Saya
termasuk pembaca yang bersyukur dengan terbitnya edisi cetak ulang dari
karya-karya Ahmad Tohari. Sebut saja, Kubah, Senyum Karyamin, Mata Yang
Enak Dipandang, hingga Di Kaki Bukit Cibalak. Saya tidak lagi perlu
bertanya-tanya kapan bisa membaca karya beliau yang dulu hanya bisa
ditemui dalam bibliografi. Judul lainnya, saya rasa tinggal hanya
menunggu waktu saja untuk diterbitkan kembali. Republished atau
reprinted.
Secara
umum, Ahmad Tohari masih meninggalkan signature individunya yang khas
dan detail mengenai latar belakang cerita dalam konteks kehidupan di
pedesaan yang sederhana. Latar yang digunakan untuk bukunya ini kurang
lebih sama dengan suasana alam yang kental dalam trilogi Ronggeng Dukuh
Paruk-Jantera Bianglala-Lintang Kemukus Dini Hari. Novel ini terhitung
novel singkat. Tentu bagi pembaca yang sudah mafhum dengan novel lain
karya beliau.
Berlatar
pada tahun 1970-an dimana pembangunan yang digaungkan Orde Baru terasa
hingga ke desa Tanggir. Desa yang begitu damai hingga akhirnya penuh
kemelut akibat pemilihan kepala desa yang tidak jujur. Imbasnya, desa
Tanggir menjadi sorotan setelah seorang warganya yang tidak mampu
berobat mendapat simpati begitu besar usai kemunculan beritanya di
sebuah harian lokal yang terbit di Yogyakarta.
Adalah
Pambudi, putra desa Tanggir yang tersingkir usai berselisih dengan
Kepala Desa yang berhasil mengantar Mbok Ralem menuju kesembuhan
penyakitnya. Usahanya di kota besar itu kemudian malah menjadi pukulan
baginya karena sang Kepala Desa tidak senang dengan teguran dari Pak
Camat, yang juga mendapat teguran dari atasannya, Pak Bupati.
Sekembalinya
dari urusan dengan Mbok Ralem, Pambudi juga menemui dirinya dalam
ancaman fitnah yang dilancarkan mantan koleganya di Koperasi Desa, Poyo.
Ia membuat pencatatan laporan keuangan palsu yang membebankan hilangnya
kas Koperasi atas nama Pambudi.
Pambudi
merasa tidak ada lagi gunanya untuk melalukan 'perlawanan' di desanya
sendiri. Ia dengan berat hati meninggalkan desanya dan pergi ke
Yogyakarta. Sebuah keputusan yang tidak mudah karena harus meninggalkan
tambatan hatinya, Sanis.
Petualangannya
di Yogyakarta membawa Pambudi pada petualangan baru dalam hidupnya. Ia
sudah bertekad untuk ikut ujian masuk kuliah. Ia juga sempat bekerja
pada seorang pedagang arloji dan akhirnya berlabuh kembali ke harian
'Kalawarta'.
Keberhasilannya
di Yogya bukan tanpa tragedi. Pambudi harus merelakan Sanis diperistri
oleh sang Kepala Desa yang culas dan bajul itu. Kendati begitu, Pambudi
lagi-lagi harus mengalami pergulatan batin yang juga tidak mudah kala
berhadapan dengan Mulyani, anak pemilik toko arloji majikannya dulu.
Ahmad
Tohari menyajikan sebuah cerita ringan yang sarat konflik tanpa
meninggalkan ciri khasnya: alam pedesaan, tokoh anti-hero, dan
kesewenangan penguasa. Sekilas, rasanya seperti membaca 'Orang-Orang
Proyek' namun dengan jalan cerita yang lebih pendek. Novel ini seakan
ingin bercerita bahwa sekecil apapun pengorbanan akan mendapatkan hasil
walaupun menuntut pengorbanan lainnya.
Judul : Di Kaki Bukit Cibalak
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 192 hal.
Tahun : 2014
Genre : Fiksi-Nove Tebal : 192 hal.
Tahun : 2014
Dharmawangsa, 28 Juni 2015