Selasa, 25 Desember 2012

Mochtar Lubis Bicara Lurus

"Sastrawan tak akan pernah ketinggalan bila dibanding wartawan! Karena sastrawan memang tidak berlomba dengan wartawan, dan sia-sialah usaha seorang wartawan, yang hendak berlomba dengan sastrawan." *)

Buku ini merangkum wawancara Mochtar Lubis dengan beberapa wartawan dari berbagai media cetak negeri ini. Kumpulan ini secara tidak langsung mendokumentasikan buah pikiran, ide, dan gagasan Mochtar Lubis dalam rentang waktu 20 tahun. Dimulai dengan artikel wawancara tertanggal 18 April 1975 dan berakhir dengan artikel tertanggal 23 November 1995.

Sampul Buku

Sesuai dengan judulnya, Mochtar Lubis benar-benar bicara lurus. Artinya, Mochtar bicara secara gamblang dengan gayanya, penuh dengan konsistensi atas segenap permasalahan yang dijadikan topik dan pertanyaan wawancara. Buku ini seakan membuka tabir Mochtar Lubis dalam perannya sebagai wartawan dan sastrawan.

Banyak hal disinggung dalam buku ini, mulai dari persoalan yang dihadapi bangsa ini sejak pra-kemerdekaan hingga masa kejayaan Orde Baru pada 80-90an. Dalam kesemuanya itu, sikap konsistensi Mochtar Lubis tidak pernah berubah. Sebagai contoh, simak tanggapan beliau soal kemerdekaan Indonesia yang tidak memerdekakan manusia Indonesia itu sendiri. Pernyataan beliau soal kemerdekaan itu selalu muncul berulang-ulang dalam berbagai judul artikel. Bagi Mochtar Lubis, pengejawantahan demokrasi Pancasila dan hak azasi manusia masih jadi isu retoris belaka dan tidak pernah benar-benar diamalkan.

Tidak hanya itu, Mochtar Lubis juga menyinggung soal kehidupan sastra di Indonesia. Terutama, beliau menyorot persoalan yang muncul antara Manikebu dan LEKRA. Tidak hanya sampai disitu, beliau membahas juga kontroversi yang muncul seputar dirinya dengan Pram (Pramoedya Ananta Toer), dan juga soal penganugerahan Magsaysay Award yang secara terang-terangan ditolaknya. Yang menarik, ada nama lain yang juga muncul selain penguasa Orde Lama dan Orde Baru, yaitu Budi Darma. 

Sebagai sesama sastrawan, Mochtar Lubis menganggap bahwa tidak sepantasnya Budi Darma melakukan kritik sastra. Dengan kata lain, Budi Darma tidak sepantasnya melakukan kritik atas karya sastra orang lain agar tidak kehilangan objektivitas dalam penilaian karya sastra tersebut. Alasan tersebut cukup masuk akal mengingat sikap Mochtar Lubis sendiri yang tidak pernah melakukan timbangan atau kritik sastra. Perlu dicatat juga bahwa mungkin saja alasan Budi Darma berperan sebagai kritikus dipengaruhi oleh latar belakang akademik yang mengharuskannya melakukan kajian-kajian sastra.

Buku ini setidaknya menggambarkan sikap seseorang yang teguh memegang prinsip dan setia pada amanat perjuangannya. Mochtar Lubis dengan 'lurus' bicara segala macam persoalan bangsa ini dengan konsistensi yang tidak tergoyahkan. Membacanya, justru akan menambah khazanah pengetahuan khalayak melalui penuturan seorang tokoh bangsa yang mengakhiri perjuangannya dengan paripurna.

Insert halaman buku: Foto-foto kenangan Mochtar Lubis
 
Insert halaman buku: Mochtar Lubis bersama anak angkat di Vietnam

Insert halaman buku: Mochtar Lubis di Vietnam

Insert halaman buku: Mochtar Lubis dengan anak angkat di Vietnam


Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Ada beberapa hal yang saya cermati dalam buku Mochtar Lubis ini. FYI, buku ini adalah buku Mohctar Lubis kesekian yang saya baca setelah Jalan Tak Ada Ujung, Senja di Jakarta, dan Harimau-Harimau (tidak tamat). 

Saya tidak tahu apakah Mochtar Lubis ini juga tergolong ke dalam 'kaum futuris' yang selalu memimpikan tatanan baru Indonesia dalam Demokrasi Pancasila. Hal ini tersirat dalam satu petikan wawancara soal suksesi kepemimpinan tahun 1998 lalu. Mochtar Lubis telah lama memprediksi bahwa akan ada suksesi setelah tahun 1998 karena konstelasi politik dan tuntutan rakyat. Nyatanya, seperti yang telah kita alami sendiri, Soeharto mengakhiri masa kekuasaannya pada tahun 1998 tersebut.

Dalam catatan yang saya selipkan selama membaca buku ini muncul beberapa topik yang relevansinya masih tinggi dengan keadaan negeri kita saat ini. Sudah dari zamannya Mochtar Lubis bahwa partai dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) yang seringkali mengaku sebagai penyambung lidah rakyat kehilangan kepercayaan dari rakyat itu sendiri. Kecenderungan tersebut menyebabkan keadaan politik yang tidak pernah stabil dan rawan KKN. Keadaan seperti itu masih berlangsung setidaknya sampai saat ini. Dengan demikian, sejarah telah menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang berulang. Entah bangsa kita yang gagal belajar darinya.

Soal kehidupan sastra di negeri ini, saya angkat topi pada sikap Mochtar Lubis yang 'menahan' dirinya untuk tidak tampil sebagai sastrawan sekaligus kritikus sastra. Sila simak beberapa wawancara, Mochtar Lubis beberapa kali menyatakan bahwa ia tidak akan mau untuk menulis suatu kritik atas suatu karya tertentu sesama sastrawan. Tentu saja, hal itu dilakukannya demi menjaga objektivitas.

Persoalan lain yang muncul soal sastra  adalah perseteruannya dengan Pram. Mochtar Lubis mengecam sikap Pram yang mengangkangi kebebasan berekspresi dalam sastra melalui segenap intimidasi pada harian Lentera yang dipimpin Pram. Menurut Mochtar Lubis, Pram telah melakukan kesalahan dalam sejarah sastra Indonesia dengan 'membakar' semua karya sastrawan anggota Manifest Kebudayaan. Harapannya hanya satu, agar mengingatkan kaum muda untuk tidak begitu saja melupakan sejarah yang terjadi pada masa itu.

Menurutnya, Pram tidak pernah mengakui kesalahannya itu. Mochtar Lubis dapat menerima karya-karya Pram tetapi tidak untuk sikapnya yang hanya diam ketika disinggung soal pembakaran tersebut. Mochtar Lubis tidak menuntut apa-apa kecuali Pram mau mengakui kesalahannya itu. Hingga saat Pram dianugerahi Ramon Magsaysay Award, sikap yang demikian itu tidak berubah. Sebagai protes atas penghargaan tersebut, Mochtar Lubis mengembalikan semua hadiah yang ia terima ketika mendapatkan penghargaan serupa yang diterimanya jauh sebelum Pram dinominasikan.

Entah pembaca mau menganggap Mochtar Lubis sebagai seorang utopis, idealis, sekaligus realis, yang jelas konsistensi sikapnya itu perlu jadi teladan. Mochtar Lubis tidak sembarang berkata. Semua yang diucapkannya dalam 'rekaman wawancara' ini menunjukkan konsekuen dan konsistensinya. Dan yang terpenting semua itu diungkapkannya sebagai sintesa sebuah pengalaman karena ia sendiri telah mengalami semua yang ia katakan itu. Kesesuaian tingkah laku dan ucapannya menjadi semacam 'trademark' yang sudah melekat bagi sebuah simbol atas nama: Mochtar Lubis.


Judul                     : Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan
Penulis                 : Ramadhan K. H (editor)
Penerbit                : Yayasan Obor Indonesia
Tahun                   : 1995
Tebal                     :315 hal.
Genre                   : Memoar-Tokoh


Paninggilan, 18 Desember 2012.


*) Petikan wawancara redaksi Memorandum, halaman 4.

Jumat, 07 Desember 2012

Angklung: Sebuah Kritik Budaya

Heran. Katanya angklung sudah masuk ke dalam warisan dari budaya dunia. Tetapi mengapa masih sulit untuk menemukan pengejawantahan karya angklung tersebut.

Bukankah kita juga yang selalu out of mind setiap tahu kebudayaan kita akan dicaplok bangsa lain. So, saya kira wajar saja kalau kebudayaan kita selalu dicaplok orang-utamanya tetangga sendiri. Disaat negara tetangga bersedia melakukan apa saja dengan budget besar untuk mengumpulkan khazanah kebudayaan dunia, kita, bangsa Indonesia, bangsa yang mengklaim batik sebagai warisan budaya dunia, bangsa yang marah saat Reog Ponorogo dicaplok Malaysia, malah hanya bisa jadi penonton. 

Kita tidak mampu berbuat apa-apa. Bahkan, hanya untuk sekedar membuat CD berisi rekaman lagu-lagu daerah yang dimainkan dengan angklung.


Ribuan orang memainkan Angklung di halaman Gedung Sate, Bandung. Image courtesy: @thejakartapost

Maka tak heran bila nanti 10 atau 20 tahun lagi, kita harus pergi ke National Museum of Singapore hanya untuk menonton pagelaran wayang kulit, menyimak kembali film karya Usmar Ismail: Lewat Djam Malam, atau sekedar mendengar lagu Manuk Dadali yang dimainkan dengan komposisi angklung.

Sungguh sangat mengherankan bagi bangsa yang katanya punya aneka ragam kebudayaan tetapi malah sulit menemukan khazanah kebudayaan negeri sendiri.

Hari-hari ini kita terlalu sibuk dibuai mimpi. Kita terlalu sibuk untuk menyimak Sang Pahlawan yang rela blusukan demi membangun kotanya. Kita terlalu sibuk untuk memastikan koruptor-koruptor itu mendapat hukuman yang setimpal. Kita terlalu sibuk menggunjing soal artis yang itu-itu juga. Pun kita terlalu serius soal aksi buruh yang semakin mengancam pergerakan Homo Jakartensis dan harga daging sapi yang semakin menggila.

Agaknya, kita perlu juga mengoreksi atau malah mempertanyakan keindonesiaan kita ditengah himpitan arus modernitas yang menghadirkan sejuta impian artifisial. Manusia Indonesia sudah sepantasnya dewasa dan bersikap konsekuen terhadap apa yang sudah menjadi miliknya. Bukan lantas menikmati, lalu menangguk keuntungan dari komoditas budaya tersebut, hingga menjadikannya bagian dari fashion dan lifestyle semata.

Kita patut bertanya, apakah yang bisa Indonesia pamerkan dalam festival kebudayaan antar negara? Apakah kita hanya mau menampilkan batik yang itu-itu juga? Apakah kita tetap mau menyajikan tarian yang itu-itu juga? Atau kita mau menampilkan sisi keragaman budaya lainnya. Entah itu sekedar balas-membalas pantun ala Betawi, Karapan Sapi khas Madura taiyee.., atau hanya sebuah atraksi Lompat Batu ala Nias.

Indonesia pun masih menyimpan potensi budaya tulis yang amat mengakar. Sudah berapa kali penulis Indonesia mampu bersuara di ajang regional South East Asia Award? Banyak penulis negeri ini telah memubuktikan kepiawaiannya dalam merangkai suatu fenomena dalam bentuk tulisan yang dibukukan.

Jangan lantas keragaman budaya bangsa kita didominasi hegemoni budaya tertentu yang kemudian menyeragamkan identitas keindonesiaan kita. Kesusasteraan Indonesia pun masih menyimpan khazanah keindonesiaan yang erat melekat dengan keseharian kita.

Peran kebudayaan sebagai identitas eksistensial bagi Bangsa Indonesia sangatlah vital. Kita sesungguhnya mampu mewujudkan hegemoni budaya bangsa dihadapan masyarakatnya sendiri. Hanya perlu sedikit semangat. Semangat individu-individu didalamnya untuk mau berbuat dan mencari khazanah kebudayaan bangsa lain yang belum terekspos agar lantas tidak menjadi komoditas kapital semata.


Pancoran, 23 November 2012.