Senin, 31 Agustus 2015

Di Kaki Bukit Cibalak




Saya termasuk pembaca yang bersyukur dengan terbitnya edisi cetak ulang dari karya-karya Ahmad Tohari. Sebut saja, Kubah, Senyum Karyamin, Mata Yang Enak Dipandang, hingga Di Kaki Bukit Cibalak. Saya tidak lagi perlu bertanya-tanya kapan bisa membaca karya beliau yang dulu hanya bisa ditemui dalam bibliografi. Judul lainnya, saya rasa tinggal hanya menunggu waktu saja untuk diterbitkan kembali. Republished atau reprinted. 

Secara umum, Ahmad Tohari masih meninggalkan signature individunya yang khas dan detail mengenai latar belakang cerita dalam konteks kehidupan di pedesaan yang sederhana. Latar yang digunakan untuk bukunya ini kurang lebih sama dengan suasana alam yang kental dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-Jantera Bianglala-Lintang Kemukus Dini Hari. Novel ini terhitung novel singkat. Tentu bagi pembaca yang sudah mafhum dengan novel lain karya beliau. 

Berlatar pada tahun 1970-an dimana pembangunan yang digaungkan Orde Baru terasa hingga ke desa Tanggir. Desa yang begitu damai hingga akhirnya penuh kemelut akibat pemilihan kepala desa yang tidak jujur. Imbasnya, desa Tanggir menjadi sorotan setelah seorang warganya yang tidak mampu berobat mendapat simpati begitu besar usai kemunculan beritanya di sebuah harian lokal yang terbit di Yogyakarta. 

Adalah Pambudi, putra desa Tanggir yang tersingkir usai berselisih dengan Kepala Desa yang berhasil mengantar Mbok Ralem menuju kesembuhan penyakitnya. Usahanya di kota besar itu kemudian malah menjadi pukulan baginya karena sang Kepala Desa tidak senang dengan teguran dari Pak Camat, yang juga mendapat teguran dari atasannya, Pak Bupati.

Sekembalinya dari urusan dengan Mbok Ralem, Pambudi juga menemui dirinya dalam ancaman fitnah yang dilancarkan mantan koleganya di Koperasi Desa, Poyo. Ia membuat pencatatan laporan keuangan palsu yang membebankan hilangnya kas Koperasi atas nama Pambudi. 

Pambudi merasa tidak ada lagi gunanya untuk melalukan 'perlawanan' di desanya sendiri. Ia dengan berat hati meninggalkan desanya dan pergi ke Yogyakarta. Sebuah keputusan yang tidak mudah karena harus meninggalkan tambatan hatinya, Sanis. 

Petualangannya di Yogyakarta membawa Pambudi pada petualangan baru dalam hidupnya. Ia sudah bertekad untuk ikut ujian masuk kuliah. Ia juga sempat bekerja pada seorang pedagang arloji dan akhirnya berlabuh kembali ke harian 'Kalawarta'. 

Keberhasilannya di Yogya bukan tanpa tragedi. Pambudi harus merelakan Sanis diperistri oleh sang Kepala Desa yang culas dan bajul itu. Kendati begitu, Pambudi lagi-lagi harus mengalami pergulatan batin yang juga tidak mudah kala berhadapan dengan Mulyani, anak pemilik toko arloji majikannya dulu. 

Ahmad Tohari menyajikan sebuah cerita ringan yang sarat konflik tanpa meninggalkan ciri khasnya: alam pedesaan, tokoh anti-hero, dan kesewenangan penguasa. Sekilas, rasanya seperti membaca 'Orang-Orang Proyek' namun dengan jalan cerita yang lebih pendek. Novel ini seakan ingin bercerita bahwa sekecil apapun pengorbanan akan mendapatkan hasil walaupun menuntut pengorbanan lainnya.


Judul        : Di Kaki Bukit Cibalak
Penulis     : Ahmad Tohari
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tebal        : 192 hal.
Tahun       : 2014
Genre       : Fiksi-Nove

Dharmawangsa, 28 Juni 2015

Sabtu, 22 Agustus 2015

Rahvayana 2: Ada Yang Tiada

Sebaiknya dunia yang tak ada harus tetap kita adakan. Kalau perlu, kita ada-adakan. Caranya, yang tidak ada itu harus kita ada-adakan manfaatnya.



Kisah lanjutan dari Rahvayana edisi perdana, Aku Lala Padamu ini masih bercerita soal si ‘Aku’ yang tak henti-hentinya mengagumi Sinta. Sejak pertemuan pertama pada gerimis di Borobudur hingga Rahvayana akhirnya benar-benar melanglang buana tampil di gedung pertunjukan legendaris dunia. ‘Aku’ masih menulis surat-suratnya pada Sinta walau kadang Sinta tak lantas langsung membalasnya.

Saya tidak perlu menjelaskan lagi soal pembebasan pakem Rama-Sinta dari cerita Ramayana yang sudah terlanjur beredar dan kita semua maklum dibuatnya. Rama mengumpulkan pasukannya untuk merebut kembali Dewi Sinta. Pada “Rahvayana 2”, permainan sang Resi Sujiwo Tejo semakin mendetail untuk mengungkapkan apa saja yang terjadi diantara Rama-Sinta. Ia berhasil membuat kedua tokoh itu menampakkan sisi hitam-putihnya.

Pengalaman bersama ”Rahvayana 2” ini benar-benar menjadi suatu perjalanan yang menyenangkan. Menyenangkan karena akhirnya saya dapat gambaran mengenai sosok seorang Indrajit bila memang benar ada dalam kehidupan nyata. Sang pemilik Aji Sirep yang lebih sakti dari milik Wibisana ini menemani si ‘Aku’ sejak dari dalam kereta dari Guangzhou, lalu ke Tembok China dimana si ‘Aku’ mendalang untuk lakon Rahwana dan Sinta diiringi  repertoar yang sakral dan kuno, Gending Ayak-Ayak Slendo Manyuro.

Sinta Gugat

Seluruh perjalanan dan petualangan dalam “Rahvayana 2”; Guangzhou, Tembok Cina, Bali, Siberia, Anna Karenina, Himalaya, dst. Pada ujungnya memang hanya soal Rahwana, Sinta, dan Rama. Menjelang akhir cerita, mulai halaman 233 hingga 234, usai Rama berhasil menemui Sinta setelah dibuat tidak berdaya oleh Lawa dan Kusa, dua anak kembarnya yang ikut Sinta mengasingkan diri ke hutan Dandaka, Sinta ‘menggugat’ eksistensi Rama dalam seluruh lakon Rama-Sinta ini.

“Katanya, Rama hanyalah buih. Ia bergerak atas kehendak samudra Siwa. Kenapa cinta Tuhan kepadaku melalui Rama begitu naif? Masih ia syak wasangkai kesucianku setelah 12 tahun hidup bersama Rahwana di Alengka?”

Sinta masih melanjutkan gugatannya.

“Apakah cinta tak ubahnya dengan pengadilan, yang setiap pihak harus membuktikan segalanya?”

Gugatan Sinta menarik simpati para siluman di Dandaka. Bahkan ada yang mulai menangis.

“Rama, sebetulnya kau mencintaiku atau mencintai dirimu sendiri sehingga kau begitu hirau dengan gosip rakyatmu bahwa aku sudah tak suci lagi setelah hidup bersama Rahwana”

Gugatan Sinta pun berakhir.

“Perang Alengka-Kosala kau canangkan bukan demi cintamu kepadaku, Rama, melainkan demi ketersinggungganmu sebagai seorang lelaki dan seorang kesatria!”

Lagi-lagi, saya harus mempertanyakan Rama. Mengapa Dewi Sinta yang dicurigai sudah tidak suci lagi? Apakah karena dominasi maskulinitas terhadap feminitas Sinta? Lantas, mengapa Rama sendiri menangis di balik bukit kala Hanuman membawakan kalung titipan Sinta  untuk dipakai olehnya sekaligus untuk membuktikan kesetiaannya? Dalam hal ini, memang cinta Rama kepada Sinta perlu dipertanyakan. Bila perlu, diadakan lagi penelitian lebih jauh mengenai hal ini. Apakah sebegitu bersyaratnya cinta Sri Rama terhadap Dewi Sinta.

Barangkali memang Rahwana yang tetap bisa mencintai Sinta, apapun keadaannya. Rahwana memang menyembah dan memuji titisan Dewi Widowati itu dengan caranya sendiri. Rahwana menyembah Zat yang ada itu melalui segenap tirakatnya. Rahwana tetap menjunjung dan mencintai Sinta, walau Sinta berubah menjadi Janaki dan Waidehi.

Hanya Sekedar Komentar

Muatan lain yang jadi titik berat lanjutan ‘Aku Lala Padamu’ ini adalah satu soal filosofis tentang ada dan tiada. Pembaca bisa menilai sendiri persoalan filosofis yang rupanya sempat hinggap di kepala sang Resi Sujiwo Tejo. Soal cover buku, saya rasa ‘Aku Lala Padamu’ memang cenderung ‘lebih serius’ dalam menggarap hubungan antara cover dengan jalan cerita.

“Ada Yang Tiada” punya cover yang cenderung lebih ngepop dan santai. Tiga orang gadis naik mobil sedan kap terbuka. Mungkin, mereka naik sedan Mercy Tiger tahun 70-an dan melintasi jalanan Melawai hingga pinggiran pantai California sana. Entah mengapa, saya membayangkan perempuan-perempuan itu adalah Gwen Stefani, Mariana Renata, dan Katy Perry, sang pelantun ‘California Girls’. Entah. Entah mengapa. Seperti ada yang tiada.


Judul        : Rahvayana2: Ada Yang Tiada
Penulis     : Sujiwo Tejo
Penerbit   : Penerbit Bentang
Tebal        : 304 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Fiksi-Novel Sejarah


Medan Merdeka Barat, 18 Juni 2015
hari pertama shaum 1436H, ditemani Tragedy dari Bee Gees