Jumat, 28 Oktober 2011

Living in Harmony a la Fariz RM

Awalnya saya cenderung skeptis ketika melihat buku terbaru karya Fariz RM berjudul Rekayasa Fiksi. Kalau tidak salah, buku itu diterbitkan untuk menandai kiprah Fariz RM di jagad permusikan Indonesia. Saya tidak menyangka bahwa seorang musisi sekelas Fariz RM mampu membuat tulisan yang kemudian dikumpulkan dalam satu bentuk buku.


Belakangan, skeptisitas saya itu semakin tidak beralasan. Kelak, saya semakin sadar bahwa buku ini adalah 'prelude' untuk Rekayasa Fiksi. Saya tahu itu ketika perlahan membaca halaman demi halaman dari buku pertama Fariz RM ini: Living in Harmony. Terbagi dalam tiga bab, berisi tentang pengalaman-pengalaman Fariz RM selama menggeluti dunia musik. Mulai dari jadi seorang center of attention hingga memainkan peran sebagai musisi belakang layar.

Fariz RM seorang musisi yang piawai memainkan berbagai instrumen ini pandai juga dalam mengutarakan hal-hal yang menjadi kegelisahan musisi seperti dirinya. Sejatinya demi eksistensi dan kontinuitas karya yang dihasilkan. Maka, jangan heran bila beliau pun sanggup memberi kritik untuk musisi pendatang baru yang kerap berkarya hanya demi setumpuk rupiah belaka. Hanya jadi one-hit-maker lalu jual Ring Back Tone, selesai urusan!

Buku ini menguak lebih dalam sisi kehidupan Fariz RM. Bisa dikatakan, jadi semacam memoar atau catatan pinggir ala Goenawan Muhammad. Hitam dan putih kehidupan  dunia yang digeluti Fariz RM (termasuk kasus kepemilikan narkoba) agaknya membuat beliau harus memberikan sesuatu untuk dunia musik Indonesia. Tidak melulu dengan karya dan konser spektakuler. Melainkan dengan pemikiran out-of-the-box agar kita mampu berkaca dan semakin mengasah pemahaman.

Tak salah kiranya bila musisi yang menciptakan lagu "Barcelona" ini sendirian mendapat predikat sebagai Maestro. Pengalaman demi pengalaman telah membawa Fariz RM menjadi sosok jenius dan kreatif dalam bermusik (baca: berkarya).

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Akhir-akhir ini, saat dan setelah membaca buku ini saya jadi doyan nonton/streaming konser musisi (dalam dan luar negeri). Sekedar iseng (entah karena  posesivisme) saya convert video hasil streaming menjadi mp3. Dari dalam negeri, saya tentu penasaran dengan aksi panggung Fariz RM sendiri. Kebetulan, di Java Jazz 2011 kemarin beliau membawakan medley lagu Sakura dan Barcelona.

Sungguh suatu penampilan dan totalitas yang sempurna. Tidak hanya dalam kata-kata yang beliau sendiri tulis dalam buku tetapi benar-benar dibuktikan lewat aksi panggung yang menawan lengkap dengan gubahan aransemen yang segar.

Dari luar negeri, saya simak penampilan Linkin Park, Limp Bizkit, Matchbox 20 (termasuk episode Storyteller VH1), Muse, Oasis, Radiohead, dan Alanis Morisette. Aksi panggung mereka memang sudah tidak diragukan lagi. Saya melihat penonton yang hadir dalam konser-konser mereka tidak hanya mampu larut dalam suasana fanatisme yang lazim. Mereka bahkan menjiwai setiap lirik lagu yang dibawakan artis pujaannya tersebut.

Ada beberapa hal yang menarik bahwa totalitas berkarya itu sangat nyata selain aksi panggung/performance. Berbekal pengalaman sebagai arranger, composer, produser, dan player yang terlibat dalam penciptaan 159 album. Begitu makna yang saya tangkap dari cerita-cerita beliau dalam buku. Bahwa kejujuran dan totalitas dalam berkarya tentu semakin menampakkan jatidiri, identitas, dan kualitas karya seorang musisi.

Sungguh semua itu harus jadi pelajaran bagi musisi muda Indonesia bila masih ingin dikenang sebagai musisi papan atas at least lima tahun ke depan. Bukan hanya sekedar jadi penggembira yang punya banyak album dan sering tampil di panggung off air yang berlabel acara TV tertentu saja.

Kondisi ini sangat faktual. Betapa banyak lagu-lagu lawas kemudian direcycle dan dinyanyikan kembali oleh penyanyi pendatang baru sebagai jalan pintas menuju popularitas. Maka benarlah kata Superman Is Dead: nyanyikan lagu orang lain dan kau akan terkenal!* 

Belajar dari Fariz RM, artinya kita dihadapkan pada problematika untuk tetap mempunyai jatidiri yang semakin terasah dengan ketekunan dalam berkarya tetapi lantas tetap selaras dengan norma-norma di sekitar kita. Sehingga, karya-karya yang dihasilkan akan tetap abadi dan masih akan tetap dinyanyikan orang. Bukan hanya sekedar dikenang dan jadi bagian sejarah semata.

Judul: Living in Harmony: Jatidiri, Ketekunan, dan Norma. Catatan Ringan Fariz RM.
Penulis: Fariz RM
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun: 2009
Tebal: 312 hal.
Genre: Musik-Memoar


Medan Merdeka Barat-Paninggilan-Pharmindo, 2-17 Oktober 2011.

* dari penggalan lirik lagu Superman Is Dead, "Punk Hari Ini"

Tidak ada komentar: