Perjalanan belum selesai. Saya sadari itu tak lama setelah menghela napas saat duduk di bangku tamu sambil menyantap jatah makan dari yang punya hajat. Saya berniat untuk langsung pulang ke Jakarta dengan naik bis terakhir paling malam dari Purwokerto. Itupun dengan resiko bukan bis AC, tapi bis ekonomi. Mau naik kereta, rasanya saya tidak punya waktu lebih banyak untuk mencoba semua kemungkinan yang ada walau saya masih berkuasa penuh atas diri saya.
Kembali ke Purwokerto dengan bis ¾ yang tanpa nama, maksudnya nama PO bis itu tidak terlihat kecuali seluruh bodi yang dipulas coklat. Ongkosnya lebih murah 2 ribu dibandingkan dengan pada saat berangkat tadi. Ini menjadi pertanyaan bagi saya, apakah saya terlihat sebagai pendatang baru di kota ini sehingga si kondektur menarik ongkos pada perjalanan pertama? Bisa saja. Pelajaran lagi untuk saya, daripada tidak tahu sama sekali mendingan sok tahu dan jangan banyak tanya kondektur.
Mendung menggelayuti langit Purbalingga, pertanda bagi awan untuk segera menumpahkan air dari bak penampungannya. Sepanjang jalan, saya teringat sesuatu. Saya teringat pada episode A Trip to Surabaya Oktober 2007. Ya, saya pernah lewati kota ini, Bukateja yang sepi. Ingatan itu tiba-tiba menyeruak begitu saja ketika melihat pemandangan dan pohon-pohon yang berjajar sepanjang jalan Purbalingga-Purwokerto.
Hujan semakin menangis. Meninggalkan embun di kaca jendela. Kota yang sudah terlanjur sepi jadi semakin sepi. Purwokerto menyambut senja dalam guyuran hujan. Getuk goreng yang semula masuk daftar oleh-oleh terpaksa dicoret. Biar di terminal banyak yang jual tapi tetap rasanya nggak sreg kalau nggak beli di tempat oleh-oleh yang beneran.
Menjelang senja penutupan, aktivitas terminal benar-benar berkurang. Bis antar kota tujuan Wonosobo tinggal menyisakan bis pamungkas. Kecuali tujuan Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung dimana pemain utama jalur itu mulai bersiap-siap. Sinar Jaya, Dewi Sri, Aladdin, dan Harum mulai memasuki apron. Aroma buangan mesin diesel menyeruak ke udara yang basah. Malam datang begitu saja membawa gelap tanpa guratan matahari senja yang biasanya selalu mengagumkan.
Saya bisa saja pulang ke Jakarta dengan bis AC terakhir jam 9 malam dan masih punya waktu 2,5 jam untuk sekedar melihat-lihat Ibukota Republik Banyumas itu. Tetapi, apa yang bisa dilakukan seorang pengembara dalam hujan deras seperti itu? Akhirnya, saya memutuskan untuk mampir dulu ke Bandung saja. Lagipula, Aladdin sudah menunggu dan siap untuk berangkat ke Bandung. Kalau Aladdin bisa melaju tanpa hambatan berarti saya bisa tiba di Bandung sekitar tengah malam, atau paling lambat jam 00.30. Kejadian seperti ini berulang lagi sama halnya ketika Tour de Pangandaran Desember 2008, saya datang naik bis AC dan pulang naik bis ekonomi. :D
Keluar terminal bis berhenti sejenak untuk mengisi angin ban. Tak hanya itu saja, rupanya saringan udara pun ikut dibersihkan oleh tukang semprot angin dan hasilnya, Omaigat, debunya banyak banget. Tandanya saringan sudah lama tidak dibersihkan. Tidak ada jaminan bis ini akan sampai dengan selamat sentosa tanpa hambatan berarti dan hal itu semakin membuat waswas. Ingin rasanya saya turun dan ganti naik bis AC yang datang jam 7 kurang. Ketika saya akan beranjak turun, bis jalan lagi dan saya pun urung turun. Tidak seperti ketika di bis ekonomi Perkasa Jaya Jakarta-Pangandaran yang semakin membuat saya ingin cepat-cepat turun kabur dan segera bersembunyi di balik jendela Budiman Jakarta-Banjar.
Mudah-mudahan setelah disemprot dan dibersihkan bis tua Aladdin ini mampu berlari di jalur selatan. Kondektur menagih dan saya bayar tiket seharga 45 ribu. Saya rasa cukup mahal untuk tujuan Bandung dengan bis ekonomi seperti ini. Saya pikir harganya sekitar 35 ribu atau 40 ribu. Barangkali, bayar mahal sedikit tidak apa-apa kalau untuk sesekali saja mengingat armada yang digunakan Aladdin juga menyerap biaya operasional (yang tentunya) sangat tidak sedikit.
Perjalanan masih panjang. Itulah yang ada di pikiran saya. Apalagi bis yang saya naiki bis kelas eksekusi eh ekonomi, dengan segala macam ketidaknyamanannya. Rasanya tidak fair juga kalau saya membandingkan Aladdin dengan Sinar Jaya 79 DX. Tetapi, karena hujan masih akan turun sepanjang perjalanan tidak banyak penumpang yang membuka jendelanya. Maka saya membuat suasana senyaman mungkin. Saya nyalakan Si Ngipod, MP3 player yang dibeli setelah pensiun dari SIS. Sisa baterainya tinggal setengah lagi dan itu pasti tidak akan cukup untuk memutar lagu sampai di Bandung nanti sekalipun Aladdin ngeblong habis-habisan.
Saya pasang headset dan mulai menikmati lagu ketika sepasang mata menatap tajam ke arah saya. Seorang anak kecil perempuan duduk diapit kedua orang tuanya yang tertidur pulas-hingga celangap. Sepintas saya balas menatapnya lalu saya biarkan saja anak kecil itu. Mungkin yang ada dipikirannya adalah ada seorang aneh yang berkomat-kamit sambil menatap kosong dalam keremangan bis malam ekonomi. Itu kalau saya tidak salah selebihnya hanya Tuhan yang tahu.
Generally, bis melaju tidak terlalu kencang. Mungkin efek dari raungan mesin yang membuat bis ini serasa berjalan kencang. Hanya sesekali pak supir menggenjot gas dalam-dalam ketika disusul Budiman dari Wonosobo, Sinar Jaya dan Doa Ibu dari Majenang dan Wangon. Hujan pun belum enggan reda. Alhasil, entah karena perasaan saja, perjalanan terasa semakin panjang, seperti hidup ini.
Selepas Majenang menjelang perbatasan Jateng-Jabar seharusnya pemandangan indah itu jelas terlihat andai saja matahari bersedia bertukar tempat dengan malam. Bis terus melaju sambil terus menurunkan dan menaikkan penumpang. Sampai di Banjar Aladdin masuk terminal, yang jelas bukan untuk mencari si Abu atau Jin yang bersemayam di lampu wasiat. Lajur keberangkatan diisi oleh Doa Ibu Banjar-Jakarta Ekonomi via Cianjur-Puncak dan Budiman dengan stiker khas di jendelanya: EURO 2 BANJAR-JAKARTA Eksekutif.
Setiap lewat Banjar saya selalu teringat pada Rumah Makan Beti yang terletak di sebelah kanan jalan arah Jateng/Pangandaran (dari Bandung) 200 m sebelum pertigaan yang belok kanan arah Pangandaran. Waktu saya kesana (A Trip to Surabaya, Oktober 2007) memang tidak ada sesuatu yang wah dan spesial dari rumah makan ini. Tetapi, paman saya yang sering mampir kalau mudik ke Magelang punya alasan sendiri. “Masakan ikannya gak bau tanah dan hanyir. Kopinya juga bikin melek kok. Terus ikan bakarnya enak.”
Sekilas, memang menunya kurang lebih sama dengan rumah makan khas Sunda sejenis yang ada di jalur lintasan antar kota. Barangkali, nilai lebihnya si Beti terletak pada apa yang disebutkan paman saya. Untuk pembaca yang kebetulan sering lewat jalur selatan saya rekomendasikan untuk istirahat mengisi perut di Rumah Makan Beti. Dari jalan raya, anda sekalian tidak akan kesulitan menemukan RM Beti karena papan namanya “ngajeblag” (baca: cukup besar) dan ada efek spotlightnya bila tersorot cahaya.
*
Setelah melewati terminal Ciamis yang sepi, waktu tepat menunjukkan pukul 23.00 WITA (Waktu Indonesia Bagian Tasik). Hujan tinggal menyisakan gerimis di Kota Tasik yang sudah sepi. Yang tertinggal di terminal hanyalah para penjual rokok dan mi instan yang tertidur dekat kiosnya masing-masing. Di lajur apron Budiman, dua bis eksekutif tujuan Jakarta sudah bersiap. Yang satu akan berangkat 23.30 dan satu lagi 01.00 ke Kampung Rambutan tentu saja.Kalau saya boleh menyarankan, seandainya pembaca jalan-jalan ke daerah selatan Jabar-Jateng dan akan kembali ke Jakarta, banyak alternatif yang bisa ditempuh. Saya pelajari dan merangkum hal ini dari pengalaman Tour de Pangandaran sebelumnya. Apabila anda ingin menghabiskan malam di jalan supaya sampai pagi/subuh ke Jakarta, usahakan untuk tiba di Terminal Banjar sebelum jam 23.00 karena saat itu ada bis terakhir Budiman tujuan Jakarta, AC Eksekutif dengan tarif 55 ribu, tidak include makan dan istirahat di Rumah Makan Grupnya Budiman di Nagreg. Kalau mau lewat Tasik, seperti sudah saya tulis diatas, Budiman Tasik-Jakarta Eksekutif AC masih melayani sampai pukul 01.00 dini hari. Tarifnya 45/50 ribu. Asumsi ini saya buat berdasarkan pengamatan saya di lapangan terutama pada waktu weekend. Mudah-mudahan berguna bagi pembaca yang senang jalan-jalan apalagi kalau juga senang naik bis seperti saya ini.
Kembali ke perjalanan. Aladdin berhenti sekalian istirahat sekitar 40 menit. Saya kira Aladdin akan berhenti di rumah makan atau tempat jajan oleh-oleh bukan di terminal. Saya hanya bisa mengangguk ketika menyadari yang dimaksud Tasik oleh kondektur tadi itu adalah Terminal Tasik bukan tempat istirahat di Tasik. Memang setelah membayar tiket saya sempat bertanya akan istirahat dimana. Dan seharusnya saya sudah tahu dari jawaban kondektur yang tidak meyakinkan itu bahwa akan ada sesuatu yang terjadi, dan itu terjadi saat istirahat ini.
Saya tidak keberatan bila Aladdin beristirahat di terminal. Lagipula saya masih punya bekal makanan dari Neni. Hal ini menimbulkan perasaan was-was apakah bis akan istirahat lagi nanti. Tetapi, saya juga semakin menyadari bahwa saya sekarang sedang ada dalam perjalanan dimana masih banyak variabel yang mungkin berubah. Saya berada jauh dari zona nyaman yang sudah terlanjur melekat belakangan ini. Itulah pelajaran yang saya rasakan di perjalanan saya kali ini. Ini adalah perjalanan pertama saya ke Purbalingga sendirian. Kalau diingat kembali jarak yang sudah saya tempuh sejak dari Metro Mini Ciledug-Blok M, Sinar Jaya 79DX, hingga PO Tanpa Nama, saya hanya bisa mensyukuri bahwa saya masih sehat wal afiat dan masih sanggup mengakhiri perjalanan edisi Solitaire Tour*** ini.
Perjalanan dilanjutkan. Berdasarkan pengalaman, hambatan selanjutnya adalah Nagreg. Ada selentingan yang beredar dari orang-orang terminal kalau di Nagreg sedang macet. Suatu hal yang lumrah sekaligus aneh di tengah malam seperti ini. Mungkin saja, barangkali ada trailer/tronton nggak kuat nanjak. Keluar terminal, saya langsung tidur. Berhubung tidak ada pemandangan lagi dan si Ngipod juga kehabisan tenaga. Sempat terbangun sebentar, dan memang benar saudara-saudara sekalian, Nagreg Macet! Saya tidur lagi.
Angin yang berhembus dari jendela yang terbuka membangunkan saya. Saya segera menyadari bahwa sekarang sudah berada di Cipacing dekat Cileunyi. Saya tertidur lagi karena mungkin setengah jam lagi bis tiba di Cicaheum. Saya kembali terbangun tepat di depan LP Sukamiskin. Saya segera bersiap untuk turun tapi mata ini masih berat akhirnya saya tidur lagi sebentar. Klakson bis di terminal yang sepi membangunkan saya. Hawa dingin Bandung kembali menusuk seperti biasa. Tidak ada aktivitas di terminal. Bis Aladdin segera parkir di jalurnya, ditemani Sami Djaya. Dekat pintu keluar, supir angkot ramai berkumpul di depan TV. Brazil VS Pantai Gading. 02.45 WIB (Waktu Indonesia bagian Bandung).
*
Kalau pembaca mengira perjalanan saya selesai sampai di Cicaheum maka anda semua salah. I still have a long way to go after all the long road on this trip. Sambil terkantuk-kantuk saya naik angkot Cicaheum-Ciroyom yang hanya butuh waktu setengah jam saja untuk sampai di Jl. Pajajaran. Di suatu daerah dekat situ yang sering disebut Pandu, saya turun, masih dengan rasa kantuk namun angin dinginnya memaksa mata saya untuk selalu waspada. Maklum, dini hari begini banyak hal yang biasanya terjadi. Saya berjalan menyusuri Jl. Samiaji dan berbelok di Jl. Teluk Buyung. Walaupun bukan di rumah sendiri, still feels like home. 02.20 WIB. Rupanya yang punya kamar sudah tahu kalau saya bakal datang sehingga saya tidak menemui banyak kesulitan untuk menyaksikan pertandingan Brazil VS Pantai Gading. This is the end beautiful friend****.
*
Catatan Setelah Perjalanan
Perjalanan adalah petualangan menuju diri sendiri. Bagi saya pribadi, melakukan perjalanan sendirian adalah pekerjaan yang tidak ringan sama sekali. Betapa banyak pergolakan dalam pikiran ini. Karena bagimanapun dan apapun yang terjadi saya bertanggungjawab atas sukses atau gagalnya perjalanan. Selain itu, menjadi tidak gampang karena saya melakukan perjalanan ke suatu bagian dunia yang saya hanya tahu letaknya saja dalam peta dan cerita dari kawan-kawan di forum www.bismania.com. Namun, ketika saya sudah melangkah saya semakin tahu kemana tujuan saya dan apa saja yang harus saya lakukan untuk mencapai tujuan itu.
Saya semakin belajar bahwa bagian terpenting dari perjalanan adalah tujuannya, bukan caranya. Tujuan itulah yang seharusnya jadi fokus perhatian karena tanpa fokus, perjalanan akan kehilangan esensinya. Dalam perjalanan itupun betapa masih banyak variabel yang akan berubah dan kadang-kadang terjadi begitu cepat. Misalnya, jadwal keberangkatan bis yang berubah. Hal itu tentu saja menyulitkan tetapi dengan persiapan yang matang saya yakin semua itu hanya akan jadi bumbu cerita dan bahan pelajaran untuk perjalanan selanjutnya.
Ketersediaan informasi melalui berbagai media harus dimanfaatkan dengan baik sebagai persiapan terlebih ketika tujuan perjalanan adalah daerah yang pertama kali dikunjungi. Supaya tetap bisa fokus pada tujuan, saya sarankan lebih baik mengadakan riset kecil-kecilan. Untuk bekal di jalan, selain makanan dan snack, saya juga sarankan untuk membawa peta. Tidak usah peta besar/lengkap, cukup peta ukuran saku yang biasanya dibagikan secara gratis setiap musim mudik. Hal ini sangat berguna untuk memperhitungkan jarak dan waktu perjalanan. Apabila anda senang bercerita, siapkan juga catatan untuk menuliskan cerita perjalanan anda.
Hal lainnya, saya juga semakin sadar bahwa saya harus belajar bahasa Jawa. Alasannya sederhana, kemanapun saya pergi saya selalu bertemu dengan orang Jawa. Alangkah baiknya bila saya mampu berkomunikasi dengan mereka walau hanya untuk sekedar bertanya. Selain itu, saya tidak ingin dianggap sebagai orang asing terutama di tanah mereka sendiri sehingga saya harus bisa menjalin keakraban dengan mereka.
Akhirul kalam, setiap perjalanan adalah membuka segala kemungkinan yang masih dimungkinkan oleh takdir karena segala sesuatunya bisa berubah begitu cepat. Manusia melakukan perjalanan karena ada yang dituju, seperti hidup ini juga. Tinggal bagaimana caranya untuk mencapai tujuan itu. Cara yang baik akan menghasilkan kebaikan, begitu juga sebaliknya.
Paninggilan-Banjarbaru-Bandung, 29 Juni 2010. 23.18
*** Nama Solitaire diambil dari kata Soltero/Soltera yang dalam bahasa Spanyol berarti Single. Namun, penulis kemudian menyadari bahwa Solitaire berarti card game, single gemstone, dan songbird (Kamus Encarta DVD 2009). Selain itu, alasan lainnya adalah karena lagu Solitaire (Carpenters) versi Clay Aiken selalu terngiang sepanjang perjalanan. Barangkali setelah cerita ini selesai ditulis judulnya akan diganti menjadi “Solitary Tour”.
****dari lirik lagu The Dorrs, “The End”
*) Foto Terminal Bis Purwokerto courtesy Reski Harimurti, Aladdin courtesy Julian Bismania taken from www.bismania.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar