"Orang lebih takut kepada ketakutan dibanding kepada Tuhan."
Hal. 233
Dinamika
sosial berlangsung dari waktu ke waktu. Sejak negeri ini mulai
berdialektika dengan kemerdekaannya sendiri. Melalui buku ini, agaknya
Emha masih melontarkan kritik sosialnya pada berbagai persoalan
pembangunan. Buku ini menghimpun catatan-catatan Emha yang terbit pada
rentang tahun 1991-1994 di berbagai media cetak seperti Suara Pembaruan,
Suara Karya, dan Surya serta beberapa dokumentasi pribadinya.
Dilema
pembangunan yang membawa arus modernitas tidak bisa tidak berhadapan
dengan arus kehidupan masyarakat yang masih agraristik. Hal itu masih
dapat dirasakan pada konteks kekinian, dimana tidak banyak perubahan
yang terjadi sejak buku ini terbit pertama kali pada tahun 1995 hingga
kini. Kalaupun boleh menambahi, arus modernisasi dan globalisasi saja
yang semakin membawa pengaruh.
Bagian
pertama dan kedua buku dinamakan sebagai "Pengaduan I" dan "Pengaduan
II". Emha mengumpulkan berbagai pengalaman dan keluh-kesah orang-orang
yang mendatanginya. Kemungkinan besar, kalau dilihat dari bahasa
penyampaiannya, berasal dari rubrik yang diasuhnya di harian Surya.
Esai-esainya
memberi banyak pencerahan sekaligus refleksi tentang nilai dan hubungan
kemanusiaan yang kian pudar. Riuh pembangunan telah mengikis kesadaran
manusiawi menjadi kepatuhan yang berdasar pada ketakutan. Personally,
buku ini juga membuat saya teringat pada kalimat pembuka lirik lagu
"Tombo Ati" gubahan Emha dan Kiai Kanjeng.
Dua
bab selanjutnya diberi judul "Ekspresi" dan "Visi". Pada bagian inilah
Emha menyatakan ketidaksetujuannya pada tatanan birokratik yang terus
menerus mewajibkan rakyat berpartisipasi dalam pembangunan.
Benturan-benturan dalam masyarakat yang sengaja diciptakan dan
dikondisikan dalam menyambut Pemilu 1992 hanyalah contoh kecil.
Emha
juga menyertakan contoh bagaimana mahasiswa KKN yang datang dari kota
dengan segala keilmuan dan arus modern yang dibawanya berhadapan dengan
masyarakat pedesaan yang diwakili Pak Mataki, Bu Limah, dan Pak Dayik.
Dialektika antara keduanya menjadi hal yang patut direnungkan bersama.
Apakah semua kemajuan pembangunan ini lantas membuat kita jadi gelandangan di kampung sendiri?
Judul : Gelandangan di Kampung Sendiri: Pengaduan Orang-Orang Pinggiran
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Bentang
Tebal : 292 hal.
Tahun : 2015
Genre : Sosial-Budaya
Penerbit : Penerbit Bentang
Tebal : 292 hal.
Tahun : 2015
Genre : Sosial-Budaya
Dharmawangsa, 31 Mei 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar