Selasa, 28 Juli 2015

Gelandangan di Kampung Sendiri

"Orang lebih takut kepada ketakutan dibanding kepada Tuhan." 
Hal. 233


Dinamika sosial berlangsung dari waktu ke waktu. Sejak negeri ini mulai berdialektika dengan kemerdekaannya sendiri. Melalui buku ini, agaknya Emha masih melontarkan kritik sosialnya pada berbagai persoalan pembangunan. Buku ini menghimpun catatan-catatan Emha yang terbit pada rentang tahun 1991-1994 di berbagai media cetak seperti Suara Pembaruan, Suara Karya, dan Surya serta beberapa dokumentasi pribadinya. 

Dilema pembangunan yang membawa arus modernitas tidak bisa tidak berhadapan dengan arus kehidupan masyarakat yang masih agraristik. Hal itu masih dapat dirasakan pada konteks kekinian, dimana tidak banyak perubahan yang terjadi sejak buku ini terbit pertama kali pada tahun 1995 hingga kini. Kalaupun boleh menambahi, arus modernisasi dan globalisasi saja yang semakin membawa pengaruh.

Bagian pertama dan kedua buku dinamakan sebagai "Pengaduan I" dan "Pengaduan II". Emha mengumpulkan berbagai pengalaman dan keluh-kesah orang-orang yang mendatanginya. Kemungkinan besar, kalau dilihat dari bahasa penyampaiannya, berasal dari rubrik yang diasuhnya  di harian Surya. 

Esai-esainya memberi banyak pencerahan sekaligus refleksi tentang nilai dan hubungan kemanusiaan yang kian pudar. Riuh pembangunan telah mengikis kesadaran manusiawi menjadi kepatuhan yang berdasar pada ketakutan. Personally, buku ini juga membuat saya teringat pada kalimat pembuka lirik lagu "Tombo Ati" gubahan Emha dan Kiai Kanjeng. 

Dua bab selanjutnya diberi judul "Ekspresi" dan "Visi". Pada bagian inilah Emha menyatakan ketidaksetujuannya pada tatanan birokratik yang terus menerus mewajibkan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan. Benturan-benturan dalam masyarakat yang sengaja diciptakan dan dikondisikan dalam menyambut Pemilu 1992 hanyalah contoh kecil. 

Emha juga menyertakan contoh bagaimana mahasiswa KKN yang datang dari kota dengan segala keilmuan dan arus modern yang dibawanya berhadapan dengan masyarakat pedesaan yang diwakili Pak Mataki, Bu Limah, dan Pak Dayik. Dialektika antara keduanya menjadi hal yang patut direnungkan bersama.

Apakah semua kemajuan pembangunan ini lantas membuat kita jadi gelandangan di kampung sendiri? 


Judul        : Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-Orang Pinggiran
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit   : Penerbit Bentang
Tebal        : 292 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Sosial-Budaya


Dharmawangsa, 31 Mei 2015. 

Senin, 27 Juli 2015

Slilit Sang Kiai

Courtesy: www.caknun.com

Saya agak keheranan waktu pertama kali menjumpai buku Emha dengan judul seperti ini. Tadinya, saya pikir slilit milik Sang Kiai ini punya kesaktian atau makrifat. Entah digunakan untuk apa. Barulah saya pahami kemudian ketika benar-benar membaca tulisan yang diangkat jadi judul seluruh buku ini. Ternyata, gara-gara slilit seorang Kiai batal masuk surga.

Begini ceritanya. Seorang Kiai telah makan daging di sebuah kenduri, waktu itu ia sibuk meladeni orang yang ingin bersalaman dengan dirinya, ia tak sempat untuk menyingkirkan slilit daging di giginya. Dalam perjalanan pulang ke rumah, Pak Kiai mengambil seujung potongan bambu dari pagar tetangganya untuk membuang slilit daging di gigi Pak Kiai, layaknya tusuk gigi.

Kemudian, Pak Kiai meninggal dunia. Lalu ada seorang santri yang mimpi bertemu dengan Pak Kiai yang tertahan di pintu surga. Dalam mimpinya Pak Kiai berkata, "Dosa-dosaku telah Allah ampuni kecuali satu. Aku tidak sempat meminta izin pemilik rumah untuk mengambil sedikit dari bambunya untuk kujadikan tusuk gigi. itu membuatku sangat repot di alam kubur."

Tulisan ini punya muatan pesan yang amat dalam. Betapa slilit yang remeh itu telah merepotkan seorang Kiai yang selalu dipersepsikan mudah menggapai surga. Betapa hal kecil yang amat remeh pun ternyata dapat menghalangi kita dari jalan kebaikan bila diperolah dengan cara yang tidak benar dan tidak disukai Allah SWT. Bayangkan saja bagaimana runyamnya para koruptor dan para maling duit rakyat ketika menghadapi hari penghisaban.

Dari kisah tersebut, kemudian Emha menjelaskan perkara-perkara lainnya semacam itu yang tidak saja melulu habluminallah tetapi juga habluminannas. Tulisan Emha muncul dengan cermat dan cerdas dalam menganalisa etika sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

"Slilit Sang Kiai" hadir kembali dalam wujud cetak ulang setelah lahir pertama kali pada tahun 1991. Buku ini tetap memiliki nilai relevansi yang tinggi dengan kondisi saat ini. Bagaimanapun adanya, kehidupan ini tidak bersifat parsial-statis tetapi kontekstual dinamis. Walaupun sudah tidak lagi aktual, namun nilai kontekstualnya tetap terjaga.

Pharmindo-Medan Merdeka Barat, 29 Mei 2015.