And when the daylight comes I'll have to go
But tonight I'm gonna hold you so close
“Tuh kan, lagu itu lagi. Ngaku deh, loe lagi LDR-an kan?” Bimo membuatku kaget.
Aku segera menyembunyikan ponselku. Aku tidak ingin Bimo tahu kalau aku benar-benar sedang memutar lagu itu.
“Ih, sok tau banget deh! Aku lagi seneng aja, secara Maroon 5 gitu.” Jawabku sebisanya.
“Udah deh ngaku aja. Loe kangen sama dia kan?” Bimo tidak mau kalah.
“Apaan sih, Bim. Cabut duluan ya. Bye” Aku segera menghindar.
“Yee, gue dateng malah pergi.”
Bim, kok kamu tahu banget sih aku lagi kangenin dia.
Aku bicara pada diriku sendiri. Setidaknya, Bimo telah menjawab satu
keraguan dalam benakku. Aku mulai ragu dengan keputusanku untuk
menjalani long distance relationship bersama Dimas. Untuk sebuah alasan
standar kami harus berpisah. Dimas masih ingin sekolah, jadi ia
melanjutkan studinya di Groningen sana. Apalah yang aku tahu soal
Groningen? Tidak ada satupun. Kecuali klub sepakbola FC Groningen yang
nampaknya selalu jadi tim penggembira di Hollandsche Eredivisie.
Aku
tidak pernah merasa bahwa ini adalah keputusan terbaik yang pernah aku
ambil. Sudah jelas, ini adalah yang terbaik yang aku bisa untuk Dimas.
Dimas sendiri tidak pernah bicara banyak soal rencananya ke depan. Pun,
ketika harus membicarakan soal ini denganku. Dimas sudah siap menerima
kenyataan untuk saat ini dan yang akan tiba. Dimas sepertinya tidak
pernah berpikir sedikitpun tentang aku.
Aku heran dengan
sikap Dimas yang seperti itu. Dimas tidak menyadari bahwa perpisahan
kemarin sungguh berat untukku. Apakah aku yang terlalu cinta? Aku juga
tidak tahu. Aku hanya ingin selalu bersamanya. Tidak lebih. Kini, aku
harus melintasi dimensi ruang dan waktu hanya untuk mendapatkan kabar
terbaru darinya.
Bimo, apa yang dia tahu soal hubunganku
dengan Dimas? Mengapa dia seakan begitu tahu perasaanku. Aku tidak
mengerti mengapa Bimo bisa tiba-tiba menohokku dengan pertanyaan seperti
tadi pagi.
We knew this day would come
We knew it all along
How did it come so fast?
Dearest Dimas,
Udah seminggu ini kamu nggak kirim kabar, how are you there? Everything’s fine?
Ik het jou lief,
Dina
Aku
hanya mampu menafsirkan rindu sebatas kalimat pendek dalam email. Aku
sadari betapa berat beban menahan rindu ini. Aku ingin mengatakan
semuanya. Namun, jemariku hanya mampu sebatas itu saja. Sisanya,
berkecamuk dalam pikiran belaka.
Apakah kamu sudah
tidak punya waktu untukku? Tidak adakah waktu luangmu untukku? Aku hanya
mohon padamu untuk mengabariku secepat mungkin kau bisa, karena aku
tidak mungkin mengharapkan kedatanganmu. Aku mohon sekali ini saja. Ada
yang ingin aku sampaikan.
Aku ingin marah. Aku
ingin melampiaskan semua rasa rindu yang selalu tertahan ini. Aku ingin
marah. Aku sadari kemudian bahwa aku hanyalah sendiri disini. Tidak ada
gunanya tanpa hadirmu disini. Aku ingin berkata pada siapa saja bahwa
aku....
Aku terkesiap dari lamunanku. Seketika
kata-kata itu buyar dan menghilang begitu saja. Kendati aku tidak pernah
meragukan kesungguhan Dimas kepadaku, aku tetap merasa lelah.
*
Pratidina
Pramesti. Sayang sekali, kamu hanya membuang-buang waktu hanya untuk
mencintai seseorang yang jauh disana. Let me tell you something.
Mencintai itu adalah ada. Untuk apa mencintai sedang dia tidak ada
untukmu, bersamamu disampingmu?
Aku hanya menggelengkan
kepala sambil mengamati Dina dari kejauhan. Ia tampak sendirian di
bangku taman itu. Hanya berteman sebuah buku bersampul ungu. Mungkin
sebuah novel pengobat rindu untuk kekasihnya yang jauh di Negeri Londo
sana.
“Din, kamu tahu nggak sih kalau kebutaan sejati itu ketika kamu sedang jatuh cinta?” Aku menghampirinya.
Dina tersentak dan seketika menutup buku bacaannya. Wajahnya tampak kesal.
“Maaf ya, Bim. Aku ada urusan apa sama kamu ya?”
“Nggak ada. Nggak ada apa-apa.”
“Please,
mulai sekarang kamu nggak usah nanya lagi soal gituan. Cukup aku aja
yang ngerasa. Kamu nggak sah ikut-ikutan sok care lah.”
Aku
hanya tersenyum mendapati perlakuan Dina seperti itu. Ia tidak
melanjutkan pembacaannya. Dina menunduk dan memejamkan matanya. Seakan
menahan amarah yang siap meledak. Aku kira Dina akan menangis. Ternyata
tidak. Dina membetulkan letak kacamatanya dan mengemas bukunya.
“Din, mau kemana?”
“Bukan urusan kamu!”
“Din, tidak ada tempat persembunyian luka sebaik air mata. So, kalau masih kangen kamu mending nangis aja. Nggak apa-apa kok.”
Dina langsung memukulku dengan tasnya. Dina kelihatan marah sekali.
“Kamu tahu apa soal Dimas? Pake ngajarin aku buat nangis segala. Emangnya aku ini perempuan apaan heh?” Dina terus merangsek.
“Din, sebentar Din.” Aku mengelak.
“Kamu
pikir kamu lebih tahu dari aku? Kamu pikir gampang buat lupain orang?
Kamu pikir kamu hebat? Kamu pikir aku nggak tahu kalau kamu masih gagal
move-on dari Arina.”
Arina. Dina menyebut nama Arina.
Sebuah nama yang membuatku tersirap dari sadarku dan membiarkan Dina
terus memukuliku. Hingga akhirnya berhenti dan nafasnya terengah-engah.
“Kamu
harus sadar Bim, kalau Arina itu sudah menikah dan bahagia dengan
hidupnya. Kamu nggak perlu lagi mengharap apa-apa dari dia. Kalaupun
Arina nggak bahagia, itu urusan dia. Biarin dia urus urusannya sendiri.
Kamu nggak perlu lakuin apa-apa buat dia. Enough is enough, Bim. Game
over when she said it’s over!”
*
Seminggu
kemudian, aku dan Dina pergi bersama. Dina tampak cantik dengan
kerudung hitam yang membalut rambutnya yang sebahu. Tak lama kami sudah
sampai di sebuah acara pemakaman. Para pelayat mulai berlalu,
meninggalkan kami berdua yang menatap sebuah pusara.
“Bim, make your last wish for her.”
Pharmindo, 26 Oktober 2013.