Sabtu, 26 Oktober 2013

2

And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close

“Tuh kan, lagu itu lagi. Ngaku deh, loe lagi LDR-an kan?” Bimo membuatku kaget.

Aku segera menyembunyikan ponselku. Aku tidak ingin Bimo tahu kalau aku benar-benar sedang memutar lagu itu.

“Ih, sok tau banget deh! Aku lagi seneng aja, secara Maroon 5 gitu.” Jawabku sebisanya.
“Udah deh ngaku aja. Loe kangen sama dia kan?” Bimo tidak mau kalah.
“Apaan sih, Bim. Cabut duluan ya. Bye” Aku segera menghindar.
“Yee, gue dateng malah pergi.”

Bim, kok kamu tahu banget sih aku lagi kangenin dia. Aku bicara pada diriku sendiri. Setidaknya, Bimo telah menjawab satu keraguan dalam benakku. Aku mulai ragu dengan keputusanku untuk menjalani long distance relationship bersama Dimas. Untuk sebuah alasan standar kami harus berpisah. Dimas masih ingin sekolah, jadi ia melanjutkan studinya di Groningen sana. Apalah yang aku tahu soal Groningen? Tidak ada satupun. Kecuali klub sepakbola FC Groningen yang nampaknya selalu jadi tim penggembira di Hollandsche Eredivisie.

Aku tidak pernah merasa bahwa ini adalah keputusan terbaik yang pernah aku ambil. Sudah jelas, ini adalah yang terbaik yang aku bisa untuk Dimas. Dimas sendiri tidak pernah bicara banyak soal rencananya ke depan. Pun, ketika harus membicarakan soal ini denganku. Dimas sudah siap menerima kenyataan untuk saat ini dan yang akan tiba. Dimas sepertinya tidak pernah berpikir sedikitpun tentang aku.

Aku heran dengan sikap Dimas yang seperti itu. Dimas tidak menyadari bahwa perpisahan kemarin sungguh berat untukku. Apakah aku yang terlalu cinta? Aku juga tidak tahu. Aku hanya ingin selalu bersamanya. Tidak lebih. Kini, aku harus melintasi dimensi ruang dan waktu hanya untuk mendapatkan kabar terbaru darinya.

Bimo, apa yang dia tahu soal hubunganku dengan Dimas? Mengapa dia seakan begitu tahu perasaanku. Aku tidak mengerti mengapa Bimo bisa tiba-tiba menohokku dengan pertanyaan seperti tadi pagi.

We knew this day would come
We knew it all along
How did it come so fast?

Dearest Dimas,

Udah seminggu ini kamu nggak kirim kabar, how are you there? Everything’s fine?

Ik het jou lief,
Dina

Aku hanya mampu menafsirkan rindu sebatas kalimat pendek dalam email. Aku sadari betapa berat beban menahan rindu ini. Aku ingin mengatakan semuanya. Namun, jemariku hanya mampu sebatas itu saja. Sisanya, berkecamuk dalam pikiran belaka.

Apakah kamu sudah tidak punya waktu untukku? Tidak adakah waktu luangmu untukku? Aku hanya mohon padamu untuk mengabariku secepat mungkin kau bisa, karena aku tidak mungkin mengharapkan kedatanganmu. Aku mohon sekali ini saja. Ada yang ingin aku sampaikan.

Aku ingin marah. Aku ingin melampiaskan semua rasa rindu yang selalu tertahan ini. Aku ingin marah. Aku sadari kemudian bahwa aku hanyalah sendiri disini. Tidak ada gunanya tanpa hadirmu disini. Aku ingin berkata pada siapa saja bahwa aku....

Aku terkesiap dari lamunanku. Seketika kata-kata itu buyar dan menghilang begitu saja. Kendati aku tidak pernah meragukan kesungguhan Dimas kepadaku, aku tetap merasa lelah.


*

Pratidina Pramesti. Sayang sekali, kamu hanya membuang-buang waktu hanya untuk mencintai seseorang yang jauh disana. Let me tell you something. Mencintai itu adalah ada. Untuk apa mencintai sedang dia tidak ada untukmu, bersamamu disampingmu?

Aku hanya menggelengkan kepala sambil mengamati Dina dari kejauhan. Ia tampak sendirian di bangku taman itu. Hanya berteman sebuah buku bersampul ungu. Mungkin sebuah novel pengobat rindu untuk kekasihnya yang jauh di Negeri Londo sana.

“Din, kamu tahu nggak sih kalau kebutaan sejati itu ketika kamu sedang jatuh cinta?” Aku menghampirinya.

Dina tersentak dan seketika menutup buku bacaannya. Wajahnya tampak kesal.

“Maaf ya, Bim. Aku ada urusan apa sama kamu ya?”
“Nggak ada. Nggak ada apa-apa.”
“Please, mulai sekarang kamu nggak usah nanya lagi soal gituan. Cukup aku aja yang ngerasa. Kamu nggak sah ikut-ikutan sok care lah.”

Aku hanya tersenyum mendapati perlakuan Dina seperti itu. Ia tidak melanjutkan pembacaannya. Dina menunduk dan memejamkan matanya. Seakan menahan amarah yang siap meledak. Aku kira Dina akan menangis. Ternyata tidak. Dina membetulkan letak kacamatanya dan mengemas bukunya.

“Din, mau kemana?”
“Bukan urusan kamu!”
“Din, tidak ada tempat persembunyian luka sebaik air mata. So, kalau masih kangen kamu mending nangis aja. Nggak apa-apa kok.”

Dina langsung memukulku dengan tasnya. Dina kelihatan marah sekali.

“Kamu tahu apa soal Dimas? Pake ngajarin aku buat nangis segala. Emangnya aku ini perempuan apaan heh?” Dina terus merangsek.
“Din, sebentar Din.” Aku mengelak.
“Kamu pikir kamu lebih tahu dari aku? Kamu pikir gampang buat lupain orang? Kamu pikir kamu hebat? Kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu masih gagal move-on dari Arina.”

Arina. Dina menyebut nama Arina. Sebuah nama yang membuatku tersirap dari sadarku dan membiarkan Dina terus memukuliku. Hingga akhirnya berhenti dan nafasnya terengah-engah.

“Kamu harus sadar Bim, kalau Arina itu sudah menikah dan bahagia dengan hidupnya. Kamu nggak perlu lagi mengharap apa-apa dari dia. Kalaupun Arina nggak bahagia, itu urusan dia. Biarin dia urus urusannya sendiri. Kamu nggak perlu lakuin apa-apa buat dia. Enough is enough, Bim. Game over when she said it’s over!”

*

Seminggu kemudian, aku dan Dina pergi bersama. Dina tampak cantik dengan kerudung hitam yang membalut rambutnya yang sebahu. Tak lama kami sudah sampai di sebuah acara pemakaman. Para pelayat mulai berlalu, meninggalkan kami berdua yang menatap sebuah pusara.

“Bim, make your last wish for her.”


Pharmindo, 26 Oktober 2013.

1

“Only by meeting you, warm feeling completely filled my heart.”

Nina mengirim email singkat padaku. Seketika mendung diluar berubah menjadi pagi dengan semburat mentari yang menakjubkan. Ah, itu hanya khayalanku saja. Hanya imajinasi pengalih perhatian. Aku mendadak kangen pada Nina. Aku merindukan kembali pagi dimana aku dan Nina saling berkirim pesan pendek lewat ponsel.

“You text, and i instantly smile.”

Satu jawaban dari Nina yang selalu kurindukan.

*

Aku menikmati secangkir kopi hitam pagi ini sembari menatap jendela dari pantry. Pagi di Jakarta adalah sebuah keajaiban bagi mereka yang tidak pernah berharap apapun. Terlalu banyak kejutan disana.

“Pagi, Gus. Nanti malem, ada waktu?” Erika menyapaku.
“Eh, kamu Rik. Kenapa? Ada yang penting?”aku balik bertanya.
“Nggak sih. Tapi,...” Erika terlihat ragu
“Tapi apa, Rik?”
“Nggak jadi deh. Lain kali,..”

Belum selesai kalimat Erika, aku sudah menggamit lengannya. Sebuah awkward moment lain diantara aku dan Erika. Erika mematung sambil perlahan menatap tanganku yang memegangi lengannya. Mungkin, Erika pikir mirip adegan di drama-drama Korea.

“Oke, kita duduk dulu bentar.” Aku mengajak Erika duduk.
“Aku nggak ada waktu sekarang, Gus.” Erika mulai merasa tak nyaman.
“Kenapa? Kamu mau ngajak aku nemenin kamu kemana lagi?  ” nada suaraku mulai meninggi.
“Bukan gitu, Gus.”
“Terus apa? Mana Arga yang selalu kamu banggain itu? Dia jalan sama perempuan lain?”

Diam. Hanya diam. Erika tidak bicara sepatah kata pun. Erika beranjak menuju jendela tak jauh dari tempatku berdiri. Erika mulai menangis. Aku bisa melihat bulir air mata mulai berjatuhan di pipinya. Andai ini bukan kantor, barangkali Erika sudah kurangkul atau kupeluk. Akan kubisikkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku pun sama termangu. Tak mampu berucap apapun untuk menenangkan Erika. Aku mengalihkan pandanganku lagi ke luar sana.

Erika mulai mengangis terisak. Aku tidak ingin terjebak dalam situasi sulit seperti ini. Jadi, aku beranikan diri untuk menatap Erika. Erika balik menghadapku. Matanya seakan berkata, “Dengerin aku, Gus.”

Erika berada di pelukanku sekarang. Air matanya semakin mengalir deras.

“Gus. Arga nikah, Gus... Tapi....gak sama aku...” Erika bicara sambil terisak.

Aku menenangkan Erika dan membuatkannya secangkir teh hangat. Matanya kini sembap ketika tangisnya reda.

“Aku masih belum bisa terima kenyataan ini, Gus. Makanya, aku mau kamu anterin aku.”
“Anterin kemana? Ketemu Arga? Bah, males banget. Udah tinggalin aja sih.”
“Aku masih sayang dia, Gus.”
“Ah, Erika. Kamu masih sayang dia, terus dia nikah sama orang lain, gitu?”

 Erika terdiam lagi.

“Erika, sayang. Look at yourself. Aku yakin kamu deserve more than him.”

Ada jeda sebelum Erika kembali bicara,

“Nanti anterin aku pulang ya, Gus.”
“Apa sih yang nggak buat kamu?” kataku sambil tersenyum.
“Ih, gombaaal.”

*

Erika tertidur di pangkuanku usai menamatkan “Bridget Jones’s Diary”. Erika memintaku untuk memilihkan film yang kami tonton malam ini. Malam sudah larut dan aku harus kembali bekerja besok. Begitu juga Erika. Namun, aku tidak kuasa meninggalkan Erika.

“Halo, Nin.”
“Kamu lagi dimana, Gus? Kata Mama kamu belum pulang. Lembur?”
“Nggak, Nin. Aku lagi di rumah temen nih. Kamu udah selesai? Jemput aku dong.”
“Nggak bisa pulang sendiri?”
“Aku jelasin semuanya pas kamu dateng, Nin.”
“You’re not in a big shit, right?”
“Absolutely no. Ntar aku bbm alamatnya ya. I’m waiting.”
“Cepetan. Jangan lama!”

Perlahan aku melepaskan genggaman tangan Erika. Aku mulai menata diriku lagi dan berkaca pada semua yang terjadi hari ini. Lebih baik seperti ini, Erika tidak perlu cari pelarian untuk hatinya yang terluka. Cukup menemaninya nonton semalaman tanpa kissing or even quickie. Catat.

Aku berkeliling di ruang tamu. Perhatianku tertuju pada sebuah amplop coklat.

Suatu saat nanti jika aku yang pergi, engkau baiknya memilih tidak percaya pada kehilangan.
Erika, maafkan aku.

Arga

Kalimat pembuka di secarik kertas yang terselip dalam sebuah undangan pernikahan. Mungkin inilah mengapa Erika begitu dramatis hari ini.

Bel pintu rumah Erika berbunyi. Aku mengintip lewat jendela depan. Nina sudah berdiri di depan pagar. Raut mukanya terlihat seperti seorang kekasih yang marah dan akan menyemprot selingkuhan kekasihnya.

Rupanya, bel itu membangunkan Erika.

“Siapa, Gus. Kok ada tamu malem gini, sih?”Erika memelukku dari belakang
“Maaf, Rik. Aku minta Nina jemput aku kesini.”
“Jadi, kamu nggak akan nginep malem ini? Ya udah deh.” Erika tampak kecewa sambil membukakan pintu pagar.

Nina langsung menghampiriku. Aku tidak suka tatapannya pada Erika. Erika terlihat berantakan usai bangun tidur.

“Malem. Mbak Nina ya? Kenalin, saya Erika.” Erika mencoba bersikap ramah pada Nina.
“Bagus udah cerita soal aku?” jawab Nina ketus.
“Baru dikasih tahu tadi kok, Mbak?” jawab Erika.
“Terus, ngapain si Bagus kamu ajak ke sini?” Nina mulai marah

Aku mencoba menahan Nina.

“Nin, masuk dulu yuk. Kita ngobrol di dalem.” Kataku sambil merangkul Nina.
“Mari, Mbak Nina. Silakan.” Erika mengikuti kami di belakang.
“Awas ya Gus kalo kamu macem-macem sama dia.” Nina mengancamku.

*

Erika menjelaskan semuanya kepada Nina. Aku dengan sabar duduk disamping Nina. Menjaganya jangan sampai lepas kendali. Aku tahu, itu semua karena Nina sayang padaku. Erika tampak seperti pagi tadi. Ia menangis lagi.

Nina memandangiku.

“Gus, bilangin dia dong, kamu mau anter aku mau ke toilet dulu.” Nina berbisik.

Aku dan Nina meninggalkan Erika yang masih menangis sendu di sofa yang sama saat ia tidur di pangkuanku. Aku dan Nina tak henti memandanginya dari kejauhan. Usai kembali dari toilet, Nina membawakan amplop coklat yang tadi aku baca.

“Gus, bagus banget undangannya. Menurut kamu bagus gak buat undangan nikahan kita nanti.”

Aku terkejut. Aku tidak ingin Erika tahu soal ini. Aku yakin Erika akan menghabiskan air matanya malam ini bila sampai dia tahu bahwa aku dan Nina membaca undangan itu.

“Hmm... Bagus, Nin. Kamu simpen lagi sana, ntar ketahuan Erika. Kasihan dia.”
“Sebentar, aku mau baca dari siapa ini.” kata Nina.

Erika masih menangis. Tangisannya kini terasa begitu pilu. Bagai tangis Sinta ketika ditawan Rahwana.

“Gus..” Nina menggumam.

Aku berbalik menghadap Nina yang tampak tertegun.

“Kenapa, Nin?”

Nina seketika pingsan. Tanpa menyisakan penjelasan.
 

Pharmindo, 25 Oktober 2013.

Jumat, 18 Oktober 2013

The Naked Kitchen (2008)

Can you love two people at same time?


Ahn Mo-Rae (Shin Min-Ah) sedang berusaha mencari hadiah diberikan pada suaminya, Han Sang-In (Kim Tae-Woo) pada hari ulang tahun pernikahan mereka yang pertama. Mo-Rae pergi melihat-lihat ke sebuah galeri seni untuk menemukan sebuah hadiah sempurna untuk selalu mereka kenang. Di galeri, Mo-Rae bertemu dengan seseorang tak dikenal yang baru sekali itu dijumpainya. Entah apa yang merasuki mereka, keduanya bercinta. Mo-Rae tidak dapat menahan godaan dari si pria tak dikenal ini. Kelak mereka akan saling mengenal.

Mo-Rae terus dihantui perasaan bersalah. Mo-Rae dilanda kebimbangan, antara menyimpan rapat-rapat rahasia itu atau malah berkata jujur pada Sang-In. Keakraban dan kedekatan yang terjalin sejak mereka masih kecil membuat Mo-Rae tidak punya pilihan selain berkata jujur. Sang-In rupanya mau mendengarkan, namun ia tidak mau mendengar cerita itu lebih jauh dan tidak mau membahasnya sama sekali. Kontan, hal itu membuat Mo-Rae semakin merasa bersalah. Bagaimanapun, Mo-Rae menyadari bahwa Sang-In akan mengetahuinya suatu hari nanti.

Usai makan malam di hari jadi perkawinan mereka, datanglah sahabat lama Sang-In. Park Do-Ree (Joo Ji Hoon), seorang chef yang kembali ke Korea atas inisiatif Sang-In yang mengajaknya untuk membuka restoran. Sang-In sendiri telah memutuskan untuk resign dari pekerjaannya sebagai pialang saham untuk menjalani passionnya selama ini, yaitu menjadi seorang juru masak dan membuka restoran sendiri. Untuk itulah Sang-In membutuhkan Do-Ree. Sang-In sengaja memanggil Do-Ree pulang dari Paris untuk tinggal di rumahnya.

Sebuah kebetulan bahwa pada saat perkenalan itulah Mo-Rae menyadari bahwa Do-Ree adalah pria yang bercinta dengannya di galeri seni. Mo-Rae semakin merasa tidak nyaman. Kini, tugasnya bukan hanya menyimpan rapat-rapat rahasia antara dirinya dengan Do-Ree, tapi juga harus menahan perasaan aneh yang terjadi antara mereka berdua.


Kisah cinta segitiga dalam satu atap dimulai. Sang-In sengaja memberi keleluasaan pada Mo-Rae untuk menemani Do-Ree berkeliling di sekitar tempat tinggal mereka. Kedekatan mereka berdua akhirnya terjalin semakin akrab. Berkali-kali Do-Ree mengungkapkan cintanya pada Mo-Rae. Do-Ree mencoba meyakinkan Mo-Rae bahwa cinta antara dirinya dengan Sang-In bukan cinta yang sebenarnya. Do-Ree meyakini cinta Mo-Rae kepada Sang-In adalah sesuatu yang ‘given’, terbentuk dari perasaan yang pelan-pelan tumbuh sejak mereka kecil. Do-Ree meragukan cinta Sang-In pada Mo-Rae. Namun, Mo-Rae tetap pada pendiriannya. Ia merasakan sesuatu yang lain pada Do-Ree namun ia tidak mau mengungkapkannya.

Pada satu kesempatan, Sang-In mulai mencurigai affair antara Mo-Rae dengan Do-Ree. Sang-In juga memiliki bukti kedekatan mereka akibat kecerobohan Kim Seon-Woo (Jeon Hye Jin II), sahabat Mo-Rae. Hal itu langsung membuat Sang-In menghajar Do-Ree habis-habisan. Do-Ree pun menyerang balik Sang-In dengan mengakui apa yang telah dilakukannya lalu mengungkapan perasaanya kepada Mo-Rae. Usai berkelahi habis-habisan, Sang-In menyadari bahwa semua pilihan ada pada Mo-Rae. Mo-Rae harus memilih, Sang-In yang telah bersama dengannya sejak lama atau pada totally complete stranger seperti Do-Ree. Mo-Rae tidak memilih namun ia memiliki pilihan hatinya sendiri.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


The Naked Kitchen adalah film pertama Shin Min-Ah yang saya tonton. Sebelumnya, saya sudah dibuat jatuh cinta pada Min-Ah dengan aktingnya di seri drama ‘My Girlfriend is A Gumiho’ dan ‘Ahrang and The Magistrate’ lalu pada suaranya yang ikut mengisi soundtrack Gumiho.

Pelajaran pertama dari film ini adalah: Live your passion. Sang-In sengaja meninggalkan pekerjaannya yang mapan hanya untuk menjalani kehendak hatinya yang lain, yang akan membuat dirinya sepenuhnya utuh dengan menjalankan bisnis barunya di bidang kuliner.

Selanjutnya, kemelut cinta segitiga Sang In-Mo Rae-Do Ree memberikan suatu sudut pandang bahwa mencintai seseorang adalah sebuah proses yang tak hanya ‘given’ saja. Tetapi juga membutuhkan hubungan dua arah, dimana keduanya saling merasa terikat dan saling mencintai sepenuh hati.

Anyway, kehebatan unsur film ini terletak pada inti cerita yang berpusat pada kisah cinta segitiga, tanpa mengurangi esensi dari sebuah culinary passion. Keduanya merupakan perpaduan bumbu utama yang menghadirkan perasaan geregetan dan penasaran.

Judul           : The Naked Kitchen
Sutradara    : Hong Ji Young
Cast            : Shin Min Ah, Kim Tae Woo, Joo Ji Hoon, Jeon Hye Jin II
Tahun         : 2008
Produksi     : CJ Entertainment


Pharmindo, 24 Agustus 2013.

Note: images taken from www.hancinema.net