Selasa, 17 April 2012

Cerita Dibalik Debu, Sebuah Catatan, dan Trilogi

Sudah lama sekali saya tidak membersihkan rak buku. Entah kapan terakhirnya saya tidak ingat persis. Kuas cat ukuran 2 inci pun masih ditempatnya. Bulunya masih halus tanda masih perawan. Sudah lama juga saya tidak membuka buku-buku dalam rak itu. Akhirnya, saya pun memberanikan diri untuk membersihkan debu-debu dengan resiko bersin-bersin. Perlu dicatat, hidung saya terlalu sensitif untuk debu dan pagi itu sedang kumat-kumatnya.

Selesai bermain dengan debu, sambil menata buku satu persatu ke tempatnya masing-masing, saya mulai membuka-buka kembali buku-buku itu. Sebuah perasaan menakjubkan tiba-tiba muncul. Saat menemukan penanda, baik itu pembatas buku ataupun kalimat yang digarisbawahi. Merujuk pada bagian paragraf yang entah saat itu terasa sangat ada maknanya. Lengkap dengan aroma lembap dan debu yang menempel pada setiap lembar halaman buku.

Saya seakan berada pada masa-masa itu. Pada banyak malam sunyi, berbaring membaca buku-buku Seno Gumira Ajidarma sebelum tidur sambil ditemani alunan lagu jadul dari K-Lite 107.1 FM. Percayalah, Atas Nama Malam akan lebih syahdu bila engkau membacanya saat malam menuju puncak gairahnya. Ada kejutan tersendiri bila mengingat saat itu. Saat yang telah terlewati dan hanya jadi kenangan dalam ingatan semata. Hanya menyisakan makna-makna yang tertinggal berceceran dalam pikiran. Sampai saya menemuka dua buku itu, Catatan Hati Seorang Istri dan Trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya Pipiet Senja.

Kalau diingat lagi, ada korelasi antara kedua buku itu, Trilogi Pipiet Senja dan Catatan Asma Nadia. Saya memutuskan untuk membeli Trilogi Pipiet Senja dan Catatan Asma Nadia itu karena beberapa sebab. Selain rekomendasi seorang sahabat dan sebuah rasa penasaran tentang seluk beluk pernikahan. Entah kenapa, waktu itu dorongan untuk kembali memaknai kalam-kalam ayat Illahi menyeruak begitu hebat. Mungkin karena saat itu saya terlalu banyak mengkonsumsi buku-buku sastra yang begitu menalar pikiran. Pengaruh SGA begitu kuat sehingga saya tidak mampu untuk menjauh dari buku-buku sastra lainnya. Barangkali juga saya sedang jenuh. Saya butuh bacaan yang bisa mendekatkan kembali dengan tanda-tanda kebesaran Tuhan.


Beralih sejenak, saya sampai pada Catatan Hati Seorang Istri karya Asma Nadia. Buku yang dibeli tak lama sebelum keberangkatan saya ke Jakarta untuk sebuah wawancara kerja di bulan Oktober 2008. Buku berisi catatan-catatan singkat tentang perasaan dan suara hati kaum istri. Tentang bagaimana kaum istri memaknai peran mereka atas kehidupan ini. Sebagai seorang istri bagi suami mereka, seorang ibu bagi anak-anak mereka, dan kawan sekaligus lawan bagi diri mereka sendiri.

Buku ini sebenarnya jadi penanda atas suatu perasaan. Dalam suatu obrolan singkat pada suatu malam menjelang pernikahan seorang sahabat, terlintas ide untuk setidaknya ‘mempelajari’ hal-hal yang dimungkinkan terjadi pada saat pernikahan. Tak tahu kenapa pilihan untuk ‘belajar’ hal itu jatuh pada buku ini. Saya ambil logika sederhana. Jika kita mau mengetahui bagaimana isi dan suara hati seorang istri maka carilah dari mereka yang benar-benar menyuarakannya. Buku ini misalnya. Dikumpulkan dari beberapa kisah nyata yang benar-benar terjadi. Isu-isu tipikal macam perceraian, perselingkuhan, dan KDRT masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Satu hal yang membuat kisah non-fiksi ini memiliki kesan yang kuat adalah pengaruhnya untuk membangkitkan semangat menulis di kalangan kaum istri di tanah air.


Selanjutnya, saya menemukan lagi buku-buku yang belum saya tamatkan sejak pertama kali membelinya kurang lebih 4 tahun yang lalu. Buku Trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya dari Pipiet Senja. Ketiga buku kecil yang belum mampu saya tamatkan hingga hari ini. Saya sadari itu ketika mulai membaca buku terbaru Pipiet Senja “Menoreh Janji di Tanah Suci” seminggu yang lalu. Sebuah memoar pengalaman haji dan umroh yang dituturkan secara gamblang oleh penulisnya.

Saya sangat malu kepada diri sendiri untuk menyikapi keadaan ini. Saya merasakan suatu keadaan ‘imbalance’ atau ketidakseimbangan. Ada suatu perasaan yang kering. Sehingga, saya perlu menyeimbangkan kembali keadaan itu melalui bacaan sastra Islami sebagai bagian dari Sejarah Perkembangan Sastra Nusantara. Jangankan membaca kata per kata, lembar per lembar. Menyentuhnya pun saya tidak pernah.

Dulu, saya harap Trilogi ini bisa jadi alternatif bacaan sastra. Terutama sastra Indonesia dengan sentuhan Islami yang memang sedang menggeliat dan mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dekade terakhir ini. Ada yang ingin saya pelajari dari fenomena itu. Bagaimana fiksi berbaur dalam realita sehingga menghadirkan realitas fiksi dalam pikiran pembaca. Someday, saya akan menamatkan pembacaan Trilogi ini. Entah kapan, tapi saya tahu waktu itu akan tiba.


Paninggilan, 25 Maret 2012. 20.09
hujan besar disini

Rabu, 11 April 2012

Winter to Summer; 11.369 km untuk satu cinta

Pernahkah kita membayangkan berada jauh dari rumah, merasa terasing, lalu kemudian bertemu dengan seseorang yang benar-benar mencintai kita sepenuh hati. Seseorang yang sangat begitu memahami perbedaan yang membentang dalam jarak dua dimensi budaya. Seseorang yang begitu tulus menerima segenap perbedaan itu tanpa kehilangan sedikit pun perasaan sayangnya

Berada 11.369 KM dari bumi pertiwi membawa satu pengalaman baru bagi Kirana. Mahasiswi jurusan Hubungan Internasional yang mendapatkan beasiswa untuk sekolah di Geneva. Pengalaman itu juga yang mengantarnya pada suasana dan kawan-kawan baru. Hingga pada akhirnya menemukan satu cinta pada sosok Manu.


Jatuh cinta di negeri orang rasanya bukan hal yang mudah. Jurang perbedaan antara timur dan barat yang begitu dalam terkadang jadi penghalang untuk sebuah perasaan atas nama cinta. Berbagai ujian siap menghadang. Ruang dan waktu takkan lagi sama kala jarak membentang.

Kirana, harus merelakan perasaan yang tertinggal untuk Manu di Paris ketika waktu itu tiba. Kirana harus kembali ke Indonesia untuk melanjutkan studinya. Sementara, Manu pun hanya bisa berjanji untuk menemui Kirana. Entah kapan, Kirana memegang janji Manu untuk menemuinya di Indonesia.

Perjalanan Euro Trip dengan Manu sebelum kepulangannya ke Indonesia adalah satu-satunya hal berharga yang akan terus diingat. Dalam perjalanan itulah Kirana dan Manu mengenal lebih dalam pribadi masing-masing. Manu, yang sejak awal menaruh hati pada Kirana, akhirnya menyatakan cintanya. Sementara, Kirana yang memang jatuh cinta, menerima Manu sepenuh hati. Cinta tidak pernah salah sejak saat itu. Cinta telah menemukan jalannya. Menuju pelabuhan kecil di sudut hati Manu dan Kirana.

Perpisahan selama empat tahun semakin menimbulkan gejolak dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial tentang hubungan mereka. Apapun usaha keduanya untuk saling melupakan tidaklah cukup. Hati mereka memang tidak sanggup lagi berbohong. Bahwa mereka masih saling mencintai.

Kedatangan Manu ke Indonesia pun tidak berpengaruh banyak bagi perjalanan cinta mereka. Pertemuan dengan keluarga Kirana pun bukan malah memperbaiki semuanya seketika, cinta mereka menjadi anasir yang rumit. Kirana, dengan segenap pertimbangannya telah memutuskan untuk mengakhiri perasaan yang terlanjur larut dalam kebahagiaannya dengan Manu. Suatu akhir yang terus menghadirkan tanya di benak Manu. Suatu akhir yang tidak pernah bagi keduanya. Kirana tidak ingin Manu kehilangan prinsipnya walaupun Manu telah meyakinkan Kirana untuk menerima segalanya: asalkan bisa selalu bersama.

Membaca debut novel dari Icha Ayu ini sama juga dengan menikmati sebagian belahan Eropa. Pembaca tidak harus benar-benar menginjakkan kaki di benua biru itu. Lewat detail-detail yang tersaji dalam cerita, pembaca dihadapkan pada penjelajahan imajinasi tentang Eropa itu sendiri. Tentang seribu cahaya di Trocadero dan Eiffel, hujan musim dingin di Geneva, suasana musim semi di Brugge, hingga pojok-pojok sunyi kota Paris. Sentuhan-sentuhan seperti detail latar cerita yang mengambil tempat pada ruang-ruang publik yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya ikut memberi warna tersendiri.

Lebih jauh, novel ini setidaknya menghadirkan jawaban-jawaban untuk takdir cinta yang tak pernah adil karena terhalang sekian banyak perbedaan. Penerimaan terhadap diri sendiri, memaknai pilihan masing-masing atas dasar saling menghargai saja tidak pernah cukup. Cinta yang terjalin atas dasar saling membutuhkan dan saling memiliki yang diuji dengan konflik-konflik yang muncul dari luar individu. Persoalan keluarga dan latar belakang budaya seringkali jadi kerikil tajam yang harus dilalui. Suatu keadaan yang sering kali dijadikan alasan untuk menyerah lalu berpisah.

Lewat novel ini, kita disadarkan bahwa apapun pilihannya cinta akan menemukan dirinya sendiri dalam pergulatan takdir. Cinta akan menemukan jalan menuju kebahagiaannya sendiri. Karena sejatinya, cinta tak akan pernah bohong saat ia memutuskan dimana akan berlabuh.


Medan Merdeka Barat, 2 April 2012.