Mukadimah
Sudah
sejak 2008 lalu saya memendam keinginan untuk membaca buku ini. Maklum,
dalam kumpulan cerpen terbaik ini ada cerpen dari penulis favorit.
Sebut saja, Seno Gumira Ajidarma dan Budi Darma. Serta tidak
ketinggalan, Agus Noor dan Djenar Maesa Ayu. Seringkali saya hanya mampu
menatapi buku ini setiap mampir ke toko buku langganan di Palasari.
Tanpa mampu menggenggamnya hingga ke meja kasir.
Lima tahun kemudian, saya berhasil menamatkan pembacaan buku ini. Saya rasa ada alasan mengapa Tuhan baru mempertemukan kembali kami sekarang ini. Agaknya, saya telah membuktikan apa yang pernah ditulis SGA dalam cerpen 'Linguae': Aku tidak pernah keberatan menunggu siapapun berapa lama pun selama aku mencintainya.
Lima tahun kemudian, saya berhasil menamatkan pembacaan buku ini. Saya rasa ada alasan mengapa Tuhan baru mempertemukan kembali kami sekarang ini. Agaknya, saya telah membuktikan apa yang pernah ditulis SGA dalam cerpen 'Linguae': Aku tidak pernah keberatan menunggu siapapun berapa lama pun selama aku mencintainya.
Catatan Empat Cerpen
Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerpen terbaik dari Seno Gumira Ajidarma yang berjudul sama dengan judul buku. Kisah seorang Sukab dan Hayati yang saling mencintai walau keduanya telah sama berpasangan. Berlatar kehidupan masyarakat nelayan pesisir, cerita ini seakan-akan mewakili kenyataan hidup yang berlangsung sehari-hari. Kecuali, bila pembaca menggugat hilangnya Sukab dan Hayati selama tujuh hari itu sebagai hal yang tidak masuk akal.
Cerpen lain yang menjadi favorit dalam buku ini adalah 'Kisah Pilot Bejo' yang ditulis oleh Budi Darma. Kisah seorang pilot bernama Bejo yang selalu 'bejo' dalam menerbangkan pesawat. Budi Darma agaknya mengambil sebuah realita yang kemudian dituangkannya kembali dalam bentuk sebuah cerita pendek. Pembaca tentu sudah lebih paham bila membaca metafora dan analogi yang disajikan oleh Budi Darma. 'Kisah Pilot Bejo' memberikan kita gambaran bahwa dunia penerbangan di negeri kita pernah mengalami hal yang demikian.
'Gerhana Mata', dari Djenar Maesa Ayu adalah cerita yang saya sukai dari segi penuturan dan bahasa. Pemilihan diksi yang tepat menjadi kunci cerpen ini untuk merebut hati saya.
"Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan."
Betapa sebuah dunia dapat menjadi nyata dalam gelap. Hanya dalam gelap sang narator dalam cerita dapat merasakan cinta. Selebihnya, saya mendapat nuansa realitas yang kental dalam cerpen ini. Pertemuan sepasang kekasih yang terlarang adalah sebuah bumbu kehidupan metropolitan. Atas nama cinta, semuanya terjadi.
Cerpen 'Tukang Jahit' dari Agus Noor sudah menyentak sejak paragraf awal. Jarum dan benang si tukang jahit yang konon diberikan Nabi Khidir dalam mimpinya adalah satu unsur kejutan yang mau tidak mau sukses menggiring pembaca untuk terus melanjutkan pembacaan atas cerpen ini. Tukang jahit ini bukan tukang jahit sembarangan. Tukang jahit ini adalah satu-satunya yang tersisa dari sekian banyak tukang jahit yang pernah berjaya di kota itu. Ia tidak hanya menjahitkan pakaian. ia juga mampu menjahit kebahagiaan.
Sepintas, cerita ini mengingatkan saya pada cerpen SGA lainnya yaitu 'Manusia Gerobak'. Baik SGA maupun Agus Noor menceritakan manusia gerobak dan tukang jahit yang sama-sama muncul setiap menjelang lebaran. Saya tidak heran akan hal seperti ini. Kalau pembaca sudah sering menbaca karya mereka, tentu akan dapat menarik suatu benang merah atas keduanya.
Cerpen Lainnya
Cerpen lain dalam buku ini juga memiliki nilai dan pesannya masing-masing. 'Lampu Ibu'
yang ditulis Adek Alwi bercerita tentang kekuatan dan ketegaran seorang
Ibu. Terutama, ketika satu anaknya tersangkut kasus korupsi dan jatuh
sakit. Ada nilai moral yang dapat diambil dari cerita itu. Terlebih,
kasih Ibu tiada batasnya, tak terhingga sepanjang masa.
Cerita
tentang legenda tukang nasi goreng bernama Koh Su pun tak kalah
menariknya. Kerinduan akan rasa dan segenap misteri yang menyelubungi
Koh Su menjadi bumbu yang membuat cerpen ini semakin menarik dan
penasaran. Cerpen 'Koh Su' tulisan Puthut EA ini harus disimak
betul sampai akhir cerita bila memang pembaca penasaran soal asal usul
Koh Su dan bumbu nasi goreng ajaibnya.
Romantisme masa lalu turut juga dihadirkan oleh Wilson Nadeak lewat 'Serdadu Tua dan Jipnya'.
Kisah seorang pensiunan yang menghabiskan sisa hidupnya dengan
memelihara sebuah jip Willys tua ini menjadi suatu romantika tersendiri.
Romantika itu hadir dalam segenap konflik antara si serdadu tua dengan
istrinya. Namun, penulisnya berhasil mengubah haluan sehingga akhir
(ending) dari cerita ini tidak selesai disitu.
'Sinai' dari Dewi Ria Utari dan 'Belenggu Salju'
dari Triyanto Tiwikromo adalah dua cerpen satir yang cenderung gelap.
Keduanya bercerita tentang gelapnya jalan yang harus ditempuh untuk
mencapai sebuah keabadian. Sedang, 'Bigau' yang ditulis Damhuri Muhammad, lebih mengangkat unsur dan nilai legenda tradisional. 'Bigau'
bercerita tentang seorang jagoan yang memiliki kesaktian yang
diperolehnya lewat sebuah cara yang hanya dia saja yang mampu
melakukannya. Konflik muncul ketika ia harus mewariskannya.
'Lak-Uk Kam'
dari Gus Tf Sakai bercerita soal penjaga mercusuar yang selalu
sendirian setiap bertugas. Tiga bulan sekali ia dirotasi ke
mercusuar-mercusuar lain. Tiga bula sekali pula ia merasakan kesendirian
yang sama.
GM
Sudarta muncul dalam kumpulan cerpen ini. Sebagaimana telah kita kenal
sebelumnya, GM Sudarta adalah seorang kartunis dengan karyanya yang
mashur yaitu 'Oom Pasikom'. Cerpen 'Candik Ala' yang ditulisnya
mengingatkan saya pada lirik pembuka pada lagu Koes Plus, "Melati Biru'.
Cerpen ini bercerita soal kenangan seorang anak terhadap ayahnya.
Dibumbui dengan candikala, suatu titimangsa dimana batas-batas gaib
menjadi samar.
'Sepatu Tuhan'
yang ditulis Ugoran Prasad, seketika mengingatkan kita kepada
sepakbola, terutama soal piala dunia. Simak kisah sepatu Franz
Beckenbauer dan si 'Tangan Tuhan' Maradona. Romantisme sepakbola dan
melankoli persahabatan adalah dua unsur yang berpadu dalam cerpen ini.
Dua cerpen terakhir pun agaknya juga mengesankan bagi saya. 'Hari Terakhir Mei Lan' yang ditulis Soeprijadi Tomodihardjo membawa pembaca pada suasana China dimasa penuh pergolakan. Sedangkan, 'Gerimis Yang Sederhana'
dari Eka Kurniawan, yang sekaligus jadi cerpen terakhir, bercerita soal
pertemuan dua orang. Yang membuat saya menyunggingkan senyum adalah
kenyataan bahwa si pria menyembunyikan cincin kawinnya dan tak sengaja
tercampur dengan recehan yang ia berikan pada pengemis. Betapa naifnya
hidup ini bahwa masih saja ada cerita soal pria beristri yang
menyembunyikan identitasnya setiap akan menemui seorang perempuan yang
baru dikenalnya.
Konklusi
Sebuah
cerpen berpacu dengan keterbatasan ruang cerita. Apalagi, ketika harus
muncul dalam ruang media cetak koran. Penulis dituntut mampu membuat
cerita pendek yang kaya dengan sintesa pengalaman dengan cara yang
meyakinkan. Oleh karena itu, setiap cerpen yang muncul di hari Minggu
ini memiliki konflik dari dunianya sendiri. Dunia yang terbentuk dalam
keterbatasan ruang cerita. Sekalipun begitu, semuanya membuktikan bahwa
dalam sebuah keterbatasan ada banyak ruang untuk sebuah cerita.
Paninggilan, 14 September 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar