"Ada bagian masa lalumu yang belum selesai..."
"Bagian mana?"
"Tanya dirimu, hatimu lebih tahu..."
"Apa perlunya? Apa itu masalah untukmu?"
"Kadang-kadang itu jadi masalah buatku. Lagipula kamu tak peduli."
"Kamu cemburu...?"
"............"
Percakapan terakhir pada suatu senja penghabisan itu membuatku teringat lagi padanya. Aku masih mengingkari kenyataan bahwa memang ada bagian masa laluku yang belum selesai. Bagai noktah kecil dalam tirai hati. Aku tidak mau mengakui kalau aku masih belum bisa melepasakan semua ingatan tentang perempuan yang menangis ketika kutinggalkan sore itu. Dan kini, perempuan lain hadir dalam hidupku hanya untuk sekedar mengingatkan perihal masa lalu itu.
Aku yakin ia tidak sedang merasa seperti Inez yang batal menikah dengan Francis Lim, hanya gara-gara Francis masih punya masa lalu yang belum selesai dengan Retno.** Ah, sudahlah. Hidup ini tidak seperti novel walau kadang diperlukan waktu yang panjang untuk menyudahinya dan kejutan-kejutan hebat sebagai bumbu cerita.
"Kadang tidak perlu benar-benar jahat untuk jadi penjahat..."
"Kata siapa? Apa itu sindiran buatku?"
"Ya, jika kau merasa..."
"Lantas?"
"Tidak perlu memaksa melupakan bila memang tak sanggup"
"Kamu cemburu?"
"........."
Lagi-lagi hanya diam. Perempuan yang ada dihadapanku itu membuang mukanya. Tidak lagi menghiraukan aku yang dengan gantengnya melirik wanita di meja sebelah.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Lagu itu. Lelah, lelah hati ini... Menggapai hatimu tak juga menyatu...*** Beberapa hari terakhir ini sepertinya tidak ada lagu lain buat dirinya. Entah, aku tidak peduli mengapa sebabnya yang jelas kini matanya tidak mau lagi menatapku.
Aku rasa berkomitmen itu mudah dan bukan sesuatu yang 'sakral'. Dalam komitmen yang dibutuhkan hanya kesungguhan untuk menjalani hidup bersama tanpa harus melupakan diri masing-masing. Toh, kita masih bisa tetap jadi diri sendiri. Tetapi, apakah meninggalkan segala ingatan tentang masa lalu adalah bagian dari komitmen itu juga?
Semua orang punya rahasia masing-masing. Aku dan dia sama saja. Kita sama-sama pernah punya lubang di hati. Aku rasa kita berdua telah sama dewasa. Bicara dengan logika walau perempuan itu cenderung melibatkan emosinya.
"Sudah berapa lama kamu berhenti menemuinya?"
"Sejak aku mengenalmu"
"Gombal"
Aku memang pernah menginginkannya. Aku memang selalu rindu padanya. Pada tatap hangat dan senyuman yang merekah indah setiap pagi. Pada semua momen bersama yang terlalu indah dilepaskan. Sampai akhirnya, aku pula yang menghentikan perasaan itu. Aku memang meninggalkan luka padanya, itu memang salahku. Lagipula, aku tidak akan memaafkan diriku bila aku sampai hati memainkan perasaannya. Aku sedang tidak ingin serius apalagi sampai harus memegang komitmen. Untuk apa? Dengan diriku saja aku masih belum bisa berkomitmen apalagi dengan dia. Sudahlah, aku pergi.
"Kamu masih ingat perjumpaan kita?"
"Masih, bagaimana bisa aku lupa?"
"Apakah itu suatu penyangkalan?"
"Tentu tidak. Kamu tentu tahu betapa hebatnya ingatanku."
"Apa itu sebabnya kamu masih belum bisa lepas darinya?"
"Apakah kamu minta penjelasan?"
"Things happens for a reason..."
"Not everything in common..."
"Ah, tentu kamu masih ada rasa..."
"Itu untukmu..."
"Is that a compliment?"
"Akuilah, kamu cemburu?"
Perempuan itu terdiam lagi. Senyum tipisnya merekah seakan penuh kemenangan. Perlahan ia hirup aroma kopi Aceh pesanannya. Betapa sederhananya menemukan kebahagiaan dalam hidup ini walau hanya dalam aroma kopi.
"Kadang terlintas untuk cemburu, tapi buat apa? Toh aku tahu kamu tidak akan kembali pada masa lalumu."
"Mengapa kamu begitu yakin? Aku bisa saja melakukannya."
"Aku percaya kamu takkan bisa melakukannya"
"Mengapa tidak?"
"Aku ini bukan apa-apa sehingga seandainya kehilangan dirimu pun aku rela, tak ada yang abadi walau memang kadang terlalu sulit menerima kenyataan..."
Kalimat terakhirnya cukup membuatku merasa bersalah. Aku tidak pernah meragukan dirinya. Sudah terlalu banyak 'pertengkaran' semacam ini. Suatu proses atas nama pendewasaan. Kami pun cukup sadar untuk melewati gerimis berkerikil tajam ini. Bukan suatu alasan untuk menyerah dan berpisah.
Dalam keremangan senja gerimis benar-benar menutup hari. Lampu temaram jalanan mulai menghiasi sudut kota. Para pekerja kantoran mulai berhamburan, sebagian menutupi kepala sebisa mereka. Pertanda episode kehidupan dimulai kembali.
"Memang sulit untuk menutup masa lalu, apalagi tentang dia.."
"Maksud kamu?"
"Selesai tidak selesai itu hanya dipikiranmu saja. Aku tidak tahu apa-apa."
"Apakah itu mengubah sesuatu?"
"Mungkin saja!"
"Apa itu?"
"Mungkin tidak ada bedanya. You do well and i'll live mine."
Ingatanku kembali pada Inez, yang mungkin punya sejuta tanya tentang mengapa Francis meninggalkannya hanya demi sebuah masa lalu yang tertinggal dan belum selesai. Bukanlah masa lalu itu adalah akhir dan kita hanya diperbolehkan untuk menengok sebentar. Bukan lantas tinggal kembali dan menjalaninya sementara melupakan hari ini.
Aku tersadar ketika perempuan itu memelukku erat dalam guyuran gerimis. Aroma perpisahan mulai mewangi. Aku harap bukan, mungkin itu sisa parfumnya. Perempuan itu bergegas mengejar taksi. Dalam hitungan detik, perempuan itu menuju belantara kemacetan. Macet di Jakarta adalah bagai dosa yang takkan berakhir. Kulangkahkan kaki, sambil bergumam dalam hati: i'm all alone, and life is very long.
Ponselku berbunyi. Yup. Malam ini aku ada kencan dengan Cinta. Yeah!
Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 13 Juni 2011.
* dari lirik lagu "Remember My Sweet Moments", soundtrack iklan Tropicana Slim
** baca novel"Travelers Tale", Adhitya Mulya dkk, Gagasmedia, 2007
*** dari lirik lagu "Lelah" dinyanyikan oleh Rafika Duri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar