Perjalanan, kemana pun tujuannya,
adalah perjalanan menuju diri sendiri. Pencarian makna diri dalam ruang
dan waktu yang tak pernah sama. Mencari arti dibalik hakikat penciptaan
dan segala hal yang menafsirkan ayat-ayat Tuhan. Perjalanan spiritual
yang membutuhkan lebih dari sekedar kesadaran untuk jujur terhadap diri
sendiri. Perjalanan menuju titik dasar dalam jiwa. Berbalut pada harap
dan ridho Yang Maha Kuasa.
Perjalanan
haji sebagai tingkatan ibadah tertinggi di Rukun Islam bagi sebagian
orang hanyalah mimpi belaka. Ongkos Naik Haji yang cenderung naik setiap
tahun belum lagi ditambah kondisi inflasi adalah satu tantangan. Belum
lagi, situasi sosio-religius masyarakat kita yang cenderung menganggap
berhaji adalah suatu kewajiban bagi mereka yang mampu secara materi.
Padahal, bila dikaji lebih dalam, kata ‘mampu’ ini ditafsirkan sebagai penegasan bahwa ‘mampu’ bukan lagi bermakna harfiah sekedar bisa mencukupi dalam hal materi saja. Kata ‘mampu’ disini berarti mampu secara jiwa dan ragawi, secara maknawi, untuk mengelola hati dan perasaan terutama dalam kesiapan memenuhi panggilan Allah SWT.
Berhaji adalah persimpangan antara ikhtiar, tawakkal, dan harapan. Segala makna peribadahan terkulminasi dalam ibadah haji. Keberserahan diri kepada Yang Maha Kuasa diuji di Tanah Para Nabi, Tanah Haram. Melalui berbagai kejadian yang tidak disengaja, akhirnya Allah SWT telah berkenan memanggil hambanya. Seorang penulis prolifik, Pipiet Senja, untuk memenuhi panggilanNya. Allah SWT telah memberikan karuniaNya kepada Pipiet Senja untuk mengalami suatu kebesaran atas namaNya.
Buku ini banyak bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialami Pipiet Senja dalam perjalanannya ke Tanah Suci. Dua kali. Umroh dan haji. Ditulis dengan gaya yang santai membuat pembacaan buku ini tidak terkesan terlalu serius. Bahkan, dengan cara tersebut membuat pembaca lebih mudah untuk mengambil ibroh (pelajaran) dan hikmah dari cerita-cerita Pipiet Senja. Pembaca seakan diajak mengalami sendiri peristiwa-peristiwa di Tanah Suci. Mulai dari kekaguman penulis ketika pertama kali melihat Baitullah, merasakan susahnya masuk Raudhah, hingga rangkaian ibadah haji besar. Bermalam di Mina, wukuf di Arafah, sampai Tawaf Wada’.
Penuturan yang apa adanya khas Pipiet Senja membuat pembaca tidak akan kesulitan mencerna kisah-kisah dalam buku. Simak berbagai pengalaman yang didapat Pipiet Senja bersama rombongannya di Tanah Suci. Cerita-cerita seputar kelakuan jamaah haji Indonesia serta jamaah lainnya dari segenap penjuru dunia menjadi sajian tersendiri yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bahkan, beberapa diantaranya akan membuat kita terperangah dan tidak jarang malah berkaca pada diri sendiri. Terutama, ketika Tanah Suci memberlakukan ayat “Sesungguhnya aku tergantung pada prasangka hambaKu”. Entah keajaiban atau kesialan bisa menghampiri sebegitu cepatnya.
Lebih jauh, Pipiet Senja mengajak pembaca untuk senantiasa mentafakkuri hikmah dibalik pengalaman yang didapatnya. Catatan yang lebih tepat disebut memoar ini memberikan gambaran bahwa sejatinya berhaji adalah bukan sekedar memenuhi panggilan Allah SWT, bukan sekedar unjuk kepunyaan materi, bukan sekedar ritual ibadah belaka. Berhaji adalah bukan perjalanan biasa. Dibutuhkan lebih dari sekedar iman untuk melaksanakannya. Kita akan dibuat lebih yakin akan kebesaran Allah SWT. Kita akan semakin yakin bahwa janji Allah SWT itu benar adanya. Keikhlasan, tawakkal, tawaddhu, dan kepasrahan, menyublim dalam wujud pengharapan pada Sang Maha Pencipta.
Catatan Seorang Kolumnis Dadakan
Awalnya, saya menandai buku ini dalam daftar wishlist buku yang akan dibeli dan dibaca. Namun, keinginan untuk membacanya belum sebesar nafsu ingin menamatkan Nagabumi II. Saya memang punya keinginan untuk pergi umroh. Entah kapan. Tidaklah terlalu salah punya keinginan seperti itu. Toh, namanya juga ibadah. Hingga suatu saat saya tersadar bahwa saya juga merasakan hal yang sama seperti Pipiet Senja. Tepat ketika sahabat saya, Adit, berterus terang untuk berangkat umroh bersama ibundanya tengah bulan April ini. Akibatnya, saya merasa harus segera menamatkan pembacaan buku ini.
Selain itu juga, saya ingin mempunyai gambaran jelas tentang apa-apa saja yang harus dipersiapkan selama beribadah di Tanah Suci. Satu cara yang efektif yaitu dengan membaca memoar ini. Saya rasa tidak terlalu sulit bagi seorang penulis untuk menceritakan kembali pengalaman-pengalaman yang dialami disana. Akan mudah rasanya bagi saya untuk memahami semua itu melalui tulisan santai dan tidak melulu serius namun sarat akan makna, pengalaman, dan hikmah.
Harus saya akui bahwa karya yang kesekian dari Pipiet Senja ini adalah satu karunia untuk mengobati keringnya jiwa saya akhir-akhir ini. Buku ini adalah buku pertama yang berhasil membuat saya menitikkan air mata. Bulu roma saya merinding pada saat membaca halaman-halaman awal buku ini. Semua itu terjadi begitu saja di dalam bis yang membawa saya kembali ke Jakarta.
Saya bisa bayangkan keadaan yang digambarkan Pipiet Senja. Betapa keadaan beliau saat itu sangat tidak memungkinan untuk bisa memenuhi panggilan Allah SWT. Bahkan, berharap pun tidak. Tetapi, justru disitulah Allah SWT menunjukkan kebesaranNya. Tanpa disangka, takdir, harapan, dan keinginan bertemu di satu persimpangan atas nama nasib anak manusia.
Rasanya, ada banyak sentuhan emosional dalam proses penciptaan buku memoar ini. Sesuatu yang tadinya tidak akan pernah mungkin tiba-tiba bisa berubah menjadi suatu kenyataan, senyata-nyatanya. Pipiet Senja tidak pernah bermimpi dapat menunaikan ibadah umroh dan haji apalagi dengan dukungan finansial dari pihak-pihak yang tak terduga. Sebuah pelajaran berharga bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar. Bahwa rezeki kita masih 'nyangkut' di tangan-tangan yang Allah SWT kehendaki.
Membaca buku ini sama juga dengan menebalkan kembali keyakinan kita kepada Allah SWT. Allah SWT ingin memberi pelajaran bahwa janganlah sekali-kali berputus asa dari rahmatNya. Sebab, ketika saat itu tiba maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan. Wallahu’alam bis shawab.
Padahal, bila dikaji lebih dalam, kata ‘mampu’ ini ditafsirkan sebagai penegasan bahwa ‘mampu’ bukan lagi bermakna harfiah sekedar bisa mencukupi dalam hal materi saja. Kata ‘mampu’ disini berarti mampu secara jiwa dan ragawi, secara maknawi, untuk mengelola hati dan perasaan terutama dalam kesiapan memenuhi panggilan Allah SWT.
Berhaji adalah persimpangan antara ikhtiar, tawakkal, dan harapan. Segala makna peribadahan terkulminasi dalam ibadah haji. Keberserahan diri kepada Yang Maha Kuasa diuji di Tanah Para Nabi, Tanah Haram. Melalui berbagai kejadian yang tidak disengaja, akhirnya Allah SWT telah berkenan memanggil hambanya. Seorang penulis prolifik, Pipiet Senja, untuk memenuhi panggilanNya. Allah SWT telah memberikan karuniaNya kepada Pipiet Senja untuk mengalami suatu kebesaran atas namaNya.
Buku ini banyak bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialami Pipiet Senja dalam perjalanannya ke Tanah Suci. Dua kali. Umroh dan haji. Ditulis dengan gaya yang santai membuat pembacaan buku ini tidak terkesan terlalu serius. Bahkan, dengan cara tersebut membuat pembaca lebih mudah untuk mengambil ibroh (pelajaran) dan hikmah dari cerita-cerita Pipiet Senja. Pembaca seakan diajak mengalami sendiri peristiwa-peristiwa di Tanah Suci. Mulai dari kekaguman penulis ketika pertama kali melihat Baitullah, merasakan susahnya masuk Raudhah, hingga rangkaian ibadah haji besar. Bermalam di Mina, wukuf di Arafah, sampai Tawaf Wada’.
Penuturan yang apa adanya khas Pipiet Senja membuat pembaca tidak akan kesulitan mencerna kisah-kisah dalam buku. Simak berbagai pengalaman yang didapat Pipiet Senja bersama rombongannya di Tanah Suci. Cerita-cerita seputar kelakuan jamaah haji Indonesia serta jamaah lainnya dari segenap penjuru dunia menjadi sajian tersendiri yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Bahkan, beberapa diantaranya akan membuat kita terperangah dan tidak jarang malah berkaca pada diri sendiri. Terutama, ketika Tanah Suci memberlakukan ayat “Sesungguhnya aku tergantung pada prasangka hambaKu”. Entah keajaiban atau kesialan bisa menghampiri sebegitu cepatnya.
Lebih jauh, Pipiet Senja mengajak pembaca untuk senantiasa mentafakkuri hikmah dibalik pengalaman yang didapatnya. Catatan yang lebih tepat disebut memoar ini memberikan gambaran bahwa sejatinya berhaji adalah bukan sekedar memenuhi panggilan Allah SWT, bukan sekedar unjuk kepunyaan materi, bukan sekedar ritual ibadah belaka. Berhaji adalah bukan perjalanan biasa. Dibutuhkan lebih dari sekedar iman untuk melaksanakannya. Kita akan dibuat lebih yakin akan kebesaran Allah SWT. Kita akan semakin yakin bahwa janji Allah SWT itu benar adanya. Keikhlasan, tawakkal, tawaddhu, dan kepasrahan, menyublim dalam wujud pengharapan pada Sang Maha Pencipta.
Catatan Seorang Kolumnis Dadakan
Awalnya, saya menandai buku ini dalam daftar wishlist buku yang akan dibeli dan dibaca. Namun, keinginan untuk membacanya belum sebesar nafsu ingin menamatkan Nagabumi II. Saya memang punya keinginan untuk pergi umroh. Entah kapan. Tidaklah terlalu salah punya keinginan seperti itu. Toh, namanya juga ibadah. Hingga suatu saat saya tersadar bahwa saya juga merasakan hal yang sama seperti Pipiet Senja. Tepat ketika sahabat saya, Adit, berterus terang untuk berangkat umroh bersama ibundanya tengah bulan April ini. Akibatnya, saya merasa harus segera menamatkan pembacaan buku ini.
Selain itu juga, saya ingin mempunyai gambaran jelas tentang apa-apa saja yang harus dipersiapkan selama beribadah di Tanah Suci. Satu cara yang efektif yaitu dengan membaca memoar ini. Saya rasa tidak terlalu sulit bagi seorang penulis untuk menceritakan kembali pengalaman-pengalaman yang dialami disana. Akan mudah rasanya bagi saya untuk memahami semua itu melalui tulisan santai dan tidak melulu serius namun sarat akan makna, pengalaman, dan hikmah.
Harus saya akui bahwa karya yang kesekian dari Pipiet Senja ini adalah satu karunia untuk mengobati keringnya jiwa saya akhir-akhir ini. Buku ini adalah buku pertama yang berhasil membuat saya menitikkan air mata. Bulu roma saya merinding pada saat membaca halaman-halaman awal buku ini. Semua itu terjadi begitu saja di dalam bis yang membawa saya kembali ke Jakarta.
Saya bisa bayangkan keadaan yang digambarkan Pipiet Senja. Betapa keadaan beliau saat itu sangat tidak memungkinan untuk bisa memenuhi panggilan Allah SWT. Bahkan, berharap pun tidak. Tetapi, justru disitulah Allah SWT menunjukkan kebesaranNya. Tanpa disangka, takdir, harapan, dan keinginan bertemu di satu persimpangan atas nama nasib anak manusia.
Rasanya, ada banyak sentuhan emosional dalam proses penciptaan buku memoar ini. Sesuatu yang tadinya tidak akan pernah mungkin tiba-tiba bisa berubah menjadi suatu kenyataan, senyata-nyatanya. Pipiet Senja tidak pernah bermimpi dapat menunaikan ibadah umroh dan haji apalagi dengan dukungan finansial dari pihak-pihak yang tak terduga. Sebuah pelajaran berharga bahwa rezeki tidak akan pernah tertukar. Bahwa rezeki kita masih 'nyangkut' di tangan-tangan yang Allah SWT kehendaki.
Membaca buku ini sama juga dengan menebalkan kembali keyakinan kita kepada Allah SWT. Allah SWT ingin memberi pelajaran bahwa janganlah sekali-kali berputus asa dari rahmatNya. Sebab, ketika saat itu tiba maka nikmat Tuhanmu manakah yang kau dustakan. Wallahu’alam bis shawab.
Judul : Menoreh Janji di Tanah Suci: Catatan Haji dan Umroh Pipiet Senja
Penulis : Pipiet Senja
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit : Agustus 2011
Tebal : 247 hal.
Genre : Memoar
Pharmindo-Paninggilan, 10 April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar