Jumat, 16 November 2012

Menggugat Jakarta

Pernahkah membayangkan bagaimana kehidupan di Jakarta, 100 tahun dari sekarang?

Selalu menarik untuk membahas Jakarta dari berbagai sudut pandang. Jakarta bukan hanya dapat dipandang sebagai suatu letak geografis semata. Jakarta adalah suatu entitas yang terus berkembang dan menggeliat. Jakarta adalah soal segalanya. Impian, kesuksesan, peradaban, popularitas, kekuasaan, and all that you can’l leave behind (sounds like judul album U2 :p ). Jakarta masa depan adalah Jakarta masa kini. Jakarta tidak pernah kehabisan pesona. Jakarta, Jakarta, Jakarta.




Buku ini bukan kumpulan cerpen tentang Jakarta. Penulisnya cenderung lebih suka menyebutnya sebagai “laporan jurnalistik imajinatif”. Imajinatif. Kata kunci untuk dapat menikmati dan lebih memahami esensi buku ini. Jakarta adalah magnet yang tidak pernah berhenti memancarkan pesonanya. Kini, dan entah 100 tahun lagi.

Andre Syahreza mengungkap berbagai sisi kehidupan di Jakarta dengan imajinasi pada 100 tahun kedepan. Ia menghadirkan imaji tentang citra kota Jakarta sebagai metropolitan yang tidak pernah tidur. Black Interview menantang pembaca dengan sindiran-sindiran khas black comedy atau komedi satir. Black Interview menjungkalkan logika-logika yang sedang berlangsung di masa sekarang dengan menciptakan ruang imajinasi atas segenap interpretasi di masa mendatang. Jakarta, 100 tahun dari sekarang. Dekonstruksi realitas sangat kental sebagai unsur utama dalam buku ini. Pembaca diajak untuk melepas segala macam pengalaman nyata soal Jakarta.

Semua hal yang bisa ditemukan di Jakarta, bakal ditemukan juga disini. Mulai dari kesemerawutan kota dan imajinasi tentang bau parfum yang bisa membuat kita melupakan segala kerumitan itu, soal busway dan segenap problematikanya, soal bisnis seks dan narkoba yang tetap jadi primadona, soal kebosanan atas segenap rutinitas harian, soal mall yang cenderung membela kepentingan gender tertentu, hingga soal legenda Si Pitung dan sejarah kota Jakarta. Semua terjadi lengkap dengan pengandaian pada suatu masa seratus tahun dari sekarang.

Meniru kata Seno Gumira Ajidarma pada bagian endorsement, Black Interview berhasil meleburkan genre jurnalistik dengan genre sastra. Imajinatif dan provokatif. Buku seperti ini memang sangat diperlukan untuk mewarnai kehidupan rutin kita yang cenderung monoton dan sudah mirip dengan kematian.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Personally, saya selalu suka untuk membaca segala sesuatu tentang Jakarta. Setelah novel adaptasi @adhityamulya, “Kejar Jakarta”; lalu kumpulan esai @mkusumawijaya, “Jakarta Tunggang Langgang” yang banyak mengadu wacana tentang ruang publik di Jakarta yang sudah terlanjur begini; hingga kumpulan esai dan fiksi “Jakarta Banget” (sekalian nebeng promosi :) ).

Tulisan favorit saya dalam buku ini adalah sebuah komedi satir berjudul “Hawa Air”. Tulisan yang mengingatkan kembali pada tahun terburuk dalam sejarah penerbangan Indonesia. Seperti tulisan lainnya, “Hawa Air” menegaskan dekonstruksi logika yang realistis dibalut rapi dengan konstruksi imajinatif sebagai “jiwa” dari keseluruhan buku ini.



Anyway, apresiasi terhadap Jakarta-apapun bentuknya-menandakan suatu perhatian khusus bagi publik. Jakarta seakan mewakili seluruh wajah orang Indonesia. Karenanya, impian dan segenap interpretasi publik akan Jakarta yang lebih ramah, bersahabat, dan manusiawi selalu dihadirkan dalam bentuk apapun, entah itu teks, visualisasi, atau bahkan hanya sekedar imajinasi.

Judul        : Black Interview
Penulis        : Andre Syahreza
Penerbit    : GagasMedia
Tahun        : 2008
Tebal        : 222 hal.
Genre        : Fiksi Jurnalistik

Medan Merdeka Barat, 23 Oktober 2012