terasing, lalu kemudian bertemu dengan seseorang yang benar-benar mencintai kita sepenuh hati. Seseorang yang sangat begitu memahami perbedaan yang membentang dalam jarak dua dimensi budaya. Seseorang yang begitu tulus menerima segenap perbedaan itu tanpa kehilangan sedikit pun perasaan sayangnya

Berada 11.369 KM dari bumi pertiwi membawa satu pengalaman baru bagi Kirana. Mahasiswi jurusan Hubungan Internasional yang mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Geneva. Pengalaman itu juga yang mengantarnya pada suasana dan kawan-kawan baru. Hingga pada akhirnya menemukan satu cinta pada sosok Manu.


Jatuh cinta di negeri orang rasanya bukan hal yang mudah. Jurang perbedaan antara timur dan barat yang begitu dalam terkadang jadi penghalang untuk sebuah perasaan atas nama cinta. Berbagai ujian siap menghadang. Ruang dan waktu takkan lagi sama kala jarak membentang.

Kirana, harus merelakan perasaan yang tertinggal untuk Manu di Paris ketika waktu itu tiba. Kirana harus kembali ke Indonesia untuk melanjutkan studinya. Sementara, Manu pun hanya bisa berjanji untuk menemui Kirana. Entah kapan, Kirana memegang janji Manu untuk menemuinya di Indonesia.

Perjalanan Euro Trip dengan Manu sebelum kepulangannya ke Indonesia adalah satu-satunya hal berharga yang akan terus diingat. Dalam perjalanan itulah Kirana dan Manu mengenal lebih dalam pribadi masing-masing. Manu, yang sejak awal menaruh hati pada Kirana, akhirnya menyatakan cintanya. Sementara, Kirana yang memang jatuh cinta, menerima Manu sepenuh hati. Cinta tidak pernah salah sejak saat itu. Cinta telah menemukan jalannya. Menuju pelabuhan kecil di sudut hati Manu dan Kirana.

Perpisahan selama empat tahun semakin menimbulkan gejolak dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang hubungan mereka. Apapun usaha keduanya untuk saling melupakan tidaklah cukup. Hati mereka memang tidak sanggup lagi berbohong. Bahwa mereka masih saling mencintai.

Kedatangan Manu ke Indonesia pun tidak berpengaruh banyak bagi perjalanan cinta mereka. Pertemuan dengan keluarga Kirana pun bukan malah memperbaiki semuanya seketika, cinta mereka menjadi anasir yang rumit. Kirana, dengan segenap pertimbangannya telah memutuskan untuk mengakhiri perasaan yang terlanjur larut dalam kebahagiaannya dengan Manu. Suatu akhir yang terus menghadirkan tanya di benak Manu. Suatu akhir yang tidak pernah bagi keduanya. Kirana tidak ingin Manu kehilangan prinsipnya walaupun Manu telah meyakinkan Kirana untuk menerima segalanya: asalkan bisa selalu bersama.

Membaca debut novel dari Icha Ayu ini sama juga dengan menikmati sebagian belahan Eropa. Pembaca tidak harus benar-benar menginjakkan kaki di benua biru itu. Lewat detail-detail yang tersaji dalam cerita, pembaca dihadapkan pada penjelajahan imajinasi tentang Eropa itu sendiri. Tentang seribu cahaya di Trocadero dan Eiffel, hujan musim dingin di Geneva, suasana musim semi di Brugge, hingga pojok-pojok sunyi kota Paris. Sentuhan-sentuhan seperti detail latar cerita yang mengambil tempat pada ruang-ruang publik yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya ikut memberi warna tersendiri.

Lebih jauh, novel ini setidaknya menghadirkan jawaban-jawaban untuk takdir cinta yang tak pernah adil karena terhalang sekian banyak perbedaan. Penerimaan terhadap diri sendiri, memaknai pilihan masing-masing atas dasar saling menghargai saja tidak pernah cukup. Cinta yang terjalin atas dasar saling membutuhkan dan saling memiliki yang diuji dengan konflik-konflik yang muncul dari luar individu. Persoalan keluarga dan latar belakang budaya seringkali jadi kerikil tajam yang harus dilalui. Suatu keadaan yang sering kali dijadikan alasan untuk menyerah lalu berpisah.

Lewat novel ini, kita disadarkan bahwa apapun pilihannya cinta akan menemukan dirinya sendiri dalam pergulatan takdir. Cinta akan menemukan jalan menuju kebahagiaannya sendiri. Karena sejatinya, cinta tak akan pernah bohong saat ia memutuskan dimana akan berlabuh.


Medan Merdeka Barat, 2 April 2012.

Senin, 26 Maret 2012

Antologi Rasa



Persahabatan dan cinta adalah bumbu yang saling melengkapi. Dimana ada sahabat disana ada cinta. Kisah persahabatan empat orang sahabat karib, Keara, Harris, Ruly, dan Denise mengingatkan pada empat sahabat di Traveler's Tale. Farah, Retno, Francis, dan Jusuf. Kisah mereka pun tidak jauh berbeda. Hanya saja, empat sahabat di Antologi Rasa ini tidak mengalami cinta yang melingkar diantara sesama karakter. Keara mencintai Ruly, Ruly mencintai Denise, Harris mencintai Keara, Denise mencintai suaminya. Ada link yang putus disitu. Sedangkan, Traveler's Tale melibatkan perasaan yang saling bertautan antara tokoh-tokohnya. Farah mencintai Francis, Francis mencintai Retno, Jusuf mencintai Farah, Retno mencintai Francis tapi terhalang keyakinan.

Keara, Harris, Ruly, Denise, Panji, Dinda dan para pemeran pendukung lainnya terlibat dalam suatu kompleksitas manusia modern khas kaum urban metropolitan. Rutinitas pekerjaan dan rumitnya hubungan persahabatan ketika cinta mulai menancap pada rasa adalah sesuatu yang tidak bisa begitu saja dihindari dan selalu menuntut untuk dijalani.

Keara, mencintai seorang Rully Wilantaga. Lelaki sempurna yang hanya ada dalam pikirannya. Sama seperti Farah Babedan, Keara menyimpan perasaannya saja tanpa mampu mengungkap satu kalimat sederhana. Sesederhana, i love you. Itu adalah hal yang mustahil. Sayangnya, Rully hanya menyimpan cintanya pada Denise. Walau Denise telah menikah.

Begitupun, Haris Risjad. Sahabat Keara yang jatuh cinta juga pada sosok Keara, sahabatnya. Semua yang Harris lakukan untuk Keara tak lain karena perasaannya. Sebagai bentuk atau perwujudan rasa sayang pada Keara yang hanya dia tahu saja. Menemani Keara untuk pindah dari panggung ke panggung di sela-sela F1 Grand Prix di Singapore, membawakan sarapan bubur ayam dan menikmatinya di mobil bersama Keara sebelum bekerja. Itu hanyalah sedikit dari wujud perasaannya.

Siapa bilang persahabatan tidak menemukan ujian atas kesetiaan seorang sahabat. Harris melakukan sebuah kesalahan dalam persahabatan yang mereka bina selama ini. Ada semacam aturan. Sahabat tidak akan meniduri sahabatnya sendiri. But, Harris just did that to Keara. Satu scene yang cukup menaikkan tensi cerita.

Keara, yang mencoba bangkit setelah memutuskan persahabatan dengan Harris, mencoba bermain-main dengan perasaannya.  Bukan untuk serius. Hanya sebagai pelepasan dan sekedar lari dengan kenyataan. Bahwa dirinya masih bisa bermain dengan Panji adalah suatu kenikmatan tersendiri. Ketika Rully tidak lagi menjadi pilihan dan hanya jadi angan semu belaka. Terlebih, ketika sahabat terbaiknya, Harris Risjad telah mengecewakannya.

Setelah melalui berbagai peristiwa takdir, cinta memang akan selalu menemukan jalannya sendiri. Denise, akan selalu dicintai suaminya. Kegigihan Harris untuk mengembalikan kepercayaan Keara membuahkan hasil yang sempurna. Semua orang akan kembali pada takdirnya masing-masing. Seperti Rully, yang entah sadar atau tidak bahwa cintanya pada Denise sudah gagal sejak pertama kali bertemu. Seperti cinta Komako pada Shimamura*.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Membuka halaman awal Antologi Rasa, pikiran saya langsung merujuk buku Traveler's Tale karya kolaboratif empat penulis (@adhityamulya , @istribawel , Alaya Setya, Iman Hidajat). Kisah empat orang sahabat yang saling mencintai namun sama-sama terlalu takut untuk mengungkapkannya. Suatu kenyataan yang sangat realita pun ternyata mampu hadir dalam ranah fiksi. Suatu kenyataan yang justru menyimpan core values dari Antologi Rasa. Ika Natassa sangat berhasil menggambarkan tokoh-tokoh dalam ceritanya, sendirian. Pembaca tentu dapat membayangkan bagaimana rasanya seorang penulis menciptakan empat tokoh berbeda dalam satu kepalanya saja. Termasuk detail cerita menjadi nilai tambah dalam membangun kerangka dan konteks cerita dalam imajinasi pembaca.

Melalui latar cerita berbumbu gaya hidup dan tren kosmopolis urban metropolitan, Ika Natassa berhasil menggambarkan detail cerita menjadi lebih hidup dan meriah. Seakan kita semua mengalaminya sehari-hari. Tidak salah bila Antologi Rasa seakan selalu 'memaksa' pembacanya untuk membuka halaman demi halaman. Selalu penasaran untuk mengetahui kelanjutan cerita sampai akhir. Menikmati sketsa adegan-adegan cerita yang filmis ditambah iringan lagu-lagu dari The Cardigans dan John Mayer semakin menambah kemeriahan rasa.

Saya pribadi lebih menyukai detail-detail dalam cerita yang membuat buku ini layak mendapatkan tag sebagai 'page turner'. Diantaranya adalah pada saat Harris dan Keara berangkat ke Singapore saat berlangsungnya Singapore F1 Grand Prix. Maklum, sampai saat ini saya masih jadi Fans McLaren Mercedes. Semua detail disana cukup membuat saya tersenyum sendiri saat membaca kelakuan mereka berdua disana. Scene favorit saya adalah menjelang ending cerita. Ketika Harris memeluk Keara di mobil usai membuatnya menangis karena pertanyaannya pada Keara. tentang kenapa Keara tidak berterus terang pada Rully.

Persahabatan tetaplah suatu entitas sederhana yang kolektif, dimana individu yang terlibat didalamnya, dengan segenap kompleksitasnya, turut berbaur memberi warna dalam ikatan kebersamaan. Mungkin terselip cinta didalamnya. Tetapi, itu bukan sumber masalah utamanya. Jujur terhadap perasaan sendiri, hal sederhana lainnya yang justru sulit terungkap. Antologi Rasa, setidaknya mengajarkan kita bagaimana memaknai cinta dan berdamai dengan segenap perasaan lainnya dalam ikatan persahabatan.

Judul: Antologi Rasa
Penulis: Ika Natassa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2011
Tebal: 328 hal.
Genre: Novel Pop

Pharmindo-Paninggilan, 14 Maret 2012.

*baca novel "Snow Country" karya Yasunari Kawabata.