Sabtu, 26 Januari 2013

Sketsa Sejarah Republik

Tidak salah bila Rosihan Anwar dinobatkan menjadi seorang dari empat saksi sejarah terkemuka Indonesia selain BM. Diah, Mochtar Lubis, dan Jakob Oetama.



Rosihan Anwar membuka kembali catatan kecilnya yang tersebar dalam berbagai publikasi di media cetak nasional. Melalui catatan-catatan itu Rosihan Anwar mencatat segala detail peristiwa yang terjadi dalam sejarah republik. Beberapa artikel pembuka membawa pembaca untuk memahami lebih baik mengenai Timor Timur dan Aceh. Rosihan Anwar banyak menulis tentang riwayat yang menjadi asal-muasal sejarah Timor-Timur sejak jadi bagian provinsial dari Portugis. Kemudian, semua bagian sejarah yang sekarang nampak sudah di"peti es"kan dicairkan kembali. Tentang bagaimana hubungan keinginan rakyat Timor serta pengaruh hegemoni Amerika Serikat dalam usahan integrasi Timor ke dalam kedaulatan NKRI. Menarik, karena membuka wawasan lebih jauh sehingga pembaca dapat membuat perbandingan dengan "fakta" sejarah yang selalu dimunculkan lewat buku-buku pelajaran sejarah.

Sama halnya dengan masalah Aceh. Aceh yang dulunya dijuluki Lumbung Republik, karena memang Aceh pernah menjadi basis modal untuk perjuangan republik, mengalami pergolakan dalam hubungannya dengan Republik. Pergolakan internal yang mengakibatkan munculnya separatis GAM menimbulkan isu utama soal perpecahan republik yang masih berusia muda ini. Lewat tulisan khasnya, kita dihadapkan pada detail-detail disekitar konflik tersebut. Mulai dari Daud Beureuh hingga Hassan Tiro.

Menjelang akhir, ada sebuah catatan yang ditulis kembali, mengenai insiden 27 Juli 1996. Dengan alasan keterbukaan dan situasi yang mulai kondusif maka 6 tahun kemudian Rosihan Anwar membuka kembali catatannya soal peristiwa tersebut. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat kediaman pribadi Rosihan Anwar yang terletak berdekatan dengan lokasi kejadian. Melalui catatan itu, Rosihan Anwar menjadi saksi bahwa konflik kepentingan pemerintah terhadap hal apapun yang merongrong kekuasaan masih mendominasi. Setelah sekian lama bungkam akhirnya Rosihan Anwar mau menulis nama-nama pihak yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Overall, banyak sekali lintasan waktu dan peristiwa yang terekam dari pena Rosihan Anwar. Seperti judulnya: Sejarah Kecil (Petite Histoire), Rosihan Anwar mengajak kita berkelana, berkeliling menyusuri petak-petak kecil yang menyimpan sejarah besar. Tidak sedikit korelasi antara kejadian-kejadian yang selama ini telah diketahui bersama dengan potongan sketsa-sketsa kecil itu. Dengan demikian, sejarah bukan lagi hal yang bersifat statis.

Judul       : Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia; jilid 1
Penulis     : Rosihan Anwar
Penerbit   : Penerbit Buku Kompas
Tahun      : 2004
Tebal       : 328 hal.
Genre      : Sejarah


Paninggilan, 26 Januari 2013.

Kamis, 24 Januari 2013

Prelude to Grace The Series

Pengalaman membaca Amos Lee: The Series (1-3) membuat saya penasaran untuk membaca bacaan semacam itu. Pilihan saya jatuh pada buku ini. At first sight, saya tertarik pada judulnya. Mengingatkan saya pada seorang murid bernama Grace, lalu Grace Natalie, dan lagu The Amazing Grace. Namun, sulit untuk menulis catatan tentang buku ini tanpa membuat perbandingan dengan serial Amos Lee. 

Secara rentang waktu alur penceritaan, keduanya memiliki persamaan. Pemuatan ilustrasi yang memberi dukungan visual bagi pengalaman pembaca turut membantu dalam memahami beberapa lelucon yang timbul. Bedanya, serial Amos Lee memakai sudut pandang seorang penulis diary. Berbeda dengan Grace The Series ini.

Saya melihat ada tiga masalah utama dalam buku ini. Pertama, soal asal usul nama Grace Aja. Hal seperti ini sangat dimungkinkan bila ada empat orang dengan nama yang sama dalam satu kelas. Kedua, soal Mrs. Luther dan Crinkles kucingnya. Crinkles mengalami trauma karena pernah tertimpa jatuhan badan Mrs. Luther. Persoalan ini membawa Grace pada petualangan kecil bersama temannya, Mimi. Ide untuk mengirimkan kartu pos itu tidak berjalan mulus. Grace malah mendapatkan hukuman dari Dad, untuk beberapa unauthorized acts.

Terakhir, partnership diantara Grace dan musuh sejatinya, Sammy Stringer. Ketika Crinkles hilang, Grace diminta Dad membantu Sammy untuk mencari dan menemukan Crinkles. Keduanya berusaha menjadi teman kerja yang aku-gak-akan-pernah-mau-kerja-sama-kamu-sampai-kapanpun. Hasilnya nihil. Namun, ketika Crinkles ditemukan berada dalam apartemen Augustine Dupre semuanya berubah. Mereka menjelma menjadi rekan kerja yang bisa saling diandalkan.

Entah kebetulan atau tidak, kedua buku yang saya baca hari ini sama-sama memuat nilai sebuah kerjasama (teamwork) dan pencapaian hasil kerjasama dalam ceritanya. Dan keduanya juga diawali dengan sentimen aku-gak-akan-pernah-mau-kerja-sama-kamu-sampai-kapanpun. Amos Lee dengan Michael, dan Grace dengan Sammy. Mungkin mereka pernah sama-sama mendengar slogan kampanye Capres RI 2009 lalu; Bersama Kita Bisa.

Judul       : Namaku, Grace Aja!
Penulis     : Charise Mericle Harper
Penerbit   : Penerbit Atria
Tahun      : 2008
Tebal       : 107 hal.
Genre      : Teenlit


Paninggilan, 24 Januari 2013

Amos Lee Chronicles

Finally, found this book. Just to complete the missing part of the series! Yeaay!!

Sepertinya, buku kedua ini adalah klimaks dari Amos Lee: The Series. Bila buku pertama berperan sebagai pengantar menuju kehidupan Amos Lee dengan segala problematikanya, dan buku ketiga yang lebih merupakan sebagai "prelude to epilogue", maka buku kedua ini lebih manampilkan unsur-unsur filosofis tentang bagaimana meraih kemenangan, memaknai kemenangan, lalu bagaimana bersikap sebagai seorang pemenang.

Buku ini menampilkan beberapa hal yang biasa dalam konteks hubungan persahabatan juga disajikan sebagai permasalahan. Amos Lee merasa cemburu pada Alvin yang mulai dekat dengan Somaly, dan berusaha membujuk Anthony agar melakukan sesuatu untuk memisahkan mereka berdua. Kecemburuan semacam ini menjadi hal yang menarik sepanjang pengalaman membaca. Kiranya, Adeline Foo tidak pernah kehilangan referensi dalam sejarah penciptaan tokohnya.

Buku kedua ini banyak diisi tentang persoalan memotivasi diri sendiri. Beberapa diantaranya adalah pepatah lama. Namun, tidak berarti ketinggalan zaman. Amos Lee telah membuktikannya. Amos Lee mengalami pengalaman turun naik dalam mengatasi masalah yang menerpanya. Persaingan dengan Michael yang sarat dan kental muatan bullying hingga menimbulkan proses demotivasi pada dirinya. And the most important thing is, menarik untuk tahu sebab apa yang membuatnya memutuskan kembali berlatih  dengan tim renang, dan akhirnya menjadi juara pertandingan antar sekolah.

Personally, buku kedua ini melengkapi cerita-cerita yang hilang dalam pembacaan buku pertama dan ketiga. Ibarat jembatan yang menghubungkan dua desa berseberangan. Amos Lee bercerita awal persaingannya dengan Michael  dan Bif, lalu bagaimana kemampuan Amos Lee untuk menulis mulai terasah. Jangan lupa, pada buku ketiga Amos Lee punya media yang terbit rutin untuk memuat beberapa topik penting yang kelihatannya sepele.

Kadang, untuk menjadi dewasa kita harus berkaca pada kelakuan anak-anak seperti Amos Lee dan kawan-kawannya. Beberapa hal kadang tidak berubah. The more things change, the more they stay the same.

Judul       : The Diary of Amos Lee: Renungan di WC, Tentang Pertandingan, Anak Cewek, dan Kemenangan
Penulis     : Adeline Foo
Penerbit   : Penerbit Buah Hati
Tahun      : 2011
Tebal       : 122 hal.
Genre      : Teenlit


Paninggilan, 24 Januari 2013.
_happy wedding day to Alfa & Qori_

Senin, 14 Januari 2013

Sebuah Lorong di Kotaku

Sabar dan lapangkanlah dadamu. Jangan selalu mau cepat marah. Ambillah bumi ini sebagai contoh. Dia kita injak, kita ludahi, kita belah, kita tusuk dan kita lukai dengan berbagai alat. Tetapi dia selalu sabar dan diam, selalu memberi kita makanan lezat dan berguna. (hal.76)

Sebagai pembuka Serial Kenangan, Sebuah Lorong di Kotaku menceritakan masa-masa awal kehidupan seorang Nh. Dini yang terekam kuat dalam memorinya. Dini bercerita dengan gaya bertutur yang jujur. Membuka semua tabir yang menyelimuti dirinya. Segala kenangan masa kecil yang terekam masih jelas dalam benaknya. Kelak, semua cerita yang disajikan dalam buku beliau lainnya, akan menemukan benang merah historis dengan memoar dari serial kenangan ini.


Cerita dimulai sejak Dini menempati rumah yang dipilih ibunya di Semarang. Rumah yang menyimpan banyak cerita itu meninggalkan kenangan yang mengakar kuat pada Dini. Dini kecil tumbuh sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Dini besar di lingkungan keluarga besar yang memegang teguh adat istiadat tradisi Jawa halus. Mungkin itu sebabnya, ada pengaruh dari hal itu pada gaya menulis yang serba teratur.

Permasalahan utama dalam diri Dini mencuat menjelang pertengahan buku ini. Ketika itu, Dini sekeluarga pergi berlibur ke rumah Kakeknya di desa Tegalrejo. Semua kejadian yang berlangsung sejak keberangkatan seluruh anggota keluarga hingga selesainya liburan itu sangat membekas dalam diri Dini. Betapa Kakeknya ternyata menaruh perhatian terhadapnya. Tidak seperti yang Dini bayangkan sebelumnya.

Kehidupan alam pedesaan di desa Tegalrejo menarik perhatian Dini. Barangkali pula itu sebabnya, Nh. Dini menulis serial berikutnya yang berjudul “Langit dan Bumi Sahabat Kami”. Kemudian, Dini mulai masuk sekolah. Bekal pendidikan yang dienyamnya di rumah dari sang Ibu turut dibawanya serta ke sekolah sehingga tak pelak Dini menjelma menjadi anak  yang penurut, penuh dengan tata krama.

Kekuatan ingatan Dini teruji ketika melukiskan kembali suasana perang. Pada saat itu, Jepang mencanangkan Perang Pasifik dengan pengeboman ke Pearl Harbour. Jepang berusaha menaklukkan sebanyak mungkin kekuatan Sekutu yang bercokol di Asia Tenggara. Belanda berusaha sekuat mungkin untuk menahan gempuran Jepang. Namun, pada akhirnya Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati.

Menjelang datangnya serangan yang sudah ramai diramalkan akan terjadi, Dini sekeluarga mengungsi ke kampung sebelah. Sementara, sang Ayah tinggal di rumah mereka guna memastikan keamanan disana. Perang secara besar-besaran tidak (atau belum) terjadi di Semarang. Semua kejadian dimana Dini mendengar desing-desing bom yang jatuh dari pesawat pembom, kemudian dentuman dari tangsi-tangsi polisi Belanda yang dibom Jepang, terekam dalam memori Dini. Hal ini sangat penting untuk mencoba menggali kembali sudut pandang sejarah dari seorang penutur yang mengalami masa perang tersebut.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Sampul buku edisi pertama, 1978

Sebuah Lorong di Kotaku membuka daftar bacaan saya pada tahun 2013 ini. Agaknya, pengalaman dengan karya Nh. Dini sebelumnya membuat saya terangsang untuk kembali menikmatik karya berikutnya. Saya sengaja memilih buku pembuka Serial Kenangan ini untuk mendapatkan imaji tentang sosok Nh. Dini, tentang hal-hal apa saja yang berkecamuk dalam pikirannya sejak awal. Bisa dikatakan, saya sedang mencari bentuk prototipe pertama karya seorang Nh. Dini. Hal ini saya anggap perlu untuk kemudian bisa melanjutkan pembacaan atas karya Nh. Dini lainnya.

Sebuah Lorong di Kotaku adalah buku ketiga dari Nh. Dini yang saya baca setelah "Argenteuil" dan "Namaku Hiroko". Yang paling berkesan sepanjang pengalaman membaca buku ini adalah (lagi-lagi) gaya penulisan Nh. Dini yang mengalir. Segala latar dan kejadian diceritakan dengan detail yang mengagumkan. Tentu, ini merupakan kekuatan tersendiri bagi seorang Nh. Dini. Pengalaman serupa memang masih saya rasakan. Pengalaman tersebut selalu membuat rasa penasaran itu muncul lagi. 

Saya ingin menemukan interkoneksi dari buku-buku Nh. Dini. Baik dari Seri Kenangan maupun seri Novelet. Saya yakin ada hubungan antara keduanya. Bila boleh membuat hipotesis sementara, Seri Kenangan sebagai memoar perjalanan kehidupan Nh. Dini memuat kisah sepanjang episode kehidupan merupakan suatu landasan/kerangka bagi Seri Novelet. Fragmen-fragmen dari Seri Kenangan dimunculkan kembali secara detil melalui Seri Novelet. Jadi, keduanya tampil sebagai suatu esensi yang terpisah tetapi sesungguhnya merupakan satu bagian entitas yang tak terpisahkan.

Judul           : Sebuah Lorong di Kotaku
Penulis        : Nh. Dini
Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama
Tahun          : 2009 (terbit pertama kali tahun 1978)
Tebal           : 108 hal.
Genre          : Novel Memoar – Seri Kenangan Nh. Dini #1

Paninggilan, 9 Januari 2013.
di hari ulang tahun seorang perempuan yang pernah mengisi hati

Jumat, 11 Januari 2013

Markesot Bertutur

Artikel dalam Markesot Bertutur ini hadir rutin seminggu sekali dan dimuat di harian Surabaya Post dari tanggal 26 Februari 1989 hingga 1 Januari 1992. Markesot Bertutur menangkap fenomena kehidupan sosial kemasyarakatan yang terjadi saat itu. Misal saja, pembangunan waduk, hingga persoalan sosial lainnya seperti SDSB dan korupsi yang selalu jadi lagu lama. Markesot tidak hanya bertutur soal urusan dalam negeri saja. Urusan konstelasi politik di luar negeri turut menjadi sorotannya. Pembaca bisa ‘menikmati’ celoteh Markesot seputar persoalan Perang Teluk, George Bush, Saddam Hussein, hingga hubungan antara Kuwait dengan Irak. Dibagi ke dalam delapan bab, tuturan Markesot ini disusun sesuai konteks tertentu sejalan dengan bahan perbincangan yang menyorot berbagai problematika bangsa yang belum terpecahkan.



Dalam buku ini dapat dijumpai beberapa judul aneh, maksudnya diluar kelaziman. Namun justru itulah yang kemudian menjadi ciri khas guyonan ala Markesot serta memperkuat karakter Markesot, seperti:
- Man Rabbuka: Mercy, Rabbi (tulisan ini mengingatkan saya pada cerpen ‘Man Rabbuka’ karya AA Navis)
- Pangeran Samber Proyek
- Korupsi Struktural
- Undang-Undang Tidak Sama dengan Firman Tuhan
- Ilmu Tangan Kosong, Ilmu Kantong Bolong
- Diana yang Priayi, Charles yang Njawani

Markesot tidak selalu membahas hal-hal yang ‘berat’ saja. Sebagai lelaki ia juga tidak jarang membahas hal-hal yang berhubungan dengan sifat laki-laki. Seperti dicontohkan dalam potongan berikut:
“Makin malam biasanya mereka makin cantik. Terutama pada jam-jam mereka akan pulang, wah, cantiknya bukan main. Pokoknya ketika perempuan akan pergi dari kita, jadi cantik. Juga cantik tidaknya wanita itu tergantung situasi batin kita. Kalau pas gairah berumah tangga menggebu-gebu, memancar kecantikan kaum wanita. Apalagi pas punya uang lebihan yang kira-kira bisa untuk nonton, rasanya mereka cantik-cantik bukan main. Tapi anehnya, kalau sudah beberapa kali diajak nonton, cantiknya berkurang. Kalau sudah lama tidak diajak, kok cantik lagi...” (hal. 80)

Pada lain waktu, ketika sedang sangat serius merenungi sesuatu yang diluar jangkauan kemampuannya, Markesot pun piawai dalam menempatkan filsafat mbambung yang melingkupinya.
"Orang berhak hidup dengan pandangannya sendiri sepanjang dia sanggup menjaga jarak, tenggang rasa, dan toleran terhadap pandangan lain di sekitarnya. Kamu boleh beranggapan bahwa hidup ini tidak ada manfaatnya sehingga mati itu lebih baik. Akan tetapi, kamu mulai bersalah jika pendapatmu itu kamu paksakan umpamanya dengan cara membunuhi orang lain". (Hal. 94)

Markesot pun mampu mendeteksi dan membuat sebuah sintesis atas permasalahan korupsi yang tidak pernah selesai hingga saat ini ia dilahirkan kembali.
"Jadi ada tiga macam pendorong korupsi: keterpaksaan, hukum korupsi struktural, serta hedonisme, yakni keinginan untuk bermewah-mewah. Di Indonesia ini, ada ketimpangan yang sangat njomplang antara perolehan ekonomi normal dan iming-iming hidup mewah." (Hal. 162)


Menemukan kembali nilai-nilai kehidupan melalui sekumpulan tulisan tidak jarang kembali mengasah rasa. Mengasah kepekaan jiwa untuk istiroh sejenak, menata hati dan kembali menjiwai makna-makna illahiyah dalam setiap hikmah. Begitulah, Markesot Bertutur hadir kembali dalam wujud tata rupa yang baru ini.

Markesot Bertutur kaya akan nilai-nilai kehidupan sosial kemasyarakatan. Nilai-nilai itu adalah fondasi yang kuat bagi siapa saja yang mau memaknainya sebagai suatu ikhtiar menuju kesalehan sosial. Relevansi konteksnya dengan keadaan saat ini juga lantas menjadikan The Tale of Markesot ini panduan untuk kita dalam menata kembali konstruksi kehidupan sosial kemasyarakatan kita.

Walau tanpa disertai keterangan waktu dari setiap artikelnya, dengan delapan bab yang disajikan, Markesot Bertutur tetap menunjukkan relevansinya dengan konteks keadaan kekinian. Memang disayangkan, karena dengan keterangan waktu tersebut pembaca dapat lebih mudah menyesuaikan frame of reference dan field of experience mereka dengan konteks waktu saat artikel itu ditulis sehingga lebih mudah untuk melakukan pemaknaan kontekstual terhadap artikel-artikel Emha. Namun, hal itu tidak lantas menjadi cacat Markesot Bertutur. Penyusunan artikel dalam delapan bab dan korelasinya dengan subjek tertentu yang tertata dengan sistematis tetap menjamin kontekstualitas antar teks.

Suasana Diskusi Markesotan. Image courtesy: www.caknun.com
 
Emha Ainun Nadjib dalam diskusi Markesotan. Image courtesy: www.caknun.com

Penerbitan kembali Markesot Bertutur ini disambut dengan diskusi Markesotan yang digelar di Pendopo Kadipiro Yogyakarta pada 5 November 2012. Diskusi ini menampilkan Emha Ainun Nadjib sebagai penulis buku, Kuskridho Ambardi (Dosen Fisipol UGM) dan Andityas Prabantoro (Chief Editor Penerbit Mizan) dan diskusi dipandu oleh Toto Rahardjo (Progress).

Hadirnya Markesot Bertutur pada tahun 2012 ini untuk menyapa kembali para pembaca, karena obrolan Markesot dan kawan-kawan Konsorsium Para Mbambung (KPMb) ternyata tetap memiliki relevansi dengan berbagai peristiwa kekinian di negeri ini.

Judul        : Markesot Bertutur
Penulis        : Emha Ainun Nadjib
Penerbit    : Penerbit Mizan
Tahun        : 2012
Tebal        : 471 hal.
Genre        : Sosial-Politik-Budaya


Pharmindo, 29 Desember 2012.

Rabu, 09 Januari 2013

Anak Tanah Air: Sebuah Kronik Kebudayaan

“Karena itu, lebih baik jangan ikut-ikutan politik. Yang penting bagi seniman....”
“Mencipta!”


Tidak banyak roman yang berlatar sejarah perjalanan bangsa. Apalagi sampai harus menceritakan segala persoalan yang menyangkut kesenian. Perkembangan kesenian di Indonesia mengalami pasang surut pada masa-masa awal kemerdekaan. Pergolakan ideologis antara kaum nasionalis, agamis, dan komunis menjadikan kesenian sebagai peluru bagi perjuangan ideologis mereka.

Pergulatan antar wacana kesenian dari masing-masing golongan menyebabkan para seniman yang berkecimpung di dalamnya harus menentukan sikap. Sebuah pilihan atas keberpihakan pada tujuan kesenian itu sendiri. Tak pelak, kenyataan tersebut menjadi duduk persoalan yang menarik untuk dibahas.


Roman ini dengan jenius mengangkat problematika kesenian di masa itu. Lukisan sebagai objek dari kesenian yang menginduk pada seni lukis telah lebih dulu mendapat tempat bila dibandingkan dengan khazanah seni lainnya di negeri kita.

Tersebutlah, Ardi, seorang anak muda yang rela meninggalkan kampungnya untuk menempuh kehidupan barunya di kota bersama pamannya. Di kota itu, Ardi tumbuh sebagai pemuda yang mencintai seni terutama seni lukis. Dengan bakatnya itu, tidak terlalu sulit bagi kawan-kawan di sekelilingnya untuk menemukan mutiara yang terpendam. Kelak, Ardi pun mendapati jalannya sendiri untuk menjadi seorang pelukis.

Kehidupan sekolah yang dijalaninya tidak menghalangi upayanya. Bersama komunitas pelukis, Ardi mengembangkan bakatnya. Tahun demi tahun berlalu. Ardi telah mengalami metamorfosa. Impian untuk sekolah lebih tinggi ditinggalkannya. Ia hanya mau melukis dan jadi pelukis saja. Sebuah pilihan yang sampai saat ini masih dipandang sebelah mata.

Tekad kuatnya itu lantas menjadikannya seorang ilustrator handal. Walau begitu, Ardi tetap ingin mendapat pengakuan dan apresiasi terhadap dirinya sebagai pelukis. Lika-liku perjalanan hidup mengantarkan dirinya pada Hermin. Seorang gadis penikmat seni yang tahu betul menghargai sebuah karya seni lukis. Setelah mengenal beberapa lama, mereka menjalin suatu hubungan tanpa status (mengikuti istilah keren ABG saat ini). Pergumulan cinta dan perasaanya dengan Hermin tidak berlangsung lama. Hermin lantas mencampakkan Ardi karena ia sendiri telah terikat pada pria yang lain. Seseorang dari masa lalu yang tumbuh bersama Ardi, Asep Suwangsa.

Dalam kegamangannya, Ardi mulai surut langkah. Terlebih, usai menerima tawaran Suryo untuk bersama-sama menandatangani persetujuan atas Konsepsi Presiden. Ardi mulai berpolitik tanpa ia sadari. Keadaan ini menyebabkan berbagai kesulitan datang bertubi-tubi menghampirinya. Ardi masih tidak sadar bahwa sebagian kawannya menganggap ia bergabung dengan sayap organisasi partai politik yang saat itu didominasi partai komunis. Ardi kehilangan peluang untuk menyelenggarakan pameran tunggal karena sikap politiknya itu. Lantas, Ardi pun kehilangan pekerjaannya. Tidak ada lagi majalah, tabloid, atau penerbit buku yang meminta ilustrasinya.

Ketika harapan hampir padam, Suryo datang kembali padanya. Menawarinya untuk tetap mengadakan pameran tunggal sekaligus memberi pekerjaan pada suatu majalah bulanan.
Perhelatan pameran tunggal Ardi pun sukses. Pameran tunggalnya banyak mendapat apresiasi dari para seniman penggiat Lekra. Ardi merasa telah mendapat apresiasi yang sepantasnya. Ideologi kesenian yang harus berpihak pada rakyat telah menjadi ciri karya-karya lukisannya.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Tidaklah salah apabila karya Ajip Rosidi ini disebut sebuah roman. Anak Tanah Air dengan jelas menggambarkan detail-detail penceritaan Ajip Rosidi terhadap suatu fenomena tertentu. Masalah utama dari roman ini sudah jelas dapat ditemukan pada paragraf ini:
“Tetapi, apakah seniman harus tetap tak ambil peduli kepada keadaan tanah airnya? Keadaan bangsanya? Apakah seniman harus merasa cukup asal dia dapat mencipta dan mendapat tepuk tangan dari pengagumnya, padahal tanah airnya sendiri menuju jurang kehancuran?” (hal. 285)

Inilah yang menjadikan roman ini istimewa. Setidaknya, sampai menjelang setengah buku, belum nampak persoalan utama. Pembaca digiring untuk menerka-nerka apa yang menjadi subjek utama cerita dalam roman ini. Pengalaman pembaca akan diuji hingga tiga per empat buku terlampaui. Hingga menemukan berbagai persoalan tentang kesenian di masa revolusi pasca kemerdekaan.

Persoalan kebudayaan pada masa revolusi pasca kemerdekaan atau dengan kata lain pada saat Demokrasi Terpimpin mengerucut pada pertikaian dua kelompok besar: Manifes Kebudayaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Mengacu pada MLBL, telah terjadi pembakaran dan pelarangan atas karya-karya seniman Manikebu dan juga penahanan terhadap mereka.

Kesenian pada saat itu hanya menjadi satu peluru bagi perjuangan ideologis belaka. Kesenian menjadi satu alat bagi Presiden Sukarno untuk tetap memantapkan kekuasaannya. Untuk itu, ia tentu membutuhkan segenap dukungan tak terkecuali dari kaum kiri/komunis. Termasuk para seniman yang sepaham dengan jalan perjuangannya yang dituangkan dalam Konsepsi Presiden. Keadaan ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan masyarakat yang menuntut Presiden untuk segera membenahi hal-hal mendasar soal kehidupan berbangsa

Relevansi sejarah pun mengatakan demikian. Sukarno yang dengan istilah-istilah besarnya malah tidak berhasil membuat satu kemajuan apapun. Tidak ada kemajuan dalam semua bidang kehidupan.   Laju inflasi tidak tertahankan sehingga rakyat pun sangat sulit untuk makan menyebabkan pergolakan-pergolakan paada semua bidang kehidupan. Mengenai hal ini agaknya pembaca yang budiman dapat membuka kembali memoar Mohammad Hatta yang terkumpul dalam buku “Demokrasi Kita”.

Karena saya terlebih dahulu menamatkan Kubah (Ahmad Tohari) dan Mochtar Lubis Bicara Lurus (Ramadhan KH-ed), saya menemukan suatu benang merah atas segala peristiwa yang terjadi saat itu. Bila Kubah membahas persoalan seorang tahanan politik yang ingin kembali ke tengah masyarakat usai komunis dimusnahkan dari bumi pertiwi maka relevansinya dengan MLBL dan roman ini menjadi satu substansi yang saling melengkapi. Latar belakang waktu dalam Kubah dan realitas yang disampaikan Mochtar Lubis dalam bukunya dapat menjadi narasi pendukung bagi roman Anak Tanah Air ini. Bahwa pada suatu tertentu dalam perjalanan sejarah bangsa kita telah terjadi hal yang demikian. Dan itu adalah persoalan kesenian.

Melalui roman ini, Ajip Rosidi mencoba mengungkapkan kembali segala peristiwa penting yang terjadi pada masa Revolusi Kemerdekaan. Ajip Rosidi mengangkat kembali persoalan kehidupan seniman-utamanya pelukis- serta hubungannya dengan situasi dan kondisi politik di Indonesia pada tahun-tahun itu. Ajip Rosidi meninggalkan penanda bagi kita, generasi penerus bangsa, untuk tetap membaca dan mengkaji sejarah republik demi masa depan kesatuan dan keutuhan bangsa.

Judul        : Anak Tanah Air
Penulis        : Ajip Rosidi
Penerbit    : Pustaka Jaya
Tahun        : 2008 (cet. 2)
Tebal        : 374 hal.
Genre        : Roman
Pharmindo, 24 Desember 2012.