Selasa, 29 Juni 2010

The Diary of a Traveler: Solitary Tour

Seperti yang pernah saya baca, perjalanan adalah petualangan menuju diri sendiri*. Dan kini, saya sedang mengalami perjalanan itu. Tujuan saya sudah jelas, Desa Kedungjati, Bukateja, Purbalingga. Semalaman, saya mengalami kebingungan yang lumayan mengganggu. Saya tak henti berpikir untuk menentukan terminal keberangkatan. Namun, saya segera tersadar bahwa dalam perjalanan yang terpenting adalah tujuan akhir, bukan dari mana kita berangkat. Berangkat bisa dari mana saja sepanjang pengetahuan kita memang memadai untuk mencapai tujuan itu. Maka, alternatif keberangkatan pun diputuskan antara terminal Grogol atau Pulogadung.

Mengingat saya harus bangun lebih pagi untuk mengejar bis yang berangkat pagi saya berusaha untuk menghindari pertandingan Inggris kontra Aljazair. Tetapi seringkali kenyataan berkata lain, saya malah bangun kesiangan sehingga mau tidak mau harus berangkat naik bis dari Pulogadung. Ya, pilihan paling logis untuk berangkat ke arah timur (Jawa Tengah dan Jawa Timur) adalah dari Pulogadung karena bis selalu tersedia dengan jadwal yang fleksibel.

Walaupun saya sudah sering bolak-balik ke terminal Pulogadung, saya belum pernah sekalipun naik bis arah timur dari sana. Tadinya, saya mau beli tiket lewat loket-loket yang tersedia. Namun, sebelum dihadang calo-calo yang berkeliaran saya memutuskan untuk berjalan kaki agak jauh hampir mendekati pool PO Dewi Sri sambil berharap ada bis Sinar Jaya lewat siap berangkat. Tak lama kemudian, Sinar Jaya AC Eksekutif Jurusan Jakarta-Tegal-Slawi nomor bodi 79 DX bermesin Hino RG dan dilengkapi air suspension menghampiri saya. Saya pun naik dan berharap sampai tujuan tepat waktu. Walau masterplan tetap Bukateja, Purbalingga, saya akan mampir dulu di rumah seorang kawan di Losari, Brebes. Mudah-mudahan, bis ini mengantarkan saya sampai sana sampai ceritanya berubah, nanti kau akan simak ceritanya.

Sinar Jaya dari Pulo Gadung
79DX yang saya naiki karoseri model Setra bukan Travego seperti ini


Sedikit kembali ke awal. Perjalanan ke Pulogadung hingga selepas tol JORR Cakung-Cikunir adalah tentang kenangan. Kenangan yang terlintas ketika hanya mampu berdiri menunggu Metro Mini P42 sedangkan Sinar Jaya dan bis AKAP lainnya hanya menyisakan debu-debu yang bertebaran and semburat dihajar asap knalpot yang hitam pekat. Kenangan lainnya saling beradu ketika terbayang segala ingatan tentang bis kecil dan Primajasa yang selalu keluar-masuk pintu tol Bekasi Timur. Untuk saya pribadi, pertama kalinya saya melintas jalur Pantura (dari Jakarta) dan pertama kalinya pula (nanti) merasakan jalan tol Kanci-Pejagan yang kemarin baru diresmikan.

Perjalanan ini terasa sangat menyenangkan karena saya hanya sendirian. Saya memiliki kebebasan dan kuasa penuh atas diri saya sendiri. Sendirian tanpa teman bagi saya bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan. Itu adalah konsekuensi logis dari tindakan seseorang seperti saya. Sebelumnya, Desember 2008 saya pun melakukan perjalanan sendirian ke Pangandaran, berbekal sedikit pengetahuan tentang bis Budiman. Jadi, hal ini mestinya tidak menyulitkan karena saya sudah pernah mengalami sebelumnya. Apapun yang terjadi, ada ataupun tanpa teman, saya akan tetap berangkat. Saya akan sampaikan salam dari teman-teman semua untuk kebahagiaan kedua mempelai walau harus menempuh perjalanan sendirian.

Sepanjang perjalanan, saya ditemani lantunan suara emas bossa nova dari Olivia Ong dan Susan Wong. Lain kali akan saya ceritakan perjumpaan saya dengan mereka. Lagu-lagu yang terkesan soft dan calm itu tidak berhasil membuat saya tertidur. Saya tetap terjaga. Barangkali, karena saya duduk di bangku paling depan sehingga tidak mau ketinggalan untuk melihat pemandangan khas Pantura. Kalaupun ada yang membuat saya sedikit gemas adalah ketika bis Sinar Jaya yang saya naiki disusul bis lainnya seperti Kramat Djati dan Dewi Sri jurusan Jakarta-Pekalongan serta Primajasa tujuan Garut, Tasik, dan Bandung.

Pantura yang gersang namun tetap memberi suatu perasaan yang menenteramkan dengan hamparan sawah yang menghijau luas. Tidak banyak titik kemacetan barangkali karena tengah bulan sehingga tidak terlalu banyak aktivitas kendaraan yang melewati jalur Pantura. Memasuki daerah Lohbener Utara, Indramayu, bis istirahat. Usai makan dan menunaikan shalat, saya mengamati bis yang saya naiki. Mendengarkan suara mesinnya dan melihat dari dekat kaki-kaki air suspension. Sejenak saya diam sambil menggumam “You’ve got a long way to go, Son.”.

Bis kembali berangkat. Setelah melewati daerah Arjawinangun, bis masuk tol Kanci-Pejagan. Saya kira hal ini tidak akan berpengaruh pada rute yang akan saya lalui sampai Losari sampai saya sadar kalau ternyata saya salah. SMS dari Budi, kawan saya, segera mengingatkan saya bahwa bis tidak akan lewat Losari, melainkan langsung bablas sampai Pejagan lalu lanjut ke Tegal. Mengetahui demikian, saya tidak bisa tidur sepanjang jalan tol. Jalan Tol Kanci-Pejagan yang baru diresmikan dan diurus oleh Bakrie Toll Road rupanya masih terlalu baru. Cor-coran jalannya masih terasa keras seperti pertama kali Tol Cipularang dibuka tahun 2005. Yang lebih membosankan adalah jalurnya yang lurus membentang hampir 39 KM. Bagi pengemudi tentu hal ini sangat berbahaya karena bisa menyebabkan kantuk. Lagipula, tidak ada tempat istirahat seperi di tol Cikampek-Jakarta. Rasanya bagaikan a long road to heaven**.

Setelah keluar dari pintu tol, bis menuju pertigaan jalan Losari-Tegal. Belok kiri Losari, Belok kanan Tegal. Atas petunjuk Budi, saya turun di pertigaan itu, 100 meter sebelum rel kereta api yang membentang sejajar dengan jalan raya utama. Saya pun segera menghampiri sahabat lama yang kini kembali pulang ke rumahnya di Losari. Jabat tangannya masih hangat dan mantap seperti waktu di Bumi Jatinangor dulu. Sore yang indah dan senja yang masih seperti biasa menutup hari tatkala perut telah terisi masakan rumahan khas Losari.

Malam minggu di Losari adalah malam yang biasa namun hangat. Anak-anak sudah pulang dan tidur di rumahnya masing-masing. Remaja-remaji yang masih mencari jat diri mencoba menghibur hati dengan keliling kota bersama kekasih. Menikmati malam minggu di Losari yang mungkin hanya sekali ini saja dalam episode hidup, saya mencoba untuk menikmati sate longong atau sate blengo, begitu kata Budi, teman saya itu. Blengo adalah hasil persilangan bebek dan mentog, dan hanya jantannya saja yang dagingnya enak buat dimakan. Kenyal-kenyal bebek dan daging sapi. Ditambah nasi atau lontong yang disiram sayur kari. Disajikan dengan tusukan sate yang panjangnya sekitar 30 cm. walau hanya makan 3 tusuk tetapi sudah cukup rasanya. Cukup nikmat dan cukup puas.

Sambil menikmati Tahu Tegal yang tampilannya mirip tahu batagor kami menghabiskan malam. Bulan setengah purnama tersenyum di langit. Angin berdesir pelan. Aroma kopi panas mewangi beradu dengan aroma cengkeh Djarum Super dan Surya Slims. Ada sedikit penyesalan malam itu. Mungkin itu kesalahan saya karena saya tidak cukup responsif untuk meyakinkan Perempuan dari Babakan itu agar mau dan percaya pada saya untuk bersama pergi berdua sampai tempat hajatan. Tiket kereta sialan yang sudah dipesan itu kali ini jadi penghalang rindu. Tetapi, itu tak jadi soal. Seperti yang sudah saya bilang di awal tadi, With or without her, saya akan tetap pergi kesana. Malam semakin meninggi, raungan truk barang terdengar semakin nyaring, persis seperti malam-malam di Jatinangor.

*

Hari Minggu. Lagi-lagi saya underestimate. Saya pikir saya akan sudah berangkat jam 7 pagi. Tetapi kesiangan lagi sehingga harus check-out dari rumah Budi jam 8.30. Itu pun masih sempat sarapan. Rencananya, saya akan lanjut ke Tegal untuk naik bis tujuan Purwokerto. Biasanya, Tegal menjadi transit bis tujuan Purwokerto sehingga akan mudah bagi saya untuk mencapai tujuan. Setelah ketinggalan bis Sahabat jurusan Cirebon-Tegal-Semarang karena terhambat di kasir mini market seberang agen PO. Dewi Sri, akhirnya tiba bis Goodwill trayek Bandung-Tegal-Purwokerto AC Ekonomi. Setelah berdiri sampai pertigaan Pejagan (tempat saya turun kemarin) saya membayar tiket seharga 25 ribu. Lumayan murah untuk perjalanan yang cukup memakan waktu ini.

Goodwill, Bandung-Tegal-Purwokerto, AC Ekonomi

Selanjutnya, perjalanan menuju Purwokerto diselingi dengan pemandangan indah khas Banyumasan selepas perbatasan Kab. Brebes dan Kab. Banyumas. Pemandangan hijau tanah subur alam makmur semakin menandakan kekayaan alam Indonesia ini. Entah karena memang jaraknya masih jauh atau bis yang tidak terlalu ngebut perjalanan terasa panjang. Tepat pukul 13.35 Goodwill masuk terminal Purwokerto. Penampilan terminal tidak jauh berbeda dengan yang saya lihat sebelumnya di website www.bismania.com. Dengan perasaan lega saya turun dari bis sambil plengak-plengok kiri kanan atas bawah, timur ke barat, selatan ke utara. Maklum, ini kali pertama saya menginjakkan kaki di bumi Banyumas.

Dengan sedikit bingung saya susuri satu per satu apron terminal antar kota. Tujuannya jelas: Wonosobo. Seorang calo yang menolak disebutkan namanya memberitahu jalur keberangkatan ke Wonosobo. Sebelum kesana, saya melewati jalur bis lainnya. Ada PO Efisiensi yang lebih popular dengan sebutan “Mbak Efi” dengan armada barunya melayani trayek Purwokerto-Jogja kelas Patas AC, sedangkan saingannya ada Sumber Alam yang menawarkan paket kelas eksekusi maaf kelas ekonomi. Ada juga bis tujuan Solo, Pemalang, dan Surabya. Nah, barulah mendekati ujung sebelum line bis arah Sumatra, yang pada hari itu dikuasai Lorena terselip bis-bis kecil mirip Trans Metro Bandung dengan tujuan Wonosobo.

Saya naik dan tak lama beberapa penumpang yang tadinya bersama saya di Goodwill ikut naik sehingga bis terisi penuh dan langsung meninggalkan terminal. Saya kira bis ini akan melaju dengan kecepatan normal tetapi ternyata saya salah. Karena biarpun kecil dan muatannya penuh, Pak Supir yang entah namanya siapa itu terus memacu bis dengan kecepatan diatas Metro Mini. Alhasil, perjalanan Purwokerto-Bukateja cukup ditempuh dengan waktu 45 menit dan ongkos 8 ribu rupiah saja. Saya turun di Perempatan Pasar Bukateja, tepat seperti SMS dari Neni. Melanjutkan perjalanan, opsi terakhir hanyalah becak. Bukateja hanyalah kota kecil di lintasan Purwokerto-Purwodadi-Wonosobo. Kehidupan kotanya pun masih bercorak tradisional agraris, tidak terlalu semarak dibandingkan Losari atau Cirebon.

Sesuai petunjuk Neni, saya bilang ke penarik becak minta diantarkan ke tempat hajatan di Desa Kedungjati lengkap dengan nama Bapaknya Neni yang saya kira bakal jadi semacam password yang akan mempermudah saya untuk mencapai TKP. Ternyata saya salah (lagi). Bapak penarik becak rupanya tidak tahu dan malah mengantarkan saya ke depan rumah Yang Terhormat Bapak Kepala Desa. Setelah memperkenalkan diri sebagai tamu dari yang punya hajat dan menyebutkan asal dari Jakarta barulah Pak Kepala Desa yang baik hati menunjukkan arahnya. Tak lama kemudian, saya berhasil menuju TKP. Orang terakhir yang saya tanyai adalah tetangga yang punya hajat yang menyambut saya dengan ramah sambil menunjukkan lokasi.

Naik becak membuat saya keringatan namun itu segera terbayar karena Neni rupanya menyambut saya di pintu masuk TKP. Saya langsung bercengkerama dengan orang tua yang punya hajat, Bapak dan Ibunya Neni. Setelah itu, kami saling bertukar cerita tentang apa yang terjadi selama ini diantara teman-teman kuliah sambil menikmati hidangan. Ada fakta yang menarik, bahwa setiap hajatan pernikahan di daerah itu akan berlangsung terus menerus sepanjang hari sampai besoknya walau tenda sudah diturunkan. Menarik, karena saya pikir saya sudah terlalu kesorean dan mungkin saja hajatan sudah selesai. Tetapi, kenyataan bahwa apa yang Budi bilang semalam itu memang kenyataan. Hajatan masih berlangsung dan saya tidak terlambat. I made to the FINISH LINE, but still, you have a long way to go, Son!


(end of Part I: klik untuk sambungan cerita to be continued)


Paninggilan-Banjarbaru-Bandung, 29 Juni 2010. 23.08



*kalau tidak salah ada dalam kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma, “Atas Nama Malam”, Gramedia Pustaka Utama, 1999

** dari satu judul film yang bercerita tentang teroris bom bali, dibintangi Surya Saputra dan Alex Komang. Disutradarai oleh Enison Sinaro. Dirilis Januari 2007, produksi Kalyana Shira Films.

*)foto bis courtesy Rado Sinaga, Julian Bismania, www.bismania.com



Tidak ada komentar: