"Sastrawan tak akan pernah
ketinggalan bila dibanding wartawan! Karena sastrawan memang tidak
berlomba dengan wartawan, dan sia-sialah usaha seorang wartawan, yang
hendak berlomba dengan sastrawan." *)
Buku
ini merangkum wawancara Mochtar Lubis dengan beberapa wartawan dari
berbagai media cetak negeri ini. Kumpulan ini secara tidak langsung
mendokumentasikan buah pikiran, ide, dan gagasan Mochtar Lubis dalam
rentang waktu 20 tahun. Dimulai dengan artikel wawancara tertanggal 18
April 1975 dan berakhir dengan artikel tertanggal 23 November 1995.
Sampul Buku |
Sesuai
dengan judulnya, Mochtar Lubis benar-benar bicara lurus. Artinya,
Mochtar bicara secara gamblang dengan gayanya, penuh dengan konsistensi
atas segenap permasalahan yang dijadikan topik dan pertanyaan wawancara.
Buku ini seakan membuka tabir Mochtar Lubis dalam perannya sebagai
wartawan dan sastrawan.
Banyak hal disinggung dalam buku ini, mulai dari persoalan yang dihadapi bangsa ini sejak pra-kemerdekaan hingga masa kejayaan Orde Baru pada 80-90an. Dalam kesemuanya itu, sikap konsistensi Mochtar Lubis tidak pernah berubah. Sebagai contoh, simak tanggapan beliau soal kemerdekaan Indonesia yang tidak memerdekakan manusia Indonesia itu sendiri. Pernyataan beliau soal kemerdekaan itu selalu muncul berulang-ulang dalam berbagai judul artikel. Bagi Mochtar Lubis, pengejawantahan demokrasi Pancasila dan hak azasi manusia masih jadi isu retoris belaka dan tidak pernah benar-benar diamalkan.
Banyak hal disinggung dalam buku ini, mulai dari persoalan yang dihadapi bangsa ini sejak pra-kemerdekaan hingga masa kejayaan Orde Baru pada 80-90an. Dalam kesemuanya itu, sikap konsistensi Mochtar Lubis tidak pernah berubah. Sebagai contoh, simak tanggapan beliau soal kemerdekaan Indonesia yang tidak memerdekakan manusia Indonesia itu sendiri. Pernyataan beliau soal kemerdekaan itu selalu muncul berulang-ulang dalam berbagai judul artikel. Bagi Mochtar Lubis, pengejawantahan demokrasi Pancasila dan hak azasi manusia masih jadi isu retoris belaka dan tidak pernah benar-benar diamalkan.
Tidak hanya itu, Mochtar Lubis juga menyinggung soal kehidupan sastra di Indonesia. Terutama, beliau menyorot persoalan yang muncul antara Manikebu dan LEKRA. Tidak hanya sampai disitu, beliau membahas juga kontroversi yang muncul seputar dirinya dengan Pram (Pramoedya Ananta Toer), dan juga soal penganugerahan Magsaysay Award yang secara terang-terangan ditolaknya. Yang menarik, ada nama lain yang juga muncul selain penguasa Orde Lama dan Orde Baru, yaitu Budi Darma.
Sebagai
sesama sastrawan, Mochtar Lubis menganggap bahwa tidak sepantasnya Budi
Darma melakukan kritik sastra. Dengan kata lain, Budi Darma tidak
sepantasnya melakukan kritik atas karya sastra orang lain agar tidak
kehilangan objektivitas dalam penilaian karya sastra tersebut. Alasan
tersebut cukup masuk akal mengingat sikap Mochtar Lubis sendiri yang
tidak pernah melakukan timbangan atau kritik sastra. Perlu dicatat juga
bahwa mungkin saja alasan Budi Darma berperan sebagai kritikus
dipengaruhi oleh latar belakang akademik yang mengharuskannya melakukan
kajian-kajian sastra.
Buku ini setidaknya menggambarkan sikap seseorang yang teguh memegang prinsip dan setia pada amanat perjuangannya. Mochtar Lubis dengan 'lurus' bicara segala macam persoalan bangsa ini dengan konsistensi yang tidak tergoyahkan. Membacanya, justru akan menambah khazanah pengetahuan khalayak melalui penuturan seorang tokoh bangsa yang mengakhiri perjuangannya dengan paripurna.
Insert halaman buku: Foto-foto kenangan Mochtar Lubis |
Insert halaman buku: Mochtar Lubis bersama anak angkat di Vietnam |
Insert halaman buku: Mochtar Lubis di Vietnam |
Insert halaman buku: Mochtar Lubis dengan anak angkat di Vietnam |
Catatan Seorang Kolumnis Dadakan
Ada
beberapa hal yang saya cermati dalam buku Mochtar Lubis ini. FYI, buku
ini adalah buku Mohctar Lubis kesekian yang saya baca setelah Jalan Tak
Ada Ujung, Senja di Jakarta, dan Harimau-Harimau (tidak tamat).
Saya
tidak tahu apakah Mochtar Lubis ini juga tergolong ke dalam 'kaum
futuris' yang selalu memimpikan tatanan baru Indonesia dalam Demokrasi
Pancasila. Hal ini tersirat dalam satu petikan wawancara soal suksesi
kepemimpinan tahun 1998 lalu. Mochtar Lubis telah lama memprediksi bahwa
akan ada suksesi setelah tahun 1998 karena konstelasi politik dan
tuntutan rakyat. Nyatanya, seperti yang telah kita alami sendiri,
Soeharto mengakhiri masa kekuasaannya pada tahun 1998 tersebut.
Dalam
catatan yang saya selipkan selama membaca buku ini muncul beberapa
topik yang relevansinya masih tinggi dengan keadaan negeri kita saat
ini. Sudah dari zamannya Mochtar Lubis bahwa partai dan DPR (Dewan
Perwakilan Rakyat) yang seringkali mengaku sebagai penyambung lidah
rakyat kehilangan kepercayaan dari rakyat itu sendiri. Kecenderungan
tersebut menyebabkan keadaan politik yang tidak pernah stabil dan rawan
KKN. Keadaan seperti itu masih berlangsung setidaknya sampai saat ini.
Dengan demikian, sejarah telah menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang
berulang. Entah bangsa kita yang gagal belajar darinya.
Soal
kehidupan sastra di negeri ini, saya angkat topi pada sikap Mochtar
Lubis yang 'menahan' dirinya untuk tidak tampil sebagai sastrawan
sekaligus kritikus sastra. Sila simak beberapa wawancara, Mochtar Lubis
beberapa kali menyatakan bahwa ia tidak akan mau untuk menulis suatu
kritik atas suatu karya tertentu sesama sastrawan. Tentu saja, hal itu
dilakukannya demi menjaga objektivitas.
Persoalan
lain yang muncul soal sastra adalah perseteruannya dengan Pram.
Mochtar Lubis mengecam sikap Pram yang mengangkangi kebebasan
berekspresi dalam sastra melalui segenap intimidasi pada harian Lentera
yang dipimpin Pram. Menurut Mochtar Lubis, Pram telah melakukan
kesalahan dalam sejarah sastra Indonesia dengan 'membakar' semua karya
sastrawan anggota Manifest Kebudayaan. Harapannya hanya satu, agar
mengingatkan kaum muda untuk tidak begitu saja melupakan sejarah yang
terjadi pada masa itu.
Menurutnya,
Pram tidak pernah mengakui kesalahannya itu. Mochtar Lubis dapat
menerima karya-karya Pram tetapi tidak untuk sikapnya yang hanya diam
ketika disinggung soal pembakaran tersebut. Mochtar Lubis tidak menuntut
apa-apa kecuali Pram mau mengakui kesalahannya itu. Hingga saat Pram
dianugerahi Ramon Magsaysay Award, sikap yang demikian itu tidak
berubah. Sebagai protes atas penghargaan tersebut, Mochtar Lubis
mengembalikan semua hadiah yang ia terima ketika mendapatkan penghargaan
serupa yang diterimanya jauh sebelum Pram dinominasikan.
Entah
pembaca mau menganggap Mochtar Lubis sebagai seorang utopis, idealis,
sekaligus realis, yang jelas konsistensi sikapnya itu perlu jadi
teladan. Mochtar Lubis tidak sembarang berkata. Semua yang diucapkannya
dalam 'rekaman wawancara' ini menunjukkan konsekuen dan konsistensinya.
Dan yang terpenting semua itu diungkapkannya sebagai sintesa sebuah
pengalaman karena ia sendiri telah mengalami semua yang ia katakan itu.
Kesesuaian tingkah laku dan ucapannya menjadi semacam 'trademark' yang
sudah melekat bagi sebuah simbol atas nama: Mochtar Lubis.
Judul : Mochtar Lubis Bicara Lurus: Menjawab Pertanyaan Wartawan
Penulis : Ramadhan K. H (editor)
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun : 1995
Tebal :315 hal.
Genre : Memoar-Tokoh
Paninggilan, 18 Desember 2012.
*) Petikan wawancara redaksi Memorandum, halaman 4.