Kamis, 14 November 2013

Kisah Lainnya

Jadi, hidup telah memilih, menurunkan aku ke bumi

Buku ini dimulai dengan penggalan lirik lagu “Langit Tak Mendengar”. Satu lagu Peterpan favorit saya sepanjang masa bersama satu lagu lain, “Mungkin Nanti”. “Langit Tak Mendengar” adalah lagu terbaik Peterpan semasa formasi lengkap. Komposisi musiknya penuh. Liriknya juga tidak dangkal. Lagu itu bersama ‘Mungkin Nanti” yang telah direcycle dijadikan pengisi soundtrack film "Alexandria". Lagu itu sempat muncul pula dalam iklan sebuah operator telepon selular.


Membaca ‘Kisah Lainnya’ sama juga dengan bernostalgia kembali ke era keemasan Peterpan. Perjalanan Peterpan disajikan secara lengkap mulai sejak dirilisnya single “Mimpi Yang Sempurna” dari album kompilasi ‘Kisah 2002 Malam’ hingga pergantian anggota dan segenap sensasi yang melingkupinya tidak luput dari rekaman peristiwa ini. Tidak hanya itu saja, segenap latar belakang di balik berdirinya band ini juga turut mengambil bagian. Juga bagaimana proses personil dalam mengawali karir mereka masing-masing bersama Peterpan.

Walaupun cerita dalam buku didominasi oleh narasi Ariel, tetapi “Kisah Lainnya” tetap menampilkan band ini dalam komposisinya yang utuh. Masing-masing personil pun menyuarakan segala kegelisahannya di masa istirahat panjang itu. Termasuk cerita dibalik kolaborasi mereka dengan musisi kenamaan lainnya seperti Idris Sardi dan Henri Lamiri, serta Karinding Attack dan Momo 'Geisha'.

Buku ini ibarat catatan pribadi dari sang vokalis. Ariel tidak hanya piawai dalam menulis lagu. Ariel pun pandai merangkai kata. Selama menjalani masa penahanannya di Rutan Bareskrim dan LP Kebon Waru, Ariel banyak menulis dan membuat sketsa. Buku ini pun diwarnai catatan Ariel yang serupa dengan prosa maupun gambar sketsa karyanya.

Pada saat masalahmu menghampirimu, janganlah berkecil hati
Itu adalah pasangan hidupmu
Itu adalah takdirmu
Sesuatu yang sudah dipersiapkan untukmu, bahkan sebelum kau dilahirkan
Itu adalah pelengkap hidupmu
Itu adalah gurumu, maka cintailah dia

Catatan Personal

Saya melihat kembalinya anggota Peterpan ke kancah musik Indonesia tersusun dengan rapi. Walaupun sang frontman mendekam di penjara, beberapa anggota lainnya masih bisa berkarya. Bahkan, naik panggung lagi bersama vokalis-vokalis dari band lain dalam rangkaian tur mengunjungi komunitas penggemar mereka. Single ‘Dara’ milik Ariel terbukti mampu menjembatani proses kembalinya Peterpan. Harapan penggemar serta kebutuhan untuk meraih rasa percaya diri yang sempat hilang berhasil menumbuhkan keyakinan mereka untuk kembali ke panggung.

Proses pembuatan album “Suara Lainnya” membuktikan bahwa mereka masih mampu berkarya. Ketika album itu dirilis, Ariel memang belum bebas dan tidak hadir. Ada perasaan kosong yang menghinggapi mereka karena sang vokalis tidak ada disitu. Namun, sukses besar malam itu semakin membuat percaya diri mereka kembali. Hidup terus berjalan. Ariel bebas. Perjalanan pun mereka mulai lagi. Belakangan, mereka membuat identitas baru, NOAH.

Overall, “Kisah Lainnya” tidak hanya menawarkan sebuah ‘pengakuan’ dan cerita mereka sepanjang 2010-2012. “Kisah Lainnya” membawa pembaca pada sebuah dimensi labirin proses perjalanan kehidupan yang tidak selalu menyenangkan. Kata Tommy Page, life is full with lots of up and down. Selalu ada hikmah dibalik sebuah cerita.

Judul       : Kisah Lainnya
Penulis     : Ariel, Uki, Lukman, Reza, David
Penerbit   : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun      : 2012
Tebal       : 228 hal.
Genre      : Memoar-Musik

Medan Merdeka Barat, 7 November 2013.

Senin, 11 November 2013

Juara Sejati Bernama King


Luar biasa! Kesan pertama yang saya tangkap dari beberapa bab awal. Biografi memoar perjalanan seorang maestro bulutangkis ini ditulis dengan apa adanya. Kesan setiap cerita didalamnya tidak hanya berkisah soal kesuksesan. Berbagai kisah kegagalan Liem Swie King diceritakan dengan jujur. Termasuk, cerita soal kekalahannya yang dianggap sebagai 'pemberi jalan' untuk gelar ke-8 All England bagi Rudy Hartono.

Cerita perjalanan Liem Swie King di dunia bulu tangkis tidak selalu penuh dengan kesuksesan. Terutama setelah kekalahan pertamanya usai 33 bulan tak terkalahkan di berbagai kejuaraan. Kekalahan tersebut didapatnya usai skorsing 3 bulan dari PB PBSI akibat kelalaiannya pada SEA Games X tahun 1979 di Jakarta. Akibatnya, King dinyatakan kalah WO. King tampil sebagai pribadi yang sportif yang dengan jujur mau mengakui kesalahannya. Satu hal yang tidak mudah, mengingat status King sebagai Juara All England. King dengan mudah bertutur soal  satu fase proses perjalanan dimana ia mencoba untuk bangkit dan meraih kembali percaya dirinya.

Lintasan memori soal kedigdayaan bangsa Indonesia di kancah perbulutangkisan dunia juga menyisakan setangkup haru. Beberapa kali saya hampir menitikkan air mata dan merinding membayangkan betapa gempitanya kejayaan Indonesia waktu itu. All England, Piala Thomas, Piala Uber, dan Kejuaraan Dunia adalah menu utama santapan khusus bagi atlit bulu tangkis Indonesia. Sayangnya, atlit bulu tangkis Indonesia masa kini belum mengambil pelajaran dari kisah Liem Swie King. Indonesia kini jauh tertinggal dari negara-negara pesaingnya.

King's Smash. Courtesy: www.badmintoncentral.com
Buku ini menghadirkan sosok Liem Swie King sebagai pribadi yang utuh. Mulai dari kisah perjalanan hidupnya, bagaimana hubungan King dengan keluarga, perkenalan pertamanya dengan bulu tangkis, jatuh bangun King di arena, hingga alasan-asalan dibalik pengunduran dirinya dari dunia yang telah diidamkannya sejak kecil.

King juga menuturkan kisahnya bersama Robert Budi Hartono, pemilik perusahaan rokok Djarum yang cukup berpengaruh dalam karir profesionalnya. Sebagai penyeimbang, testimoni dari rekan, kawan, pelatih, dan wartawan olahraga ikut mengisi cerita sehingga pembaca dengan mudah memahami sisi lain dari King.

Melalui buku ini, pembaca diajak untuk mengakrabi pribadi King yang cenderung pendiam dan dingin. Beberapa testimonial dan catatan dokumentasi media turut dihadirkan sebagai panduan bagi pembaca untuk lebih objektif dalam 'membaca' King. Selebihnya, pembaca diajak kilas balik sejenak ke masa-masa keemasan bulu tangkis nasional. Catatan emas yang diraih putra-putri terbaik bangsa itu kini menanti untuk diulang kembali. King mengajarkan pada kita bahwa juara sejati selalu bersedia berbuat lebih.

Judul       : Panggil Aku King
Penulis     : Robert Adhi Ksp
Penerbit   : Penerbit Buku Kompas
Tahun      : 2009
Tebal       : 456 hal.
Genre      : Biografi-Memoar

Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 6 November 2013.

Sabtu, 26 Oktober 2013

2

And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close

“Tuh kan, lagu itu lagi. Ngaku deh, loe lagi LDR-an kan?” Bimo membuatku kaget.

Aku segera menyembunyikan ponselku. Aku tidak ingin Bimo tahu kalau aku benar-benar sedang memutar lagu itu.

“Ih, sok tau banget deh! Aku lagi seneng aja, secara Maroon 5 gitu.” Jawabku sebisanya.
“Udah deh ngaku aja. Loe kangen sama dia kan?” Bimo tidak mau kalah.
“Apaan sih, Bim. Cabut duluan ya. Bye” Aku segera menghindar.
“Yee, gue dateng malah pergi.”

Bim, kok kamu tahu banget sih aku lagi kangenin dia. Aku bicara pada diriku sendiri. Setidaknya, Bimo telah menjawab satu keraguan dalam benakku. Aku mulai ragu dengan keputusanku untuk menjalani long distance relationship bersama Dimas. Untuk sebuah alasan standar kami harus berpisah. Dimas masih ingin sekolah, jadi ia melanjutkan studinya di Groningen sana. Apalah yang aku tahu soal Groningen? Tidak ada satupun. Kecuali klub sepakbola FC Groningen yang nampaknya selalu jadi tim penggembira di Hollandsche Eredivisie.

Aku tidak pernah merasa bahwa ini adalah keputusan terbaik yang pernah aku ambil. Sudah jelas, ini adalah yang terbaik yang aku bisa untuk Dimas. Dimas sendiri tidak pernah bicara banyak soal rencananya ke depan. Pun, ketika harus membicarakan soal ini denganku. Dimas sudah siap menerima kenyataan untuk saat ini dan yang akan tiba. Dimas sepertinya tidak pernah berpikir sedikitpun tentang aku.

Aku heran dengan sikap Dimas yang seperti itu. Dimas tidak menyadari bahwa perpisahan kemarin sungguh berat untukku. Apakah aku yang terlalu cinta? Aku juga tidak tahu. Aku hanya ingin selalu bersamanya. Tidak lebih. Kini, aku harus melintasi dimensi ruang dan waktu hanya untuk mendapatkan kabar terbaru darinya.

Bimo, apa yang dia tahu soal hubunganku dengan Dimas? Mengapa dia seakan begitu tahu perasaanku. Aku tidak mengerti mengapa Bimo bisa tiba-tiba menohokku dengan pertanyaan seperti tadi pagi.

We knew this day would come
We knew it all along
How did it come so fast?

Dearest Dimas,

Udah seminggu ini kamu nggak kirim kabar, how are you there? Everything’s fine?

Ik het jou lief,
Dina

Aku hanya mampu menafsirkan rindu sebatas kalimat pendek dalam email. Aku sadari betapa berat beban menahan rindu ini. Aku ingin mengatakan semuanya. Namun, jemariku hanya mampu sebatas itu saja. Sisanya, berkecamuk dalam pikiran belaka.

Apakah kamu sudah tidak punya waktu untukku? Tidak adakah waktu luangmu untukku? Aku hanya mohon padamu untuk mengabariku secepat mungkin kau bisa, karena aku tidak mungkin mengharapkan kedatanganmu. Aku mohon sekali ini saja. Ada yang ingin aku sampaikan.

Aku ingin marah. Aku ingin melampiaskan semua rasa rindu yang selalu tertahan ini. Aku ingin marah. Aku sadari kemudian bahwa aku hanyalah sendiri disini. Tidak ada gunanya tanpa hadirmu disini. Aku ingin berkata pada siapa saja bahwa aku....

Aku terkesiap dari lamunanku. Seketika kata-kata itu buyar dan menghilang begitu saja. Kendati aku tidak pernah meragukan kesungguhan Dimas kepadaku, aku tetap merasa lelah.


*

Pratidina Pramesti. Sayang sekali, kamu hanya membuang-buang waktu hanya untuk mencintai seseorang yang jauh disana. Let me tell you something. Mencintai itu adalah ada. Untuk apa mencintai sedang dia tidak ada untukmu, bersamamu disampingmu?

Aku hanya menggelengkan kepala sambil mengamati Dina dari kejauhan. Ia tampak sendirian di bangku taman itu. Hanya berteman sebuah buku bersampul ungu. Mungkin sebuah novel pengobat rindu untuk kekasihnya yang jauh di Negeri Londo sana.

“Din, kamu tahu nggak sih kalau kebutaan sejati itu ketika kamu sedang jatuh cinta?” Aku menghampirinya.

Dina tersentak dan seketika menutup buku bacaannya. Wajahnya tampak kesal.

“Maaf ya, Bim. Aku ada urusan apa sama kamu ya?”
“Nggak ada. Nggak ada apa-apa.”
“Please, mulai sekarang kamu nggak usah nanya lagi soal gituan. Cukup aku aja yang ngerasa. Kamu nggak sah ikut-ikutan sok care lah.”

Aku hanya tersenyum mendapati perlakuan Dina seperti itu. Ia tidak melanjutkan pembacaannya. Dina menunduk dan memejamkan matanya. Seakan menahan amarah yang siap meledak. Aku kira Dina akan menangis. Ternyata tidak. Dina membetulkan letak kacamatanya dan mengemas bukunya.

“Din, mau kemana?”
“Bukan urusan kamu!”
“Din, tidak ada tempat persembunyian luka sebaik air mata. So, kalau masih kangen kamu mending nangis aja. Nggak apa-apa kok.”

Dina langsung memukulku dengan tasnya. Dina kelihatan marah sekali.

“Kamu tahu apa soal Dimas? Pake ngajarin aku buat nangis segala. Emangnya aku ini perempuan apaan heh?” Dina terus merangsek.
“Din, sebentar Din.” Aku mengelak.
“Kamu pikir kamu lebih tahu dari aku? Kamu pikir gampang buat lupain orang? Kamu pikir kamu hebat? Kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu masih gagal move-on dari Arina.”

Arina. Dina menyebut nama Arina. Sebuah nama yang membuatku tersirap dari sadarku dan membiarkan Dina terus memukuliku. Hingga akhirnya berhenti dan nafasnya terengah-engah.

“Kamu harus sadar Bim, kalau Arina itu sudah menikah dan bahagia dengan hidupnya. Kamu nggak perlu lagi mengharap apa-apa dari dia. Kalaupun Arina nggak bahagia, itu urusan dia. Biarin dia urus urusannya sendiri. Kamu nggak perlu lakuin apa-apa buat dia. Enough is enough, Bim. Game over when she said it’s over!”

*

Seminggu kemudian, aku dan Dina pergi bersama. Dina tampak cantik dengan kerudung hitam yang membalut rambutnya yang sebahu. Tak lama kami sudah sampai di sebuah acara pemakaman. Para pelayat mulai berlalu, meninggalkan kami berdua yang menatap sebuah pusara.

“Bim, make your last wish for her.”


Pharmindo, 26 Oktober 2013.

1

“Only by meeting you, warm feeling completely filled my heart.”

Nina mengirim email singkat padaku. Seketika mendung diluar berubah menjadi pagi dengan semburat mentari yang menakjubkan. Ah, itu hanya khayalanku saja. Hanya imajinasi pengalih perhatian. Aku mendadak kangen pada Nina. Aku merindukan kembali pagi dimana aku dan Nina saling berkirim pesan pendek lewat ponsel.

“You text, and i instantly smile.”

Satu jawaban dari Nina yang selalu kurindukan.

*

Aku menikmati secangkir kopi hitam pagi ini sembari menatap jendela dari pantry. Pagi di Jakarta adalah sebuah keajaiban bagi mereka yang tidak pernah berharap apapun. Terlalu banyak kejutan disana.

“Pagi, Gus. Nanti malem, ada waktu?” Erika menyapaku.
“Eh, kamu Rik. Kenapa? Ada yang penting?”aku balik bertanya.
“Nggak sih. Tapi,...” Erika terlihat ragu
“Tapi apa, Rik?”
“Nggak jadi deh. Lain kali,..”

Belum selesai kalimat Erika, aku sudah menggamit lengannya. Sebuah awkward moment lain diantara aku dan Erika. Erika mematung sambil perlahan menatap tanganku yang memegangi lengannya. Mungkin, Erika pikir mirip adegan di drama-drama Korea.

“Oke, kita duduk dulu bentar.” Aku mengajak Erika duduk.
“Aku nggak ada waktu sekarang, Gus.” Erika mulai merasa tak nyaman.
“Kenapa? Kamu mau ngajak aku nemenin kamu kemana lagi?  ” nada suaraku mulai meninggi.
“Bukan gitu, Gus.”
“Terus apa? Mana Arga yang selalu kamu banggain itu? Dia jalan sama perempuan lain?”

Diam. Hanya diam. Erika tidak bicara sepatah kata pun. Erika beranjak menuju jendela tak jauh dari tempatku berdiri. Erika mulai menangis. Aku bisa melihat bulir air mata mulai berjatuhan di pipinya. Andai ini bukan kantor, barangkali Erika sudah kurangkul atau kupeluk. Akan kubisikkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku pun sama termangu. Tak mampu berucap apapun untuk menenangkan Erika. Aku mengalihkan pandanganku lagi ke luar sana.

Erika mulai mengangis terisak. Aku tidak ingin terjebak dalam situasi sulit seperti ini. Jadi, aku beranikan diri untuk menatap Erika. Erika balik menghadapku. Matanya seakan berkata, “Dengerin aku, Gus.”

Erika berada di pelukanku sekarang. Air matanya semakin mengalir deras.

“Gus. Arga nikah, Gus... Tapi....gak sama aku...” Erika bicara sambil terisak.

Aku menenangkan Erika dan membuatkannya secangkir teh hangat. Matanya kini sembap ketika tangisnya reda.

“Aku masih belum bisa terima kenyataan ini, Gus. Makanya, aku mau kamu anterin aku.”
“Anterin kemana? Ketemu Arga? Bah, males banget. Udah tinggalin aja sih.”
“Aku masih sayang dia, Gus.”
“Ah, Erika. Kamu masih sayang dia, terus dia nikah sama orang lain, gitu?”

 Erika terdiam lagi.

“Erika, sayang. Look at yourself. Aku yakin kamu deserve more than him.”

Ada jeda sebelum Erika kembali bicara,

“Nanti anterin aku pulang ya, Gus.”
“Apa sih yang nggak buat kamu?” kataku sambil tersenyum.
“Ih, gombaaal.”

*

Erika tertidur di pangkuanku usai menamatkan “Bridget Jones’s Diary”. Erika memintaku untuk memilihkan film yang kami tonton malam ini. Malam sudah larut dan aku harus kembali bekerja besok. Begitu juga Erika. Namun, aku tidak kuasa meninggalkan Erika.

“Halo, Nin.”
“Kamu lagi dimana, Gus? Kata Mama kamu belum pulang. Lembur?”
“Nggak, Nin. Aku lagi di rumah temen nih. Kamu udah selesai? Jemput aku dong.”
“Nggak bisa pulang sendiri?”
“Aku jelasin semuanya pas kamu dateng, Nin.”
“You’re not in a big shit, right?”
“Absolutely no. Ntar aku bbm alamatnya ya. I’m waiting.”
“Cepetan. Jangan lama!”

Perlahan aku melepaskan genggaman tangan Erika. Aku mulai menata diriku lagi dan berkaca pada semua yang terjadi hari ini. Lebih baik seperti ini, Erika tidak perlu cari pelarian untuk hatinya yang terluka. Cukup menemaninya nonton semalaman tanpa kissing or even quickie. Catat.

Aku berkeliling di ruang tamu. Perhatianku tertuju pada sebuah amplop coklat.

Suatu saat nanti jika aku yang pergi, engkau baiknya memilih tidak percaya pada kehilangan.
Erika, maafkan aku.

Arga

Kalimat pembuka di secarik kertas yang terselip dalam sebuah undangan pernikahan. Mungkin inilah mengapa Erika begitu dramatis hari ini.

Bel pintu rumah Erika berbunyi. Aku mengintip lewat jendela depan. Nina sudah berdiri di depan pagar. Raut mukanya terlihat seperti seorang kekasih yang marah dan akan menyemprot selingkuhan kekasihnya.

Rupanya, bel itu membangunkan Erika.

“Siapa, Gus. Kok ada tamu malem gini, sih?”Erika memelukku dari belakang
“Maaf, Rik. Aku minta Nina jemput aku kesini.”
“Jadi, kamu nggak akan nginep malem ini? Ya udah deh.” Erika tampak kecewa sambil membukakan pintu pagar.

Nina langsung menghampiriku. Aku tidak suka tatapannya pada Erika. Erika terlihat berantakan usai bangun tidur.

“Malem. Mbak Nina ya? Kenalin, saya Erika.” Erika mencoba bersikap ramah pada Nina.
“Bagus udah cerita soal aku?” jawab Nina ketus.
“Baru dikasih tahu tadi kok, Mbak?” jawab Erika.
“Terus, ngapain si Bagus kamu ajak ke sini?” Nina mulai marah

Aku mencoba menahan Nina.

“Nin, masuk dulu yuk. Kita ngobrol di dalem.” Kataku sambil merangkul Nina.
“Mari, Mbak Nina. Silakan.” Erika mengikuti kami di belakang.
“Awas ya Gus kalo kamu macem-macem sama dia.” Nina mengancamku.

*

Erika menjelaskan semuanya kepada Nina. Aku dengan sabar duduk disamping Nina. Menjaganya jangan sampai lepas kendali. Aku tahu, itu semua karena Nina sayang padaku. Erika tampak seperti pagi tadi. Ia menangis lagi.

Nina memandangiku.

“Gus, bilangin dia dong, kamu mau anter aku mau ke toilet dulu.” Nina berbisik.

Aku dan Nina meninggalkan Erika yang masih menangis sendu di sofa yang sama saat ia tidur di pangkuanku. Aku dan Nina tak henti memandanginya dari kejauhan. Usai kembali dari toilet, Nina membawakan amplop coklat yang tadi aku baca.

“Gus, bagus banget undangannya. Menurut kamu bagus gak buat undangan nikahan kita nanti.”

Aku terkejut. Aku tidak ingin Erika tahu soal ini. Aku yakin Erika akan menghabiskan air matanya malam ini bila sampai dia tahu bahwa aku dan Nina membaca undangan itu.

“Hmm... Bagus, Nin. Kamu simpen lagi sana, ntar ketahuan Erika. Kasihan dia.”
“Sebentar, aku mau baca dari siapa ini.” kata Nina.

Erika masih menangis. Tangisannya kini terasa begitu pilu. Bagai tangis Sinta ketika ditawan Rahwana.

“Gus..” Nina menggumam.

Aku berbalik menghadap Nina yang tampak tertegun.

“Kenapa, Nin?”

Nina seketika pingsan. Tanpa menyisakan penjelasan.
 

Pharmindo, 25 Oktober 2013.

Jumat, 18 Oktober 2013

The Naked Kitchen (2008)

Can you love two people at same time?


Ahn Mo-Rae (Shin Min-Ah) sedang berusaha mencari hadiah diberikan pada suaminya, Han Sang-In (Kim Tae-Woo) pada hari ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Mo-Rae pergi melihat-lihat ke sebuah galeri seni untuk menemukan sebuah hadiah sempurna untuk selalu mereka kenang. Di galeri, Mo-Rae bertemu dengan seseorang tak dikenal yang baru sekali itu dijumpainya. Entah apa yang merasuki mereka, keduanya bercinta. Mo-Rae tidak dapat menahan godaan dari si pria tak dikenal ini. Kelak mereka akan saling mengenal.

Mo-Rae terus dihantui perasaan bersalah. Mo-Rae dilanda kebimbangan, antara menyimpan rapat-rapat rahasia itu atau malah berkata jujur pada Sang-In. Keakraban dan kedekatan yang terjalin sejak mereka masih kecil membuat Mo-Rae tidak punya pilihan selain berkata jujur. Sang-In rupanya mau mendengarkan, namun ia tidak mau mendengar cerita itu lebih jauh dan tidak mau membahasnya sama sekali. Kontan, hal itu membuat Mo-Rae semakin merasa bersalah. Bagaimanapun, Mo-Rae menyadari bahwa Sang-In akan mengetahuinya suatu hari nanti.

Usai makan malam di hari jadi perkawinan mereka, datanglah sahabat lama Sang-In. Park Do-Ree (Joo Ji Hoon), seorang chef yang kembali ke Korea atas inisiatif Sang-In yang mengajaknya untuk membuka restoran. Sang-In sendiri telah memutuskan untuk resign dari pekerjaannya sebagai pialang saham untuk menjalani passionnya selama ini, yaitu menjadi seorang juru masak dan membuka restoran sendiri. Untuk itulah Sang-In membutuhkan Do-Ree. Sang-In sengaja memanggil Do-Ree pulang dari Paris untuk tinggal di rumahnya.

Sebuah kebetulan bahwa pada saat perkenalan itulah Mo-Rae menyadari bahwa Do-Ree adalah pria yang bercinta dengannya di galeri seni. Mo-Rae semakin merasa tidak nyaman. Kini, tugasnya bukan hanya menyimpan rapat-rapat rahasia antara dirinya dengan Do-Ree, tapi juga harus menahan perasaan aneh yang terjadi antara mereka berdua.


Kisah cinta segitiga dalam satu atap dimulai. Sang-In sengaja memberi keleluasaan pada Mo-Rae untuk menemani Do-Ree berkeliling di sekitar tempat tinggal mereka. Kedekatan mereka berdua akhirnya terjalin semakin akrab. Berkali-kali Do-Ree mengungkapkan cintanya pada Mo-Rae. Do-Ree mencoba meyakinkan Mo-Rae bahwa cinta antara dirinya dengan Sang-In bukan cinta yang sebenarnya. Do-Ree meyakini cinta Mo-Rae kepada Sang-In adalah sesuatu yang ‘given’, terbentuk dari perasaan yang pelan-pelan tumbuh sejak mereka kecil. Do-Ree meragukan cinta Sang-In pada Mo-Rae. Namun, Mo-Rae tetap pada pendiriannya. Ia merasakan sesuatu yang lain pada Do-Ree namun ia tidak mau mengungkapkannya.

Pada satu kesempatan, Sang-In mulai mencurigai affair antara Mo-Rae dengan Do-Ree. Sang-In juga memiliki bukti kedekatan mereka akibat kecerobohan Kim Seon-Woo (Jeon Hye Jin II), sahabat Mo-Rae. Hal itu langsung membuat Sang-In menghajar Do-Ree habis-habisan. Do-Ree pun menyerang balik Sang-In dengan mengakui apa yang telah dilakukannya lalu mengungkapan perasaanya kepada Mo-Rae. Usai berkelahi habis-habisan, Sang-In menyadari bahwa semua pilihan ada pada Mo-Rae. Mo-Rae harus memilih, Sang-In yang telah bersama dengannya sejak lama atau pada totally complete stranger seperti Do-Ree. Mo-Rae tidak memilih namun ia memiliki pilihan hatinya sendiri.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


The Naked Kitchen adalah film pertama Shin Min-Ah yang saya tonton. Sebelumnya, saya sudah dibuat jatuh cinta pada Min-Ah dengan aktingnya di seri drama ‘My Girlfriend is A Gumiho’ dan ‘Ahrang and The Magistrate’ lalu pada suaranya yang ikut mengisi soundtrack Gumiho.

Pelajaran pertama dari film ini adalah: Live your passion. Sang-In sengaja meninggalkan pekerjaannya yang mapan hanya untuk menjalani kehendak hatinya yang lain, yang akan membuat dirinya sepenuhnya utuh dengan menjalankan bisnis barunya di bidang kuliner.

Selanjutnya, kemelut cinta segitiga Sang In-Mo Rae-Do Ree memberikan suatu sudut pandang bahwa mencintai seseorang adalah sebuah proses yang tak hanya ‘given’ saja. Tetapi juga membutuhkan hubungan dua arah, dimana keduanya saling merasa terikat dan saling mencintai sepenuh hati.

Anyway, kehebatan unsur film ini terletak pada inti cerita yang berpusat pada kisah cinta segitiga, tanpa mengurangi esensi dari sebuah culinary passion. Keduanya merupakan perpaduan bumbu utama yang menghadirkan perasaan geregetan dan penasaran.

Judul           : The Naked Kitchen
Sutradara    : Hong Ji Young
Cast            : Shin Min Ah, Kim Tae Woo, Joo Ji Hoon, Jeon Hye Jin II
Tahun         : 2008
Produksi     : CJ Entertainment


Pharmindo, 24 Agustus 2013.

Note: images taken from www.hancinema.net

Sabtu, 28 September 2013

Cinta di Atas Perahu Cadik


Mukadimah

Sudah sejak 2008 lalu saya memendam keinginan untuk membaca buku ini. Maklum, dalam kumpulan cerpen terbaik ini ada cerpen dari penulis favorit. Sebut saja, Seno Gumira Ajidarma dan Budi Darma. Serta tidak ketinggalan, Agus Noor dan Djenar Maesa Ayu. Seringkali saya hanya mampu menatapi buku ini setiap mampir ke toko buku langganan di Palasari. Tanpa mampu menggenggamnya hingga ke meja kasir.

Lima tahun kemudian, saya berhasil menamatkan pembacaan buku ini. Saya rasa ada alasan mengapa Tuhan baru mempertemukan kembali kami sekarang ini. Agaknya, saya telah membuktikan apa yang pernah ditulis SGA dalam cerpen 'Linguae': Aku tidak pernah keberatan menunggu siapapun berapa lama pun selama aku mencintainya.

Catatan Empat Cerpen

Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen terbaik dari Seno Gumira Ajidarma yang berjudul sama dengan judul buku. Kisah seorang Sukab dan Hayati yang saling mencintai walau keduanya telah sama berpasangan. Berlatar kehidupan masyarakat nelayan pesisir, cerita ini seakan-akan mewakili kenyataan hidup yang berlangsung sehari-hari. Kecuali, bila pembaca menggugat hilangnya Sukab dan Hayati selama tujuh hari itu sebagai hal yang tidak masuk akal.

Cerpen lain yang menjadi favorit dalam buku ini adalah 'Kisah Pilot Bejo' yang ditulis oleh Budi Darma. Kisah seorang pilot bernama Bejo yang selalu 'bejo' dalam menerbangkan pesawat. Budi Darma agaknya mengambil sebuah realita yang kemudian dituangkannya kembali dalam bentuk sebuah cerita pendek. Pembaca tentu sudah lebih paham bila membaca metafora dan analogi yang disajikan oleh Budi Darma. 'Kisah Pilot Bejo' memberikan kita gambaran bahwa dunia penerbangan di negeri kita pernah mengalami hal yang demikian.

'Gerhana Mata', dari Djenar Maesa Ayu adalah cerita yang saya sukai dari segi penuturan dan bahasa. Pemilihan diksi yang tepat menjadi kunci cerpen ini untuk merebut hati saya.

"Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan." 

Betapa sebuah dunia dapat menjadi nyata dalam gelap. Hanya dalam gelap sang narator dalam cerita dapat merasakan cinta. Selebihnya, saya mendapat nuansa realitas yang kental dalam cerpen ini. Pertemuan sepasang kekasih yang terlarang adalah sebuah bumbu kehidupan metropolitan. Atas nama cinta, semuanya terjadi.

Cerpen 'Tukang Jahit' dari Agus Noor sudah menyentak sejak paragraf awal. Jarum dan benang si tukang jahit yang konon diberikan Nabi Khidir dalam mimpinya adalah satu unsur kejutan yang mau tidak mau sukses menggiring pembaca untuk terus melanjutkan pembacaan atas cerpen ini. Tukang jahit ini bukan tukang jahit sembarangan. Tukang jahit ini adalah satu-satunya yang tersisa dari sekian banyak tukang jahit yang pernah berjaya di kota itu. Ia tidak hanya menjahitkan pakaian. ia juga mampu menjahit kebahagiaan.

Sepintas, cerita ini mengingatkan saya pada cerpen SGA lainnya yaitu 'Manusia Gerobak'. Baik SGA maupun Agus Noor menceritakan manusia gerobak dan tukang jahit yang sama-sama muncul setiap menjelang lebaran. Saya tidak heran akan hal seperti ini. Kalau pembaca sudah sering menbaca karya mereka, tentu akan dapat menarik suatu benang merah atas keduanya.

Cerpen Lainnya

Cerpen lain dalam buku ini juga memiliki nilai dan pesannya masing-masing. 'Lampu Ibu' yang ditulis Adek Alwi bercerita tentang kekuatan dan ketegaran seorang Ibu. Terutama, ketika satu anaknya tersangkut kasus korupsi dan jatuh sakit. Ada nilai moral yang dapat diambil dari cerita itu. Terlebih, kasih Ibu tiada batasnya, tak terhingga sepanjang masa.

Cerita tentang legenda tukang nasi goreng bernama Koh Su pun tak kalah menariknya. Kerinduan akan rasa dan segenap misteri yang menyelubungi Koh Su menjadi bumbu yang membuat cerpen ini semakin menarik dan penasaran. Cerpen 'Koh Su' tulisan Puthut EA ini harus disimak betul sampai akhir cerita bila memang pembaca penasaran soal asal usul Koh Su dan bumbu nasi goreng ajaibnya.

Romantisme masa lalu turut juga dihadirkan oleh Wilson Nadeak lewat 'Serdadu Tua dan Jipnya'. Kisah seorang pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan memelihara sebuah jip Willys tua ini menjadi suatu romantika tersendiri. Romantika itu hadir dalam segenap konflik antara si serdadu tua dengan istrinya. Namun, penulisnya berhasil mengubah haluan sehingga akhir (ending) dari cerita ini tidak selesai disitu.

'Sinai' dari Dewi Ria Utari dan 'Belenggu Salju' dari Triyanto Tiwikromo adalah dua cerpen satir yang cenderung gelap. Keduanya bercerita tentang gelapnya jalan yang harus ditempuh untuk mencapai sebuah keabadian. Sedang, 'Bigau' yang ditulis Damhuri Muhammad, lebih mengangkat unsur dan nilai legenda tradisional. 'Bigau' bercerita tentang seorang jagoan yang memiliki kesaktian yang diperolehnya lewat sebuah cara yang hanya dia saja yang mampu melakukannya. Konflik muncul ketika ia harus mewariskannya.

'Lak-Uk Kam' dari Gus Tf Sakai bercerita soal penjaga mercusuar yang selalu sendirian setiap bertugas. Tiga bulan sekali ia dirotasi ke mercusuar-mercusuar lain. Tiga bula sekali pula ia merasakan kesendirian yang sama.

GM Sudarta muncul dalam kumpulan cerpen ini. Sebagaimana telah kita kenal sebelumnya, GM Sudarta adalah seorang kartunis dengan karyanya yang mashur yaitu 'Oom Pasikom'. Cerpen 'Candik Ala' yang ditulisnya mengingatkan saya pada lirik pembuka pada lagu Koes Plus, "Melati Biru'. Cerpen ini bercerita soal kenangan seorang anak terhadap ayahnya. Dibumbui dengan candikala, suatu titimangsa dimana batas-batas gaib menjadi samar.

'Sepatu Tuhan' yang ditulis Ugoran Prasad, seketika mengingatkan kita kepada sepakbola, terutama soal piala dunia. Simak kisah sepatu Franz Beckenbauer dan si 'Tangan Tuhan' Maradona. Romantisme sepakbola dan melankoli persahabatan adalah dua unsur yang berpadu dalam cerpen ini.

Dua cerpen terakhir pun agaknya juga mengesankan bagi saya. 'Hari Terakhir Mei Lan' yang ditulis Soeprijadi  Tomodihardjo membawa pembaca pada suasana China dimasa penuh pergolakan. Sedangkan, 'Gerimis Yang Sederhana' dari Eka Kurniawan, yang sekaligus jadi cerpen terakhir, bercerita soal pertemuan dua orang. Yang membuat saya menyunggingkan senyum adalah kenyataan bahwa si pria menyembunyikan cincin kawinnya dan tak sengaja tercampur dengan recehan yang ia berikan pada pengemis. Betapa naifnya hidup ini bahwa masih saja ada cerita soal pria beristri yang menyembunyikan identitasnya setiap akan menemui seorang perempuan yang baru dikenalnya.

Konklusi

Sebuah cerpen berpacu dengan keterbatasan ruang cerita. Apalagi, ketika harus muncul dalam ruang media cetak koran. Penulis dituntut mampu membuat cerita pendek yang kaya dengan sintesa pengalaman dengan cara yang meyakinkan. Oleh karena itu, setiap cerpen yang muncul di hari Minggu ini memiliki konflik dari dunianya sendiri. Dunia yang terbentuk dalam keterbatasan ruang cerita. Sekalipun begitu, semuanya membuktikan bahwa dalam sebuah keterbatasan ada banyak ruang untuk sebuah cerita.


Paninggilan, 14 September 2013.


Rabu, 28 Agustus 2013

Tips Nonton Konser

Setelah mengalami berbagai keajaiban sepanjang tahun ini, termasuk nonton Sixpence None The Richer dan Metallica, lalu jadi pemenang tiket gratis konser @ProjectPe , belum lagi next upcoming concert 'Yovie and His Friends' , saya rasa sudah waktunya untuk berbagi soal tips nonton konser. 


Jangan kaget dulu. Saya tidak berniat menggurui. Lagipula, jam terbang saya masih tergolong rendah soal jagad perkonseran. Jadi, pembaca tidak perlu khawatir soal validitasnya. Anggap saja ini hanya saran seorang kawan belaka.

  • Pastikan konser yang akan kamu tonton adalah konser artis/band favorit kamu. Cari informasi lewat laman resmi Facebook atau Twitter mereka (because you’re a good fans). Jadi, kamu punya waktu untuk prepare. Termasuk soal pendanaan.   
  • Kosongkan semua jadwal pada hari konser kecuali konser itu sendiri. Ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti terlambat menukar voucher dengan tiket masuk atau venue yang sudah terlalu penuh. You don’t want to miss it, right? Baca juga informasi lengkap soal konser di laman web yang disediakan promotor.

  • Siapa bilang cuma tiket kereta api yang bisa dipesan jauh-jauh hari (H-90). Beberapa promotor konser bahkan sudah mulai membuka presale untuk konser-konser mereka jauh sebelum D-Day. Cek ketersediaan tiket via laman web dan hotline. Intip juga informasi di Facebook atau Twitter. Bila memang sedang beruntung, ada potongan harga yang lumayan.

  • Kalau sudah dapat tanggal main konser, pastikan kamu punya uang yang cukup untuk membeli tiket. Kalau pun belum cukup, boleh pinjam kartu kredit sahabat kamu. Siapa tahu ada promo menarik dari provider kartu kredit untuk pembelian lebih dari 1 tiket. (Biasanya kena charge 3% sih :p )
  • Follow official page Facebook atau Twitter artis/band favorit kamu. Biasanya, ada informasi soal promo tiket hingga lucky draw atau kuis berhadiah tiket konser. Kalau menang, lumayan.
  • Bila memang harus membeli tiket pada saat D Day, pastikan kamu bawa uang lebih. Soalnya, tidak menutup kemungkinan kategori tiket yang kamu incar sudah habis dan harus cari kategori yang lain.
  • Istirahat yang cukup sehari sebelum konser. Kamu nggak mau kecapekan pas lagi nyanyiin lagu mereka kan? Kalau konser digelar malam hari, usahakan tidur siang secukupnya. Supaya bisa tetap on semalaman.
  • Bawa barang seperlunya. Ponsel, smartphone, powerbank, dan dompet is a must. Jangan bawa barang yang dilarang promotor/panitia. Informasi soal hal ini bisa dilihat di laman web atau lembaran tiket. Jangan sampai kamu kehilangan barang kesayangan kamu hanya gara-gara teledor pada saat nonton konser.
  • Jadilah penonton yang baik dan bertanggungjawab. Kalau memang yang kamu tonton adalah artis/band favorit kamu, tentu nggak susah buat nyanyiin semua lagunya kan? Kecuali kamu hanya berniat #modus PDKT dengan nemenin cewek/cowok incaran kamu nonton konser.
  • Jangan nonton konser sendirian. Memangnya mau dengerin Nightmare Side? Percayalah, hal ini rasanya sedikit tidak menyenangkan. Minimal, ada yang bisa ambil foto kamu kalau-kalau ketemu si artis di venue. Kecuali, kamu sudah bisa foto-foto sendirian. Tanpa tripod, catat!
  • Bila venue konser sudah sesak dengan penonton, jangan memaksa untuk mengambil foto dengan Tab/iPad. Jelas menganggu pandangan penonton lain di belakang kamu. Jadilah penonton yang pengertian. Yang mau nonton bukan cuma kamu.
  • Belajar mengambil foto tanpa lampu kilat (flash). Beberapa artis/band merasa keberatan dan terganggu dengan lampu kilat kamera. Hal ini juga memabantu mengasah skill fotografi kamu. Jadi bukan hanya menang gaya dengan bawa DLSR doang.
  • Beli merchandise artis/band favorit kamu yang ada di sekitar venue. Sebagai bukti kalau kamu memang pernah datang ke konser itu. Apalagi kalau sampai bisa bagi-bagi merchandise buat oleh-oleh. Hal itu bisa menaikkan derajat keeksisan kamu di depan teman-teman kamu.

Sudah jadi rahasia umum, persiapan yang baik akan menghasilkan hasil yang baik pula. Maka, persiapkan dirimu semaksimal mungkin sebelum menonton konser artis/band favorit. Because, every second counts and you don’t have any chance to be missed.

Paninggilan, 27 Agustus 2013

* ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis

Jumat, 12 Juli 2013

Kerinduan Yang Rapuh - Serial #CerpenSMA Eps.1

Pengantar

Sebagai pembuka, beberapa hari lalu saya sengaja menyempatkan diri dan meluangkan waktu untuk membuka kembali file-file tugas sekolah SMA. Menarik, karena saya menemukan sebuah kumpulan cerpen yang pernah saya buat waktu itu. Tidak terlalu banyak memang, namun saya rasa sudah waktunya cerpen-cerpen itu menemukan pembaca mereka yang sesungguhnya.

Serial #CerpenSMA ini akan dimulai sejak tulisan pertama ini terbit. Semua cerpen telah mengalami  proses editing yang terbatas pada kesalahan penempatan tanda baca dan tipografi. Tidak ada perubahan dalam alur dan pemilihan kata-kata. Saya serahkan pada pembaca untuk menilai tulisan saya. Bagi saya, kumpulan cerpen itu tadi adalah tonggak awal sejarah kepenulisan saya, jauh sebelum blog ini dibuat.

Saya berharap pembaca dapat menikmatinya. Khusus untuk ini, terlebih dahulu saya ucapkan terima kasih.

Paninggilan, 12 Juli 2013


KERINDUAN YANG RAPUH

Andhita tercinta,

Didalam surat ini aku tuliskan sebuah cerita saat aku telah jauh darimu. Suratku ini akan berisikan kerinduanku padamu. Andhita, apakah kamu akan ikhlas untuk menerima dan membacanya?.

Andhita, akan kuceritakan  betapa rindunya diriku saat kau tak disisiku menemaniku. Mengapa? Karena aku sangat mengharapkanmu untuk kembali bersama menikmati segala kenangan yang pernah kita lalui.


 
27 Juni 2001, tahukah Dhita, hari itu aku sungguh-sungguh kecewa, hari itu aku sadar bahwa kita tak akan pernah bertemu kembali. Aku tak bisa menerima kenyataan itu. Tetapi Andhita, kaupun tahu aku harus terus maju untuk meraih masa depanku. Tak hanya diriku saja tapi dirimu juga.
 
Aku juga masih ingat saat kau melihatku berjalan berdua dengan seseorang yang kini telah menjadi mantan kekasihku. Akupun mengerti perasaanmu Andhita, aku juga tahu kalau hatimu menyimpan sedikit luka karena kejadian itu. Apakah kamu tahu juga kalau selama ini aku pun terluka? Seseorang itulah yang sering membuatku terluka, terluka karena ia berusaha untuk menjauhkan dirimu dari hatiku. Andai waktu itu aku dapat menemanimu, maka tak akan ada lagi luka bagi kita berdua.
 
Namun kini Andhita, aku kehilangan perasaan itu. Aku kehilangan jejak cerita kita, saat kita masih bersama. Aku bahkan tak tahu kini dimana dirimu berada, entah di belahan dunia mana. Tetapi Andhita, aku takkan pernah kehilangan sesuatu dari dirimu yang sampai saat ini menjadi sesuatu yang berharga bagi diriku. Apakah kamu tahu Andhita? Senyummu. Senyummu itulah yang selalu menguatkanku dan mengabadikan dirimu di hatiku.
 
Andhita tersayang,
 
Didalam hatiku kaulah yang terindah kau telah menjadi sekuntum bunga yang mekar tiada hentinya didalam hatiku sampai kapanpun, karena kaulah bunga pertama yang kusimpan di dalam ladang cinta hatiku. Andhita, pernah kucoba untuk menepis bayanganmu yang selalu memaksaku 'tuk merindumu, namun ku tak pernah bisa. Belum lagi dalam kesendirianku ini, belum kutemukan bunga-bunga lain sebagai pendampingmu, aku belum bisa Andhita.
 
Andhita yang manis,
 
Aku ingin bertanya padamu, “ Masihkah kau menyimpan hadiah yang kuberikan?”, aku yakin kamu tentu masih menyimpannya. Andhita, untuk mendapatkan  sesuatu itu aku harus menempuh perjalanan yang tak pernah kuharapkan, tapi demi seorang Andhita, aku tak peduli. Andhita, saat itu hujan seakan ditumpahkan dari langit, akupun resah karena belum kutemukan sesuatu itu, aku takut mengecewakanmu, demi kebahagiaanmu Andhita, aku pun terus mencari walau dalam keadaan basah kuyup. Saat telah kutemukan langit mendung pergi dan matahari kembali bersinar dan menghidupkan kembali harapanku pada dirimu.Akhirnya aku pun bahagia melihatmu menerima dan menyukainya. Dari caramu mengucapkan terima kasih, aku tahu kamu sangat senang.
 
Itulah Andhita, seberkas kerinduanku padamu. Andhita setelah membaca suratku ini, kuharap kau dapat membalasnya. Ceritakanlah padaku tentang indah warna-warni duniamu.
 
Sebelum kuakhiri suratku ini, maafkanlah aku Andhita yang telah tega membiarkanmu pergi begitu saja. Pergilah Andhita, kejarlah keinginanmu karena masih banyak waktu, dan tak usah kau pikirkan lagi lelaki ini yang tebaik dan sangat sayang padamu. Maafkan aku sekali lagi, karena kata-kataku ini yang mungkin terlalu gombal bagimu.
 
Andhita, izinkanlah aku mengirimkan kerinduanku padamu dengan cium, peluk dan bisikan terhangat dari tempat yang terindah di dunia.
 

Bandung, 22 September 2003

Kamis, 06 Juni 2013

Sang Penari dari Dukuh Paruk

Saya memang agak telat untuk menonton ‘Sang Penari’ setelah resmi dirilis 10 November 2011. Itu pun lewat hasil unduhan dari sebuah forum. Pun, membaca buku ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ sebelum edisi kompilasi trilogi bersama ‘Jantera Bianglala’ dan ‘Lintang Kemukus Dini Hari’, pemberian seorang sahabat. Pengalaman membaca buku kini tidak akan lagi sama. Maraknya visualisasi dan adaptasi cerita dari sebuah judul buku akhir-akhir ini menghadirkan suatu pengalaman lain dalam konteks pemaknaan sebuah karya, terutama sastra.


Tak terkecuali pada ‘Sang Penari’. Film yang digarap oleh Ifa Isfansyah dan skenario yang digarap bersama oleh Salman Aristo dan Shanty Harmayn ini menghadirkan sebuah pencitraan, pemaknaan, dan visualisasi gagasan atas apa yang penah dituliskan Ahmad Tohari dalam bukunya. Perlu dicatat, bahwa menampilkan kembali isi dari buku yang pernah mengalami pelarangan edar oleh Orde Baru ini bukanlah sesuatu yang mudah, as it is or as given.Terutama, menyesuaikan alur cerita agar tampil lebih singkat dari jalan cerita pada buku aslinya. Re-interpretasi terhadap karya Ahmad Tohari mutlak diperlukan.


‘Sang Penari’ bertutur tentang cerita cinta yang terjadi di sebuah desa miskin Indonesia pada pertengahan 1960-an. Dukuh Paruk namanya. Pedukuhan yang masih menganut nilai-nilai lokal-tradisional dalam tata kehidupannya ini menganggap ‘ronggeng’ bukan sekedar seni dan tradisi belaka. Ronggeng dalam tata hidup masyarakat Dukuh Paruk adalah sebuah bentuk pengabdian terhadap leluhur mereka, Eyang Sacamenggala. Maka begitu Srintil kehilangan ibunya yang ronggeng itu karena insiden ‘tempe bongkrek’, Dukuh Paruk mengalami stagnansi dalam kehidupannya. Gairah penduduk seakan hilang, tidak ada lagi berkah Eyang Sacamenggala.

Srintil (Prisia Nasution) hanyalah seorang anak kecil biasa yang senang bermain bersama dengan teman-temannya, Rasus (Oka Antara) dan kawan-kawan. Kadang, Srintil menari kala sedang bersama Rasus. Sejak itu, Srintil semakin lekat bersama Rasus. Diam-diam, Nyai Kartaredja (Dewi Irawan) pun menaruh hati bahwa suatu saat kelak cucunya itu menjadi ronggeng. Rasus tidak bisa menahan Srintil.


Rasus tahu bahwa Srintil akan menjadi ronggeng. Rasus mencoba menerima kenyataan dengan memberikan keris peninggalan Ibu Srintil kepada Srintil. Keris itu dipercaya sebagai pertanda bahwa Srintil dipercaya leluhurnya untuk menjadi ronggeng. Kehidupan Dukuh Paruk kembali bergairah setelah Srintil didaulat menjadi ronggeng dan harus menjalani ritual ‘bukak klambu’.

Rasus semakin tidak bisa menerima kenyataan itu. Beruntung, Srintil pun tidak rela keperawanannya diserahkan pada orang lain. Maka, mereka pun bercinta sebelum ‘bukak lambu’ digelar. Rasus sekali lagi menyatakan keberatannya pada Srintil. Namun, keputusan Srintil untuk menjadi ronggeng sudah bulat. Tidak ada kata mundur. Zaman pun kemudian bergerak, di mana Rasus harus memilih; loyalitas kepada negara atau cintanya kepada Srintil.


Dalam situasi yang semarak kembali itu, menyusuplah seorang antek partai komunis, Bakar (Lukman Sardi). Bakar mencoba melakukan propaganda di Dukuh Paruk. Warga yang pengetahuannya terbatas itu sedikit-sedikit dan perlahan mulai melakukan apa yang dikehendaki Bakar. Rasus merasa ada yang aneh saat kembali mengunjungi Dukuh Paruk. Pengaruh komunis bawaan Bakar telah begitu kuat di Dukuh Paruk. 


Bakar dengan cerdik memanfaatkan ronggeng untuk propaganda partainya. Kartaredja sempat dibuat ragu dengan pementasan ronggeng yang didukung oleh partai komunis walau akhirnya berhasil meyakinkan kakek Srintil agar mau tampil di kota. Apalagi setelah makam Eyang Sacamenggala dirusak sekelompok orang tidak dikenal. Padahal, itu merupakan fitnah yang dilakukan oleh Bakar dan partainya.

Sampai adegan ini, saya sangat terkesan dengan visualiasi teks pada bab yang sama. Perusakan makam itu dianggap sebagai pertanda bahwa Srintil harus kembali meronggeng. Sebuah keputusan yang kelak membawa Dukuh Paruk pada pergolakan sejarah.


Roda waktu pun berputar. Dukuh Paruk dinyatakan ‘merah’. Dengan demikian, operasi penumpasan pun digelar. Warga Dukuh Paruk yang tidak tahu apa-apa itu apalagi soal pergolakan di ibukota negara menjadi korban. Mereka dipaksa meninggalkan Dukuh Paruk dan resmi menjadi tahanan politik. Seluruhnya menjadi tersangka kecuali Sakum, si penabuh kendang.

Rasus, yang masih memendam rindu pada Srintil mencoba untuk kembali ke Dukuh Paruk. Usai menghadapi ‘gempuran’ dan komandannya (Tio Pakusadewo), Rasus tidak menemukan apa-apa lagi di Dukuh Paruk, kecuali Sakum. Lewat beberapa petunjuk, Rasus pergi ke tempat para tahanan dari Dukuh Paruk ditahan. Setibanya disana, Rasus berhasil menemukan Srintil. Malang, Rasus hanya dapat melihat Srintil pergi. Srintil digiring untuk dibawa ke tempat lain.

Sebagai penutupan, dikisahkan bertahun-tahun kemudian Rasus telah mendapat kenaikan pangkat. Namun, kenangan tentang Srintil tidak pernah padam. Rasus tahu dimana harus mencari Srintil. Saat itu, pemerintahan telah beralih ke tangan Orde Baru. Dukuh Paruk pun tinggal cerita, tak terkecuali ronggeng yang hanya sebuah tontonan yang dijajakan belaka. Dalam sebuah kesempatan di Pasar Dawuan, Rasus bertemu kembali dengan Srintil yang sedang ‘ditanggap’ oleh beberapa orang saja. Srintil merasa ketakutan dan segera pergi dengan Sakum. Namun, Rasus sempat menggenggam tangan Srintil, menyelipkan kembali keris pusaka yang dulu pernah ia berikan pada Srintil.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Kisah cinta Srintil dan Rasus awalnya adalah sebuah cerita cinta sederhana. Namun, akhirnya terpisah oleh jalinan takdir itu sendiri. Rasus yang merasa kecewa karena Srintil memutuskan untuk menjadi ronggeng menemukan pelariannya dalam wujud ketentaraan. Rasus dan Srintil pernah mencoba untuk mengkompromikan takdir mereka. Srintil tidak mampu menghindar dari ‘indang’ ronggeng yang diyakini telah memilihnya. Rasus sendiri tidak dapat berbuat banyak karena ia telah menjadi seorang tentara.

Saya bisa memberi nilai sempurna untuk interpreasi teks ke dalam citra visual untuk film ini. Latar belakang pengambilan gambar dan adegan yang menghadirkan nuansa alami khas Banyumasan tidak bisa dipisahkan dengan konteks ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ dan melekat kepadanya sebagai sebuah kesatuan identitas. Terlebih, ada beberapa detail dalam buku yang diangkat ke dalam cerita. Hebatnya, visualisasi dalam film persis dengan yang saya bayangkan dalam imajinasi personal. Sebagai contoh, potongan dialog dengan kata-kata seperti “asu buntung” kerap muncul sebagai sumpah serapah. Tak ketinggalan, adegan ketika Srintil mengencingi jampi-jampi yang ditanam di dekat kamarnya.  Overall, film ini tidak kehilangan detail dalam teks ‘Ronggeng Dukuh Paruk’.

Saya juga melihat totalitas akting yang diberikan oleh pemeran-pemeran film ini yang very exceptional. Prisia Nasution mampu mendalami karakter seorang Srintil yang tumbuh dewasa dan menjadi ronggeng. Sementara, Oka Antara konon ‘mempersiapkan’ dirinya dengan diet ketat dalam jangka waktu yang lama untuk memerankan Rasus, agar dapat memaknai karakter Rasus sebagai bocah yang sering kelaparan, tidak bisa membaca, dan memiliki tatapan nanar. Termasuk menyesuaikan logat bicara Banyumasan. Pun, sama halnya dengan Slamet Rahardjo, Lukman Sardi, dan Tio Pakusadewo.

Tidak heran, bila kemudian ‘Sang Penari’ mendulang berbagai pujian dari kritikus. Tak lupa, Ahmad Tohari menyebut ‘Sang Penari’ sebagai adaptasi yang layak untuk karyanya. Pada Festival Film Indonesia 2011, film ini meraih 10 nominasi dan berhasil memenangkan 4 piala citra. Semuanya untuk penghargaan utama. Penghargaan Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Ifa Isfansyah, Aktris Terbaik untuk Prisia Nasution, dan Aktris Pendukung Terbaik untuk Dewi Irawan. Hebatnya lagi, ‘Sang Penari’ pun muncul di situs database film imdb.com. Walau sinopsisnya tidak selengkap di Wikipedia, namun bagi saya itu sudah cukup. Informasi yang dimuat IMDB sudah cukup lengkap untuk sebuah film terbaik dari Indonesia.

Walaupun ‘Sang Penari’ berangkat dari suatu sejarah masa yang sudah lama terlupakan (untuk tidak menyebutnya sengaja diabaikan) namun relevansinya dengan keadaan saat ini tetap terjaga. Kisah percintaan, dari mana pun asal dan sumbernya, tetap membawa suatu nuansa tersendiri. Pergolakan yang mewarnai perjalanan bangsa pun sama dengan gejolak dalam hati. Kadang, cinta tidak hanya sebatas perasaan. Terlalu banyak dimensi yang menaunginya. Seperti kisah cinta Rasus dan Srintil.



Judul        : Sang Penari
Sutradara  : Ifa Isfansyah
Cast          : Prisia Nasution, Oka Antara, Dewi Irawan, Slamet Rahardjo,
                  Lukman Sardi, Tio Pakusadewo, Happy Salma
Tahun        : 2011
Produksi    : Salto Films



Paninggilan, 6 April 2013.

Minggu, 10 Maret 2013

Zero Dark Thirty: An American Revenge

“I'm going to smoke everyone involved in this op and then I'm going to kill bin Laden.” 
 – Maya (Jessica Chastain)

Osama bin Laden adalah sosok yang mengubah konstelasi peradaban dunia sejak peristiwa 9/11. Rentetan peristiwa yang tak urung mengubah kondisi geopolitik dunia, dimulai dengan invasi ke Afghanistan tahun 2001, dan penyerbuan terhadap Irak tahun 2003. Okupansi yang masih terus berlangsung hingga hari ini. Segenap pemboman dibelahan dunia lain seperti di London 2005 pun dikaitkan dengan tokoh utama Al Qaeda ini. Sehingga kepalanya dihargai sangat tinggi oleh para pemburunya.


Zero Dark Thirty menampilkan thriller khas Amerika. Konspiratif dan provokatif. Ketegangan dimulai sejak scene pertama. Interogasi atas tahanan yang dianggap sebagai penyiksaan ditampilkan sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Sang interogator tidak segan-segan melakukan kekerasan fisik.

Cerita terus berlanjut. Kegagalan demi kegagalan mengikuti misi CIA dalam melindungi ‘homeland’. Serangan bom bunuh diri kian marak. Al Qaeda mengaku bertanggungjawab atas semua kejadian itu. Puncaknya, bom bunuh diri yang dilakukan seorang martir Al Qaeda di field base operation CIA. CIA semakin dibuat kebingungan dalam menentukan target besar yang mereka cari, Osama bin Laden.


Sudah jadi rahasia umum bahwa Osama bin Laden bersembunyi di suatu tempat yang rahasia. Suatu tempat terpencil yang tetap masih bisa membuatnya berhubungan dengan dunia luar. Persembunyian Osama di Abbottabad, Pakistan pun akhirnya berhasil ditemukan oleh CIA. Namun, butuh waktu sekitar 100 hari lebih sebelum akhirnya para pemimpin CIA mengambil tindakan atas informasi intelijen itu.

Atas prakarsa Maya (Jessica Chastain) informasi keberadaan Osama dapat ditindaklanjuti. Serangan ke Abbottabad akan dilakukan oleh pasukan khusus NAVY SEAL dengan menggunakan dua helikopter Apache yang telah dimodifikasi ‘stealth mode’. Menarik, karena dua helikopter ini disimpan di Area 51 Nevada AFB.



Penyerbuan pun dilakukan. Satu helikopter gagal mendarat dengan sempurna. Walau begitu, tanpa kehilangan personil, NAVY SEAL tetap menerobos markas persembunyian Osama. Tidak ada perlawanan berarti. Kecuali, beberapa tembakan dari pengawal Osama. Adegan kekerasan muncul sepanjang penyerbuan dan pembunuhan terhadap terrorists suspect. Hingga akhirnya NAVY SEAL berhasil memastikan Osama bin Laden telah berhasil dibunuh.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Pertama kali mengetahui peristiwa penyerbuan untuk memburu Osama bin Laden pada Mei 2011 ini akan difilmkan yaitu waktu saya menonton “Habibie dan Ainun” awal bulan Januari kemarin. Dalam trailer film, sudah nampak beberapa adegan yang jelas-jelas bakal menunjukkan rating film ini sebagai Restricted, Parental Guidance. Sejak itu, saya berspekulasi bahwa Zero Dark Thirty adalah sebuah film dokumenter. Ternyata, saya salah. Film ini adalah sebuah thriller.


Sayangnya, saya tidak menemukan banyak adegan tembak menembak seperti dalam serial film intelijen seperti The Bourne Quartology dan James Bond. Kebanyakan adegan dalam film ini menampilkan beberapa persoalan internal CIA, seperti kapan mereka akan mengambil tindakan, dan segenap kegagalan CIA dalam menemukan ancaman ‘imminent threat’.

Zero Dark Thirty adalah sebuah istilah “slang language” dalam konteks militer, untuk waktu yang disebut sebagai “early hours of the morning before dawn”. Relevansinya dengan film ini adalah bahwa peristiwa penyerbuan ke markas terakhir Osama dilakukan pada tengah malam hingga pukul 2 pagi pada tanggal 2 Mei 2011. Istilah ini juga melambangkan selubung kegelapan dan kerahasiaan yang merundungi satu dekade usaha penangkapan Osama bin Laden.

Zero Dark Thirty seakan menjadi legitimasi bagi tindakan Amerika Serikat dalam memberantas  terorisme global. Segala tindakan yang mengancam keamanan dalam negeri sekaligus hegemoni Amerika Serikat di panggung dunia akan mereka lumat habis, tak terkecuali. Sebuah balas dendam a la Amerika terhadap semua yang Al Qaeda pernah lakukan atas mereka. Bagaimanapun, sejarah tetap mencatat bahwa perburuan terhadap Osama bin Laden adalah sebuah perjalanan panjang dalam sejarah umat manusia dan kemanusiaan itu sendiri.

Judul           : Zero Dark Thirty
Sutradara    : Kathryn Bigelow
Cast            : Jessica Chastain, Jason Clarke, Reda Kateeb, Joel Edgerton, Jennifer Ehle
Tahun         : 2013
Produksi     : Columbia Pictures

Paninggilan, 9 Maret 2013.

Minggu, 03 Maret 2013

Doorstoot Naar Djokja

“Jatuhnya Ibu Kota karena serangan Belanda, tidak berarti akhir perjuangan kita. Tetapi dari situ, justru rakyat Indonesia akan memulai perjuangannya yang sengit dan ulet, dan sama sekali tidak mengenal ampun. Republik akan tetap terus berdiri, meski para pemimpin negara ditangkap musuh. Prinsip pokoknya, rakyat akan tetap melanjutkan perjuangan..” 
  Menteri Penerangan, Moh. Natsir – hal. 73

Prolog

Pembacaan atas buku ini diniatkan sejak membaca buku “Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir” terbitan Tim Buku TEMPO, Desember 2012. Buku kecil yang memuat riwayat singkat Panglima Besar Soedirman, karir kepemimpinan militer, hingga kontroversi yang melingkupinya. Sebagian isi buku bercerita soal Agresi Militer Belanda ke-2 yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Simon Spoor, Panglima KNIL, dengan sandi Operatie Kraai (Operasi Gagak) ke jantung republik di Yogyakarta.



Sebuah artikel menyebutkan bahwa satu referensi yang secara detil mengungkapkan soal Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, adalah buku ini, Doorstoot Naar Djokja yang ditulis oleh Julius Pour. Atas asalan itulah, pembacaan atas buku ini dilangsungkan sebagai ‘sambungan’ cerita sebelumnya dari buku Panglima Besar Soedirman.

Naar Djokja

Doorstoot Naar Djokja, bila diterjemahkan secara bebas (mengacu pada Google Translate) adalah Tusukan ke Jogja. Barangkali, itu sebabnya dinamakan Operatie Kraai atau Operasi Gagak. Serangan ke jantung Republik dilangsungkan sejak 19 Desember 1948 pukul 00.00. Ribuan prajurit KNIL (Koninklijke Netherlands Indische Lager-Tentara Hindia Belanda) didukung puluhan pesawat tempur mengudara dari Lapangan Udara Andir di Bandung menuju sasaran Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta.


Simon Hendrik Spoor, Panglima KNIL

Serangan ke Maguwo dilaksanakan oleh KST (Korps Speciale Troopen-Korps Pasukan Khusus) untuk segera menduduki lapangan terbang dan membuat jembatan udara dengan pasukan kiriman dari  Kalibanteng Semarang. Sebelum berangkat terbang, pasukan para KST melagamkan mars untuk menaikkan moral mereka “..naar Djokja.. naar Djokja..”.

Penyerbuan mendadak ke Yogyakarta ini tidak pernah diduga oleh Pemerintah Republik sebelumnya. Berhubung Komisi Tiga Negara (KTN) masih berada di Kaliurang, Yogyakarta. Pengalaman lebih dahulu membuktikan bahwa Belanda akan kembali mengulang hal serupa seperti yang dilakukannya pada Agresi Militer ke-1, 21 Juli 1947. 

Pesawat Bomber KNIL di Lapangan Terbang Andir, Bandung

Saat itu, Belanda mengumumkan bahwa pasukannya telah melintasi garis demarkasi Van Mook pada pukul 00.00. Berdasarkan kenyataan itu, Kolonel TB Simatupang mencoba meyakinkan Bung Hatta. Secara logis, Bung Hatta meyakinkan bahwa kemungkinan Belanda menyerang sangat tidak masuk akal. Sedangkan, para pemimpin militer sudah melihat kemungkinan akan datangnya serangan Belanda sehingga militer telah menyiapkan Perintah Siasat dari Panglima Besar Soedirman.

Melalui siaran radio hari Sabtu, 18 Desember 1948, Wakil Agung Mahkota Kerajaan Belanda, Dr. Louis Van Beel, mengeluarkan maklumat bahwa ia akan mengumumkan sesuatu pada esok pagi. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak para pemimpin Republik. Tidak biasanya pengumuman dari Belanda datang pada hari Minggu. Kecurigaan terhadap kemungkinan serangan pun semakin meningkat.

Pengambilan keputusan yang berjalan alot di KTN antara kedua negara bersengketa telah membuat Belanda memainkan intrik. Saluran komunikasi sengaja diputus. Kemudian, Van Beel juga ‘memainkan’ surat Merle Cochran, komisioner KTN. Sehingga, Perdana Menteri Dr. Drees di Den Haag pun tidak mempunyai pilihan lain selain memberi otorisasi kepada Simon Spoor untuk melaksanakan Aksi Polisionil (sebutan Belanda untuk tindakan agresi militer ke Republik Indonesia) setelah menimbang semua laporan ia terima.

Sabtu malam pukul 21.00, Jusuf Ronodipuro dipanggil menghadap ke Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka) dalam kapasitasnya sebagai perwakilan delegasi Republik. Dalam kesempatan itu, Jusuf menerima sebuah surat dari Wakil Agung Mahkota bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda merasa telah tidak terikat dengan perjanjian Renville.

 “The said agreement should be terminated and is considered as no longer binding as from Sunday, 19 December, 1948, 00.00 hours Batavia time.” (hal.15)

Peran Delegasi Republik di Batavia dalam menyiarkan berita soal penyerangan ini sangat penting. Mereka kemudian menyusun laporan soal kejadian itu dan segera mengirimkan telegram kepada Duta Besar Republik Dr. Soedarsono dan Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, melalui saluran telegram milik Konsulat Jenderal India di Jakarta. Sehingga, pada hari Minggu keesokan harinya All India Radio di New Delhi sudah dapat menayangkan berita bahwa tentara Belanda telah menyerang dan membom Yogyakarta.

Minggu, 19 Desember 1948. Pesawat pertama pengangkut KST berangkat dari Andir, Bandung. Menyusul pesawat lainnya yang terang setiap satu menit. Pukul 08.00 pagi Dr. Louis Beel membacakan pengumuman yang isinya serupa dengan suratnya kepada Delegasi Republik di Batavia. Sedangnya, 3,5 jam sebelum pidato Beel dibacakan, tepat pukul 05.15 Landasan Udara Magoewo sudah dihujani bom oleh tiga pesawat pengebom taktis B-25. Hal ini menandai serangan pengecut dari pihak Belanda sebelum dikeluarkannya pernyataan perang.

 
Pesawat Bomber KNIL menuju Yogyakarta

Pemboman terus berlanjut hingga KST berhasil menyelasaikan tugasnya dan pasukan tentara KNIL bersama Marinir dari KM (Koninklijke Marine- Angkatan Laut Kerajaan Belanda) dapat menyerbu ke Yogyakarta. Dengan kondisi demikian, Presiden Soekarno segera mengadakan rapat kabinet guna menentukan langkah apa yang akan diambil oleh Pemimpin Republik. Dalam sebuah catatan, rapat kabinet tersebut dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman. Namun, Panglima Besar tidak ikut masuk di ruang rapat melainkan menunggu di ruang tamu Istana Presiden. Hal ini menjadi indikasi awal bagi anak judul buku ini, yaitu pertikaian pemimpin sipil-militer.

Briefing Koninklijke Marine, 18 Desember 1948*


Keputusan telah diambil. Bung Hatta mengirim telegram untuk memberikan mandat kepada Menteri Urusan Kemakmuran, Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membuka Pemerintahan Darurat Republik seandainya pemimpin Republik di Yogyakarta ditahan Belanda. Kemudian, pesan itu juga diteruskan bahwa Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di India untuk membuka Exile Government.

Presiden beserta staf akan tinggal di Istana Presiden. Presiden Soekarno menyatakan tidak akan ikut bergerilya bersama Panglima Besar Soedirman, seperti sudah direncanakan sebelumnya bila Yogyakarta diserang musuh. Kenyataan tersebut melukai hati Panglima Besar Soedirman. Bahwa Soekarno ‘melanggar’ janjinya sendiri untuk ikut memimpin perjuangan gerilya. Dengan berbagai alasan, Panglima Besar Soedirman terpaksa menerima kenyataan bahwa Pemimpin Republik telah ‘menyerah’ kepada Belanda.

Pertempuran tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Pertempuran guna menghalangi mobilisasi pasukan Belanda juga dilakukan di kota Solo, dipimpin oleh Komandan Wehrkreise (Kantong Militer) I, Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Atas perintahnya, Solo kemudian dibumihanguskan dan pasukan Republik mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perlawanan balasan secara mendadak.

Panglima Besar Soedirman dilantik sebagai Pemimpin Angkatan Perang


Serangan Belanda yang bertujuan meringkus Pemimpin Republik serta menghabisi tentara Republik ini berjalan begitu singkat sehingga pada Minggu siang, Soekarna beserta pemimpin lainnya yang masih berada di Istana ikut ditangkap Belanda. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diasingkan ke Parapat, Sumatera Utara. Sedangkan, Bung Hatta, Ali Sastroamidjoyo, Suryadarma, dan Moh. Roem, menyusul diasingkan ke pulau Bangka.

Dalam keadaan gerilya, Panglima Besar Soedirman menerima kabar bahwa Pemimpin Republik telah menyerah. Mereka ditangkap di Istana. Hal ini tentu sangat menyakitkan hati Panglima Besar. Bagaimanapun, mereka tidak melakukan perlawanan sedikit pun dan membiarkan diri mereka ditangkap musuh. Keadaan ini ikut memperburuk kondisi kesehatan Panglima Besar yang memang sudah ringkih.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Perlawanan demi perlawanan pun terus dilakukan di berbagai kota. Belanda masih bernafsu untuk menghabisi Panglima Soedirman. Sedangkan, upaya diplomasi melalui PBB pun terus dilakukan. Dewan Keamanan diminta segera mengeluarkan resolusi terkait dengan agresi militer Belanda kepada suatu negara berdaulat. Sementara perjuangan diplomasi terus berlanjut, tentara Republik berusaha menyerbu kembali Yogyakarta. Serangan yang kemudian terkenal dengan sebutan “Serangan Oemoem 1 Maret 1949”, dipimpin oleh Komandan Wehrkreise III, Letnan Kolonel Soeharto, yang kelak menjadi Presiden selama 32 tahun.

Serangan itu dimulai usai bunyi sirine tanda jam malam berakhir. Letkol Soeharto mempimpin sendiri pasukannya untuk menyerbu Yogyakarta. Serangan tersebut berlangsung dengan sukses. Bukan saja mengejutkan tetapi juga terkoordinasi dengan cermat. Pertanyaan kemudian muncul, siapakah yang memberi otorisasi kepada Letkol Soeharto untuk melaksanakan serangan. Perintah Panglima Besar Soedirman kepada Sultan Hamengkubuwono IX, untuk tetap tinggal di kota dilaksanakan sepenuhnya oleh Sultan. Sehingga, Sultan dapat mudah berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang berhubungan dengan Sultan lewat kurir, bahkan bertemu sendiri dengan Sultan sehingga dicapai kesepakatan untuk melakukan serangan. Serangan ini juga berarti memberi pernyataan kepada dunia bahwa pasukan militer Republik masih ada. Dengan cerdik, ketika serangan dimulai, dari basis operasi radio di Wonosari, tersiar kabar bahwa pasukan Republik menyerang dan dapat menguasai Yogyakarta. Sebuah pukulan besar bagi Belanda yang kemudian menyerang Wonosari dengan sia-sia karena telah ditinggalkan pasukan Republik.

Letkol Soeharto melapor kepada Sultan Djokja
Melalui UNCI (United Nations Commision for Indonesia), perjuangan diplomasi Republik membuahkan hasil yaitu dengan dibebaskanny Pemimpin Republik. Pembebasan tersebut dilakukan setelah Belanda mendapatkan desakan bertubi-tubi dari komunitas internasional. Belanda sebagai negara penerima Marshall Plan yang digulirkan Amerika Serikat untuk membangun kembali perekonomian negara dicurigai menyalahgunakan dana tersebut untuk menyerang Indonesia, suatu tuduhan yang kemudian terbukti.

Kembalinya Panglima Besar dan Silang Pendapat

Persoalan kemudian mengemuka menjelang pelaksanaan gencatan senjata. Pada sidang kabinet 15 Juli, pemerintah secara terbuka menuduh pemimpin militer menyatakan gencatan senjata sulit dilakukan. Militer menganggap tidak ada jaminan bahwa Belanda akan datang ke KMB (Konferensi Meja Bundar).

10 Juli 1949, Panglima Besar Soedirman kembali ke Yogyakarta, meninggalkan persembunyian selama perjuangan gerilya berlangsung. Panglima Besar kembali ke Yogyakarta dengan dijemput oleh Letkol Soeharto. Ikut bersama rombongan adalah wartawan harian Pedoman, Rosihan Anwar. Petikan wawancara Rosihan Anwar dengan Panglima Besar segera dikirim ke Batavia.

Dalam catatannya, Rosihan Anwar menulis bahwa Jenderal Soedirman tidak menyetujui garis kebijaksanaan politik para pemimpin Republik yang berada di Bangka. Perjanjian Roem-Roijen yang diterima tanggal 7 Mei 1949, tracee-Bangka, seperti digariskan Soekarno, pada pokoknya akan menghentikan perang gerilya dan bersedia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, guna merundingkan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia Serikat, tidak dapat diterima sepenuhnya oleh Panglima Besar Soedirman. Akibatnya, guna menghindari kesan terjadinya perpecahan pendirian di pucuk pimpinan Republik, Panglima Besar Soedirman harus bisa diajak kembali ke Yogyakarta.

Panglima Besar Soedirman bersama Letnan Kolonel Soeharto

Panglima Besar Soedirman menampakkan dirinya kembali ke tengah khalayak yang menunggunya dengan pakaian sederhana yang selama itu digunakannya bergerilya, pakaian sederhana seorang petani Jawa dengan ditutupi mantel Tentara. Sebuah sikap yang jujur pada sejarah, mengutip penilaian TB Simatupang.

Panglima Besar Soedirman kemudian melapor ke Istana untuk bertemu Presiden dan Wakil Presiden. Setelah itu, Panglima Besar beranjak ke Alun-Alun Utara untuk menyambut parade pasukan. Sore itu, Panglima Besar Soedirman selalu berdampingan dengan Soehart, salah satu perwira militer kepercayaannya. Sosok yang memberikan jaminan pribadi sehingga Panglima Besar bersedia meninggal tempatnya memimpin perang gerilya.

Melalui berbagai pembicaraan, pada 1 Agustus 1949, gencatan senjata secara resmi diumumkan. Gencatan senjata itu adalah kebijakan politik yang konon sudah dirancang Presiden Soekarno dalam pengasingannya di Bangka.

Pada hari itu juga, Panglima Besar Soedirman menulis surat kepada Presiden Soekarno, yang pada intinya melukiskan akibat dari berubahnya kebijakan yang ditempuh para pemimpin politik. Sejumlah perwira militer telah mengalami geestelijke harakiri (bunuh diri jiwa). Meninggal akibat penderitaan batin. Panglima Besar menunjuk contoh Letjen Oerip Sumoharjo dan Kolonel Tjokronegoro. Kemudian, Panglima Besar juga meminta persetujuan atas pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar Angkatan Perang dan Kepala Staf Angkatan Perang, disertai dengan opsi keluar sama sekali dari ketentaraan. Surat yang hendak dikirimkan oleh Kolonel AH Nasution itu kemudian dibaca dan Kolonel Nasution menemui Panglima Besar diruangannya. Kemudian, melalui pendapatnya yang menegaskan persatuan pemimpin republik, Panglima Besar batal mengirim surat itu.

Panglima Besar menitip pesan pada Kolonel Nasution, mengharapkan agar Presiden Soekarno sendiri yang memberikan pidato di radio untuk memerintahkan gencatan senjata, berikut kebijakan politik yang mendasarinya.

Sejak hati itu, meski tidak jadi mengundurkan diri, Panglima Besar Soedirman praktis menarik diri dari segala macam kegiatan kemasyarakatan. Presiden Soekarno sendiri sering merasa tidak nyaman, khusus pada sikapnya yang memaksa memberlakukan gencatan senjata yang tidak disetujui Panglima Besar Soedirman.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Membaca kembali sejarah peristiwa yang menentukan keberlangsungan sebuah Republik adalah ibarat menyusun puzzle. Kemudian, kepingan puzzle yang berserakan itu kembali menyatu menjadi sebuah gambar utuh. Begitulah, pembacaan atas sejarah Republik ini dilangsungkan. Pembacaan yang menggabungkan kembali berbagai pengalaman sejarah lainnya.



Doorstoot Naar Djokja, dewasa ini menjadi sebuah referensi sekaligus catatan sejarah perjalanan bangsa yang hadir ditengah modernisasi yang dialami bangsa ini. Buku ini juga penuh dengan catatan sejarah pelakunya. Entah itu pejuang Republik, tentara KNIL, maupun anggota komisioner KTN. Seperti disebutka terlebih dahulu oleh penulisnya, maka catatan tambal sulam ini menjadi lebih bermakna karena pembaca disuguhkan kepada  bukti otentik melalui catatan yang bersifat personal itu.

Personally, saya menggarisbawahi beberapa nama yang kemudian tercatat dalam sejarah Republik sebagai ‘pengkhianat’. Pembentukan dewan-dewan bersenjata di beberapa daerah yang kemudian mencoba melakukan kudeta pasca diberlakukannya rasionalisasi angkatan perang adalah bukti ketidakpuasan militer terhadap kebijakan pemimpin politik. Memang pada akhirnya TNI berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Namun, sangat disayangkan bahwa Republik telah kehilangan putra-putra terbaiknya. Meniru ucapan Syafruddin Prawiranegara menjelang ajalnya “rasanya lebih sakit dijajah bangsa sendiri...”.

Pengalaman long-range reading bersama Doorstoot Naar Djokja telah membuka wawasan pada sebuah tabir yang melingkupi sejarah Republik. Lengkap dengan kiprah dan sepak terjang tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Khusus mengenai silang pendapat pemimpin militer-sipil, semuanya terletak di tangan pembaca. Siapa yang paling benar? Sejarah telah mencatat.

Judul        : Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer
Penulis     : Julius Pour
Penerbit   : Penerbit Buku Kompas
Tahun      : 2009
Tebal       : 435 hal.
Genre      : Sejarah

 
Paninggilan, 3 Maret 2013.

* image courtesy Digitale Museale Collectie Nederland, http://www.netwerkoorlogsbronnen.nl