“Jatuhnya Ibu Kota karena
serangan Belanda, tidak berarti akhir perjuangan kita. Tetapi dari situ,
justru rakyat Indonesia akan memulai perjuangannya yang sengit dan
ulet, dan sama sekali tidak mengenal ampun. Republik akan tetap terus
berdiri, meski para pemimpin negara ditangkap musuh. Prinsip pokoknya,
rakyat akan tetap melanjutkan perjuangan..”
Menteri Penerangan, Moh. Natsir – hal. 73
Prolog
Pembacaan
atas buku ini diniatkan sejak membaca buku “Soedirman: Seorang
Panglima, Seorang Martir” terbitan Tim Buku TEMPO, Desember 2012. Buku
kecil yang memuat riwayat singkat Panglima Besar Soedirman, karir
kepemimpinan militer, hingga kontroversi yang melingkupinya. Sebagian
isi buku bercerita soal Agresi Militer Belanda ke-2 yang dipimpin oleh
Letnan Jenderal Simon Spoor, Panglima KNIL, dengan sandi Operatie Kraai
(Operasi Gagak) ke jantung republik di Yogyakarta.
Sebuah
artikel menyebutkan bahwa satu referensi yang secara detil
mengungkapkan soal Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang
dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, adalah buku ini, Doorstoot Naar
Djokja yang ditulis oleh Julius Pour. Atas asalan itulah, pembacaan atas
buku ini dilangsungkan sebagai ‘sambungan’ cerita sebelumnya dari buku
Panglima Besar Soedirman.
Naar Djokja
Doorstoot
Naar Djokja, bila diterjemahkan secara bebas (mengacu pada Google
Translate) adalah Tusukan ke Jogja. Barangkali, itu sebabnya dinamakan
Operatie Kraai atau Operasi Gagak. Serangan ke jantung Republik
dilangsungkan sejak 19 Desember 1948 pukul 00.00. Ribuan prajurit KNIL
(Koninklijke Netherlands Indische Lager-Tentara Hindia Belanda) didukung
puluhan pesawat tempur mengudara dari Lapangan Udara Andir di Bandung
menuju sasaran Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta.
|
Simon Hendrik Spoor, Panglima KNIL |
Serangan
ke Maguwo dilaksanakan oleh KST (Korps Speciale Troopen-Korps Pasukan
Khusus) untuk segera menduduki lapangan terbang dan membuat jembatan
udara dengan pasukan kiriman dari Kalibanteng Semarang. Sebelum
berangkat terbang, pasukan para KST melagamkan mars untuk menaikkan
moral mereka “..naar Djokja.. naar Djokja..”.
Penyerbuan
mendadak ke Yogyakarta ini tidak pernah diduga oleh Pemerintah Republik
sebelumnya. Berhubung Komisi Tiga Negara (KTN) masih berada di
Kaliurang, Yogyakarta. Pengalaman lebih dahulu membuktikan bahwa Belanda
akan kembali mengulang hal serupa seperti yang dilakukannya pada Agresi
Militer ke-1, 21 Juli 1947.
|
Pesawat Bomber KNIL di Lapangan Terbang Andir, Bandung |
Saat
itu, Belanda mengumumkan bahwa pasukannya telah melintasi garis
demarkasi Van Mook pada pukul 00.00. Berdasarkan kenyataan itu, Kolonel
TB Simatupang mencoba meyakinkan Bung Hatta. Secara logis, Bung Hatta
meyakinkan bahwa kemungkinan Belanda menyerang sangat tidak masuk akal.
Sedangkan, para pemimpin militer sudah melihat kemungkinan akan
datangnya serangan Belanda sehingga militer telah menyiapkan Perintah
Siasat dari Panglima Besar Soedirman.
Melalui
siaran radio hari Sabtu, 18 Desember 1948, Wakil Agung Mahkota Kerajaan
Belanda, Dr. Louis Van Beel, mengeluarkan maklumat bahwa ia akan
mengumumkan sesuatu pada esok pagi. Hal ini menimbulkan pertanyaan di
benak para pemimpin Republik. Tidak biasanya pengumuman dari Belanda
datang pada hari Minggu. Kecurigaan terhadap kemungkinan serangan pun
semakin meningkat.
Pengambilan
keputusan yang berjalan alot di KTN antara kedua negara bersengketa
telah membuat Belanda memainkan intrik. Saluran komunikasi sengaja
diputus. Kemudian, Van Beel juga ‘memainkan’ surat Merle Cochran,
komisioner KTN. Sehingga, Perdana Menteri Dr. Drees di Den Haag pun
tidak mempunyai pilihan lain selain memberi otorisasi kepada Simon Spoor
untuk melaksanakan Aksi Polisionil (sebutan Belanda untuk tindakan
agresi militer ke Republik Indonesia) setelah menimbang semua laporan ia
terima.
Sabtu
malam pukul 21.00, Jusuf Ronodipuro dipanggil menghadap ke Istana
Rijswijk (kini Istana Merdeka) dalam kapasitasnya sebagai perwakilan
delegasi Republik. Dalam kesempatan itu, Jusuf menerima sebuah surat
dari Wakil Agung Mahkota bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda merasa telah
tidak terikat dengan perjanjian Renville.
“The
said agreement should be terminated and is considered as no longer
binding as from Sunday, 19 December, 1948, 00.00 hours Batavia time.” (hal.15)
Peran
Delegasi Republik di Batavia dalam menyiarkan berita soal penyerangan
ini sangat penting. Mereka kemudian menyusun laporan soal kejadian itu
dan segera mengirimkan telegram kepada Duta Besar Republik Dr.
Soedarsono dan Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di New
Delhi, India, melalui saluran telegram milik Konsulat Jenderal India di
Jakarta. Sehingga, pada hari Minggu keesokan harinya All India Radio di
New Delhi sudah dapat menayangkan berita bahwa tentara Belanda telah
menyerang dan membom Yogyakarta.
Minggu,
19 Desember 1948. Pesawat pertama pengangkut KST berangkat dari Andir,
Bandung. Menyusul pesawat lainnya yang terang setiap satu menit. Pukul
08.00 pagi Dr. Louis Beel membacakan pengumuman yang isinya serupa
dengan suratnya kepada Delegasi Republik di Batavia. Sedangnya, 3,5 jam
sebelum pidato Beel dibacakan, tepat pukul 05.15 Landasan Udara Magoewo
sudah dihujani bom oleh tiga pesawat pengebom taktis B-25. Hal ini
menandai serangan pengecut dari pihak Belanda sebelum dikeluarkannya
pernyataan perang.
|
Pesawat Bomber KNIL menuju Yogyakarta |
Pemboman
terus berlanjut hingga KST berhasil menyelasaikan tugasnya dan pasukan
tentara KNIL bersama Marinir dari KM (Koninklijke Marine- Angkatan Laut
Kerajaan Belanda) dapat menyerbu ke Yogyakarta. Dengan kondisi demikian,
Presiden Soekarno segera mengadakan rapat kabinet guna menentukan
langkah apa yang akan diambil oleh Pemimpin Republik. Dalam sebuah
catatan, rapat kabinet tersebut dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman.
Namun, Panglima Besar tidak ikut masuk di ruang rapat melainkan menunggu
di ruang tamu Istana Presiden. Hal ini menjadi indikasi awal bagi anak
judul buku ini, yaitu pertikaian pemimpin sipil-militer.
|
Briefing Koninklijke Marine, 18 Desember 1948* |
Keputusan
telah diambil. Bung Hatta mengirim telegram untuk memberikan mandat
kepada Menteri Urusan Kemakmuran, Syafruddin Prawiranegara yang sedang
berada di Bukittinggi untuk membuka Pemerintahan Darurat Republik
seandainya pemimpin Republik di Yogyakarta ditahan Belanda. Kemudian,
pesan itu juga diteruskan bahwa Menteri Keuangan Alex Maramis yang
sedang berada di India untuk membuka Exile Government.
Presiden
beserta staf akan tinggal di Istana Presiden. Presiden Soekarno
menyatakan tidak akan ikut bergerilya bersama Panglima Besar Soedirman,
seperti sudah direncanakan sebelumnya bila Yogyakarta diserang musuh.
Kenyataan tersebut melukai hati Panglima Besar Soedirman. Bahwa Soekarno
‘melanggar’ janjinya sendiri untuk ikut memimpin perjuangan gerilya.
Dengan berbagai alasan, Panglima Besar Soedirman terpaksa menerima
kenyataan bahwa Pemimpin Republik telah ‘menyerah’ kepada Belanda.
Pertempuran
tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Pertempuran guna menghalangi
mobilisasi pasukan Belanda juga dilakukan di kota Solo, dipimpin oleh
Komandan Wehrkreise (Kantong Militer) I, Letkol Ignatius Slamet Riyadi.
Atas perintahnya, Solo kemudian dibumihanguskan dan pasukan Republik
mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perlawanan balasan secara
mendadak.
|
Panglima Besar Soedirman dilantik sebagai Pemimpin Angkatan Perang |
Serangan
Belanda yang bertujuan meringkus Pemimpin Republik serta menghabisi
tentara Republik ini berjalan begitu singkat sehingga pada Minggu siang,
Soekarna beserta pemimpin lainnya yang masih berada di Istana ikut
ditangkap Belanda. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diasingkan ke
Parapat, Sumatera Utara. Sedangkan, Bung Hatta, Ali Sastroamidjoyo,
Suryadarma, dan Moh. Roem, menyusul diasingkan ke pulau Bangka.
Dalam
keadaan gerilya, Panglima Besar Soedirman menerima kabar bahwa Pemimpin
Republik telah menyerah. Mereka ditangkap di Istana. Hal ini tentu
sangat menyakitkan hati Panglima Besar. Bagaimanapun, mereka tidak
melakukan perlawanan sedikit pun dan membiarkan diri mereka ditangkap
musuh. Keadaan ini ikut memperburuk kondisi kesehatan Panglima Besar
yang memang sudah ringkih.
Serangan Umum 1 Maret 1949
Perlawanan
demi perlawanan pun terus dilakukan di berbagai kota. Belanda masih
bernafsu untuk menghabisi Panglima Soedirman. Sedangkan, upaya diplomasi
melalui PBB pun terus dilakukan. Dewan Keamanan diminta segera
mengeluarkan resolusi terkait dengan agresi militer Belanda kepada suatu
negara berdaulat. Sementara perjuangan diplomasi terus berlanjut,
tentara Republik berusaha menyerbu kembali Yogyakarta. Serangan yang
kemudian terkenal dengan sebutan “Serangan Oemoem 1 Maret 1949”,
dipimpin oleh Komandan Wehrkreise III, Letnan Kolonel Soeharto, yang
kelak menjadi Presiden selama 32 tahun.
Serangan
itu dimulai usai bunyi sirine tanda jam malam berakhir. Letkol Soeharto
mempimpin sendiri pasukannya untuk menyerbu Yogyakarta. Serangan
tersebut berlangsung dengan sukses. Bukan saja mengejutkan tetapi juga
terkoordinasi dengan cermat. Pertanyaan kemudian muncul, siapakah yang
memberi otorisasi kepada Letkol Soeharto untuk melaksanakan serangan.
Perintah Panglima Besar Soedirman kepada Sultan Hamengkubuwono IX, untuk
tetap tinggal di kota dilaksanakan sepenuhnya oleh Sultan. Sehingga,
Sultan dapat mudah berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang berhubungan
dengan Sultan lewat kurir, bahkan bertemu sendiri dengan Sultan
sehingga dicapai kesepakatan untuk melakukan serangan. Serangan ini juga
berarti memberi pernyataan kepada dunia bahwa pasukan militer Republik
masih ada. Dengan cerdik, ketika serangan dimulai, dari basis operasi
radio di Wonosari, tersiar kabar bahwa pasukan Republik menyerang dan
dapat menguasai Yogyakarta. Sebuah pukulan besar bagi Belanda yang
kemudian menyerang Wonosari dengan sia-sia karena telah ditinggalkan
pasukan Republik.
|
Letkol Soeharto melapor kepada Sultan Djokja |
Melalui UNCI
(United Nations Commision for Indonesia), perjuangan diplomasi Republik
membuahkan hasil yaitu dengan dibebaskanny Pemimpin Republik. Pembebasan
tersebut dilakukan setelah Belanda mendapatkan desakan bertubi-tubi
dari komunitas internasional. Belanda sebagai negara penerima Marshall
Plan yang digulirkan Amerika Serikat untuk membangun kembali
perekonomian negara dicurigai menyalahgunakan dana tersebut untuk
menyerang Indonesia, suatu tuduhan yang kemudian terbukti.
Kembalinya Panglima Besar dan Silang Pendapat
Persoalan
kemudian mengemuka menjelang pelaksanaan gencatan senjata. Pada sidang
kabinet 15 Juli, pemerintah secara terbuka menuduh pemimpin militer
menyatakan gencatan senjata sulit dilakukan. Militer menganggap tidak
ada jaminan bahwa Belanda akan datang ke KMB (Konferensi Meja Bundar).
10
Juli 1949, Panglima Besar Soedirman kembali ke Yogyakarta, meninggalkan
persembunyian selama perjuangan gerilya berlangsung. Panglima Besar
kembali ke Yogyakarta dengan dijemput oleh Letkol Soeharto. Ikut bersama
rombongan adalah wartawan harian Pedoman, Rosihan Anwar. Petikan wawancara Rosihan Anwar dengan Panglima Besar segera dikirim ke Batavia.
Dalam
catatannya, Rosihan Anwar menulis bahwa Jenderal Soedirman tidak
menyetujui garis kebijaksanaan politik para pemimpin Republik yang
berada di Bangka. Perjanjian Roem-Roijen yang diterima tanggal 7 Mei
1949, tracee-Bangka, seperti digariskan Soekarno, pada pokoknya
akan menghentikan perang gerilya dan bersedia ikut dalam Konferensi Meja
Bundar di Den Haag, guna merundingkan penyerahan kedaulatan dari
Belanda ke Republik Indonesia Serikat, tidak dapat diterima sepenuhnya
oleh Panglima Besar Soedirman. Akibatnya, guna menghindari kesan
terjadinya perpecahan pendirian di pucuk pimpinan Republik, Panglima
Besar Soedirman harus bisa diajak kembali ke Yogyakarta.
|
Panglima Besar Soedirman bersama Letnan Kolonel Soeharto |
Panglima
Besar Soedirman menampakkan dirinya kembali ke tengah khalayak yang
menunggunya dengan pakaian sederhana yang selama itu digunakannya
bergerilya, pakaian sederhana seorang petani Jawa dengan ditutupi mantel
Tentara. Sebuah sikap yang jujur pada sejarah, mengutip penilaian TB
Simatupang.
Panglima
Besar Soedirman kemudian melapor ke Istana untuk bertemu Presiden dan
Wakil Presiden. Setelah itu, Panglima Besar beranjak ke Alun-Alun Utara
untuk menyambut parade pasukan. Sore itu, Panglima Besar Soedirman
selalu berdampingan dengan Soehart, salah satu perwira militer
kepercayaannya. Sosok yang memberikan jaminan pribadi sehingga Panglima
Besar bersedia meninggal tempatnya memimpin perang gerilya.
Melalui
berbagai pembicaraan, pada 1 Agustus 1949, gencatan senjata secara
resmi diumumkan. Gencatan senjata itu adalah kebijakan politik yang
konon sudah dirancang Presiden Soekarno dalam pengasingannya di Bangka.
Pada
hari itu juga, Panglima Besar Soedirman menulis surat kepada Presiden
Soekarno, yang pada intinya melukiskan akibat dari berubahnya kebijakan
yang ditempuh para pemimpin politik. Sejumlah perwira militer telah
mengalami geestelijke harakiri (bunuh diri jiwa). Meninggal
akibat penderitaan batin. Panglima Besar menunjuk contoh Letjen Oerip
Sumoharjo dan Kolonel Tjokronegoro. Kemudian, Panglima Besar juga
meminta persetujuan atas pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar
Angkatan Perang dan Kepala Staf Angkatan Perang, disertai dengan opsi
keluar sama sekali dari ketentaraan. Surat yang hendak dikirimkan oleh
Kolonel AH Nasution itu kemudian dibaca dan Kolonel Nasution menemui
Panglima Besar diruangannya. Kemudian, melalui pendapatnya yang
menegaskan persatuan pemimpin republik, Panglima Besar batal mengirim
surat itu.
Panglima
Besar menitip pesan pada Kolonel Nasution, mengharapkan agar Presiden
Soekarno sendiri yang memberikan pidato di radio untuk memerintahkan
gencatan senjata, berikut kebijakan politik yang mendasarinya.
Sejak
hati itu, meski tidak jadi mengundurkan diri, Panglima Besar Soedirman
praktis menarik diri dari segala macam kegiatan kemasyarakatan. Presiden
Soekarno sendiri sering merasa tidak nyaman, khusus pada sikapnya yang
memaksa memberlakukan gencatan senjata yang tidak disetujui Panglima
Besar Soedirman.
Catatan Seorang Kolumnis Dadakan
Membaca
kembali sejarah peristiwa yang menentukan keberlangsungan sebuah
Republik adalah ibarat menyusun puzzle. Kemudian, kepingan puzzle yang
berserakan itu kembali menyatu menjadi sebuah gambar utuh. Begitulah,
pembacaan atas sejarah Republik ini dilangsungkan. Pembacaan yang menggabungkan kembali berbagai pengalaman sejarah lainnya.
Doorstoot
Naar Djokja, dewasa ini menjadi sebuah referensi sekaligus catatan
sejarah perjalanan bangsa yang hadir ditengah modernisasi yang dialami
bangsa ini. Buku ini juga penuh dengan catatan sejarah pelakunya. Entah
itu pejuang Republik, tentara KNIL, maupun anggota komisioner KTN.
Seperti disebutka terlebih dahulu oleh penulisnya, maka catatan tambal
sulam ini menjadi lebih bermakna karena pembaca disuguhkan kepada bukti
otentik melalui catatan yang bersifat personal itu.
Personally,
saya menggarisbawahi beberapa nama yang kemudian tercatat dalam sejarah
Republik sebagai ‘pengkhianat’. Pembentukan dewan-dewan bersenjata di
beberapa daerah yang kemudian mencoba melakukan kudeta pasca
diberlakukannya rasionalisasi angkatan perang adalah bukti ketidakpuasan
militer terhadap kebijakan pemimpin politik. Memang pada akhirnya TNI
berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Namun, sangat disayangkan
bahwa Republik telah kehilangan putra-putra terbaiknya. Meniru ucapan
Syafruddin Prawiranegara menjelang ajalnya “rasanya lebih sakit dijajah bangsa sendiri...”.
Pengalaman
long-range reading bersama Doorstoot Naar Djokja telah membuka wawasan
pada sebuah tabir yang melingkupi sejarah Republik. Lengkap dengan
kiprah dan sepak terjang tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Khusus
mengenai silang pendapat pemimpin militer-sipil, semuanya terletak di
tangan pembaca. Siapa yang paling benar? Sejarah telah mencatat.
Judul : Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer
Penulis : Julius Pour
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : 2009
Tebal : 435 hal.
Genre : Sejarah
Paninggilan, 3 Maret 2013.