Minggu, 03 Maret 2013

Doorstoot Naar Djokja

“Jatuhnya Ibu Kota karena serangan Belanda, tidak berarti akhir perjuangan kita. Tetapi dari situ, justru rakyat Indonesia akan memulai perjuangannya yang sengit dan ulet, dan sama sekali tidak mengenal ampun. Republik akan tetap terus berdiri, meski para pemimpin negara ditangkap musuh. Prinsip pokoknya, rakyat akan tetap melanjutkan perjuangan..” 
  Menteri Penerangan, Moh. Natsir – hal. 73

Prolog

Pembacaan atas buku ini diniatkan sejak membaca buku “Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir” terbitan Tim Buku TEMPO, Desember 2012. Buku kecil yang memuat riwayat singkat Panglima Besar Soedirman, karir kepemimpinan militer, hingga kontroversi yang melingkupinya. Sebagian isi buku bercerita soal Agresi Militer Belanda ke-2 yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Simon Spoor, Panglima KNIL, dengan sandi Operatie Kraai (Operasi Gagak) ke jantung republik di Yogyakarta.



Sebuah artikel menyebutkan bahwa satu referensi yang secara detil mengungkapkan soal Serangan Umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, adalah buku ini, Doorstoot Naar Djokja yang ditulis oleh Julius Pour. Atas asalan itulah, pembacaan atas buku ini dilangsungkan sebagai ‘sambungan’ cerita sebelumnya dari buku Panglima Besar Soedirman.

Naar Djokja

Doorstoot Naar Djokja, bila diterjemahkan secara bebas (mengacu pada Google Translate) adalah Tusukan ke Jogja. Barangkali, itu sebabnya dinamakan Operatie Kraai atau Operasi Gagak. Serangan ke jantung Republik dilangsungkan sejak 19 Desember 1948 pukul 00.00. Ribuan prajurit KNIL (Koninklijke Netherlands Indische Lager-Tentara Hindia Belanda) didukung puluhan pesawat tempur mengudara dari Lapangan Udara Andir di Bandung menuju sasaran Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta.


Simon Hendrik Spoor, Panglima KNIL

Serangan ke Maguwo dilaksanakan oleh KST (Korps Speciale Troopen-Korps Pasukan Khusus) untuk segera menduduki lapangan terbang dan membuat jembatan udara dengan pasukan kiriman dari  Kalibanteng Semarang. Sebelum berangkat terbang, pasukan para KST melagamkan mars untuk menaikkan moral mereka “..naar Djokja.. naar Djokja..”.

Penyerbuan mendadak ke Yogyakarta ini tidak pernah diduga oleh Pemerintah Republik sebelumnya. Berhubung Komisi Tiga Negara (KTN) masih berada di Kaliurang, Yogyakarta. Pengalaman lebih dahulu membuktikan bahwa Belanda akan kembali mengulang hal serupa seperti yang dilakukannya pada Agresi Militer ke-1, 21 Juli 1947. 

Pesawat Bomber KNIL di Lapangan Terbang Andir, Bandung

Saat itu, Belanda mengumumkan bahwa pasukannya telah melintasi garis demarkasi Van Mook pada pukul 00.00. Berdasarkan kenyataan itu, Kolonel TB Simatupang mencoba meyakinkan Bung Hatta. Secara logis, Bung Hatta meyakinkan bahwa kemungkinan Belanda menyerang sangat tidak masuk akal. Sedangkan, para pemimpin militer sudah melihat kemungkinan akan datangnya serangan Belanda sehingga militer telah menyiapkan Perintah Siasat dari Panglima Besar Soedirman.

Melalui siaran radio hari Sabtu, 18 Desember 1948, Wakil Agung Mahkota Kerajaan Belanda, Dr. Louis Van Beel, mengeluarkan maklumat bahwa ia akan mengumumkan sesuatu pada esok pagi. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak para pemimpin Republik. Tidak biasanya pengumuman dari Belanda datang pada hari Minggu. Kecurigaan terhadap kemungkinan serangan pun semakin meningkat.

Pengambilan keputusan yang berjalan alot di KTN antara kedua negara bersengketa telah membuat Belanda memainkan intrik. Saluran komunikasi sengaja diputus. Kemudian, Van Beel juga ‘memainkan’ surat Merle Cochran, komisioner KTN. Sehingga, Perdana Menteri Dr. Drees di Den Haag pun tidak mempunyai pilihan lain selain memberi otorisasi kepada Simon Spoor untuk melaksanakan Aksi Polisionil (sebutan Belanda untuk tindakan agresi militer ke Republik Indonesia) setelah menimbang semua laporan ia terima.

Sabtu malam pukul 21.00, Jusuf Ronodipuro dipanggil menghadap ke Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka) dalam kapasitasnya sebagai perwakilan delegasi Republik. Dalam kesempatan itu, Jusuf menerima sebuah surat dari Wakil Agung Mahkota bahwa Pemerintah Kerajaan Belanda merasa telah tidak terikat dengan perjanjian Renville.

 “The said agreement should be terminated and is considered as no longer binding as from Sunday, 19 December, 1948, 00.00 hours Batavia time.” (hal.15)

Peran Delegasi Republik di Batavia dalam menyiarkan berita soal penyerangan ini sangat penting. Mereka kemudian menyusun laporan soal kejadian itu dan segera mengirimkan telegram kepada Duta Besar Republik Dr. Soedarsono dan Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, melalui saluran telegram milik Konsulat Jenderal India di Jakarta. Sehingga, pada hari Minggu keesokan harinya All India Radio di New Delhi sudah dapat menayangkan berita bahwa tentara Belanda telah menyerang dan membom Yogyakarta.

Minggu, 19 Desember 1948. Pesawat pertama pengangkut KST berangkat dari Andir, Bandung. Menyusul pesawat lainnya yang terang setiap satu menit. Pukul 08.00 pagi Dr. Louis Beel membacakan pengumuman yang isinya serupa dengan suratnya kepada Delegasi Republik di Batavia. Sedangnya, 3,5 jam sebelum pidato Beel dibacakan, tepat pukul 05.15 Landasan Udara Magoewo sudah dihujani bom oleh tiga pesawat pengebom taktis B-25. Hal ini menandai serangan pengecut dari pihak Belanda sebelum dikeluarkannya pernyataan perang.

 
Pesawat Bomber KNIL menuju Yogyakarta

Pemboman terus berlanjut hingga KST berhasil menyelasaikan tugasnya dan pasukan tentara KNIL bersama Marinir dari KM (Koninklijke Marine- Angkatan Laut Kerajaan Belanda) dapat menyerbu ke Yogyakarta. Dengan kondisi demikian, Presiden Soekarno segera mengadakan rapat kabinet guna menentukan langkah apa yang akan diambil oleh Pemimpin Republik. Dalam sebuah catatan, rapat kabinet tersebut dihadiri oleh Panglima Besar Soedirman. Namun, Panglima Besar tidak ikut masuk di ruang rapat melainkan menunggu di ruang tamu Istana Presiden. Hal ini menjadi indikasi awal bagi anak judul buku ini, yaitu pertikaian pemimpin sipil-militer.

Briefing Koninklijke Marine, 18 Desember 1948*


Keputusan telah diambil. Bung Hatta mengirim telegram untuk memberikan mandat kepada Menteri Urusan Kemakmuran, Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membuka Pemerintahan Darurat Republik seandainya pemimpin Republik di Yogyakarta ditahan Belanda. Kemudian, pesan itu juga diteruskan bahwa Menteri Keuangan Alex Maramis yang sedang berada di India untuk membuka Exile Government.

Presiden beserta staf akan tinggal di Istana Presiden. Presiden Soekarno menyatakan tidak akan ikut bergerilya bersama Panglima Besar Soedirman, seperti sudah direncanakan sebelumnya bila Yogyakarta diserang musuh. Kenyataan tersebut melukai hati Panglima Besar Soedirman. Bahwa Soekarno ‘melanggar’ janjinya sendiri untuk ikut memimpin perjuangan gerilya. Dengan berbagai alasan, Panglima Besar Soedirman terpaksa menerima kenyataan bahwa Pemimpin Republik telah ‘menyerah’ kepada Belanda.

Pertempuran tidak hanya terjadi di Yogyakarta saja. Pertempuran guna menghalangi mobilisasi pasukan Belanda juga dilakukan di kota Solo, dipimpin oleh Komandan Wehrkreise (Kantong Militer) I, Letkol Ignatius Slamet Riyadi. Atas perintahnya, Solo kemudian dibumihanguskan dan pasukan Republik mengundurkan diri ke luar kota untuk melakukan perlawanan balasan secara mendadak.

Panglima Besar Soedirman dilantik sebagai Pemimpin Angkatan Perang


Serangan Belanda yang bertujuan meringkus Pemimpin Republik serta menghabisi tentara Republik ini berjalan begitu singkat sehingga pada Minggu siang, Soekarna beserta pemimpin lainnya yang masih berada di Istana ikut ditangkap Belanda. Soekarno, Sjahrir, dan Agus Salim diasingkan ke Parapat, Sumatera Utara. Sedangkan, Bung Hatta, Ali Sastroamidjoyo, Suryadarma, dan Moh. Roem, menyusul diasingkan ke pulau Bangka.

Dalam keadaan gerilya, Panglima Besar Soedirman menerima kabar bahwa Pemimpin Republik telah menyerah. Mereka ditangkap di Istana. Hal ini tentu sangat menyakitkan hati Panglima Besar. Bagaimanapun, mereka tidak melakukan perlawanan sedikit pun dan membiarkan diri mereka ditangkap musuh. Keadaan ini ikut memperburuk kondisi kesehatan Panglima Besar yang memang sudah ringkih.

Serangan Umum 1 Maret 1949

Perlawanan demi perlawanan pun terus dilakukan di berbagai kota. Belanda masih bernafsu untuk menghabisi Panglima Soedirman. Sedangkan, upaya diplomasi melalui PBB pun terus dilakukan. Dewan Keamanan diminta segera mengeluarkan resolusi terkait dengan agresi militer Belanda kepada suatu negara berdaulat. Sementara perjuangan diplomasi terus berlanjut, tentara Republik berusaha menyerbu kembali Yogyakarta. Serangan yang kemudian terkenal dengan sebutan “Serangan Oemoem 1 Maret 1949”, dipimpin oleh Komandan Wehrkreise III, Letnan Kolonel Soeharto, yang kelak menjadi Presiden selama 32 tahun.

Serangan itu dimulai usai bunyi sirine tanda jam malam berakhir. Letkol Soeharto mempimpin sendiri pasukannya untuk menyerbu Yogyakarta. Serangan tersebut berlangsung dengan sukses. Bukan saja mengejutkan tetapi juga terkoordinasi dengan cermat. Pertanyaan kemudian muncul, siapakah yang memberi otorisasi kepada Letkol Soeharto untuk melaksanakan serangan. Perintah Panglima Besar Soedirman kepada Sultan Hamengkubuwono IX, untuk tetap tinggal di kota dilaksanakan sepenuhnya oleh Sultan. Sehingga, Sultan dapat mudah berkoordinasi dengan Letkol Soeharto yang berhubungan dengan Sultan lewat kurir, bahkan bertemu sendiri dengan Sultan sehingga dicapai kesepakatan untuk melakukan serangan. Serangan ini juga berarti memberi pernyataan kepada dunia bahwa pasukan militer Republik masih ada. Dengan cerdik, ketika serangan dimulai, dari basis operasi radio di Wonosari, tersiar kabar bahwa pasukan Republik menyerang dan dapat menguasai Yogyakarta. Sebuah pukulan besar bagi Belanda yang kemudian menyerang Wonosari dengan sia-sia karena telah ditinggalkan pasukan Republik.

Letkol Soeharto melapor kepada Sultan Djokja
Melalui UNCI (United Nations Commision for Indonesia), perjuangan diplomasi Republik membuahkan hasil yaitu dengan dibebaskanny Pemimpin Republik. Pembebasan tersebut dilakukan setelah Belanda mendapatkan desakan bertubi-tubi dari komunitas internasional. Belanda sebagai negara penerima Marshall Plan yang digulirkan Amerika Serikat untuk membangun kembali perekonomian negara dicurigai menyalahgunakan dana tersebut untuk menyerang Indonesia, suatu tuduhan yang kemudian terbukti.

Kembalinya Panglima Besar dan Silang Pendapat

Persoalan kemudian mengemuka menjelang pelaksanaan gencatan senjata. Pada sidang kabinet 15 Juli, pemerintah secara terbuka menuduh pemimpin militer menyatakan gencatan senjata sulit dilakukan. Militer menganggap tidak ada jaminan bahwa Belanda akan datang ke KMB (Konferensi Meja Bundar).

10 Juli 1949, Panglima Besar Soedirman kembali ke Yogyakarta, meninggalkan persembunyian selama perjuangan gerilya berlangsung. Panglima Besar kembali ke Yogyakarta dengan dijemput oleh Letkol Soeharto. Ikut bersama rombongan adalah wartawan harian Pedoman, Rosihan Anwar. Petikan wawancara Rosihan Anwar dengan Panglima Besar segera dikirim ke Batavia.

Dalam catatannya, Rosihan Anwar menulis bahwa Jenderal Soedirman tidak menyetujui garis kebijaksanaan politik para pemimpin Republik yang berada di Bangka. Perjanjian Roem-Roijen yang diterima tanggal 7 Mei 1949, tracee-Bangka, seperti digariskan Soekarno, pada pokoknya akan menghentikan perang gerilya dan bersedia ikut dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, guna merundingkan penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Republik Indonesia Serikat, tidak dapat diterima sepenuhnya oleh Panglima Besar Soedirman. Akibatnya, guna menghindari kesan terjadinya perpecahan pendirian di pucuk pimpinan Republik, Panglima Besar Soedirman harus bisa diajak kembali ke Yogyakarta.

Panglima Besar Soedirman bersama Letnan Kolonel Soeharto

Panglima Besar Soedirman menampakkan dirinya kembali ke tengah khalayak yang menunggunya dengan pakaian sederhana yang selama itu digunakannya bergerilya, pakaian sederhana seorang petani Jawa dengan ditutupi mantel Tentara. Sebuah sikap yang jujur pada sejarah, mengutip penilaian TB Simatupang.

Panglima Besar Soedirman kemudian melapor ke Istana untuk bertemu Presiden dan Wakil Presiden. Setelah itu, Panglima Besar beranjak ke Alun-Alun Utara untuk menyambut parade pasukan. Sore itu, Panglima Besar Soedirman selalu berdampingan dengan Soehart, salah satu perwira militer kepercayaannya. Sosok yang memberikan jaminan pribadi sehingga Panglima Besar bersedia meninggal tempatnya memimpin perang gerilya.

Melalui berbagai pembicaraan, pada 1 Agustus 1949, gencatan senjata secara resmi diumumkan. Gencatan senjata itu adalah kebijakan politik yang konon sudah dirancang Presiden Soekarno dalam pengasingannya di Bangka.

Pada hari itu juga, Panglima Besar Soedirman menulis surat kepada Presiden Soekarno, yang pada intinya melukiskan akibat dari berubahnya kebijakan yang ditempuh para pemimpin politik. Sejumlah perwira militer telah mengalami geestelijke harakiri (bunuh diri jiwa). Meninggal akibat penderitaan batin. Panglima Besar menunjuk contoh Letjen Oerip Sumoharjo dan Kolonel Tjokronegoro. Kemudian, Panglima Besar juga meminta persetujuan atas pengunduran dirinya dari jabatan Panglima Besar Angkatan Perang dan Kepala Staf Angkatan Perang, disertai dengan opsi keluar sama sekali dari ketentaraan. Surat yang hendak dikirimkan oleh Kolonel AH Nasution itu kemudian dibaca dan Kolonel Nasution menemui Panglima Besar diruangannya. Kemudian, melalui pendapatnya yang menegaskan persatuan pemimpin republik, Panglima Besar batal mengirim surat itu.

Panglima Besar menitip pesan pada Kolonel Nasution, mengharapkan agar Presiden Soekarno sendiri yang memberikan pidato di radio untuk memerintahkan gencatan senjata, berikut kebijakan politik yang mendasarinya.

Sejak hati itu, meski tidak jadi mengundurkan diri, Panglima Besar Soedirman praktis menarik diri dari segala macam kegiatan kemasyarakatan. Presiden Soekarno sendiri sering merasa tidak nyaman, khusus pada sikapnya yang memaksa memberlakukan gencatan senjata yang tidak disetujui Panglima Besar Soedirman.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Membaca kembali sejarah peristiwa yang menentukan keberlangsungan sebuah Republik adalah ibarat menyusun puzzle. Kemudian, kepingan puzzle yang berserakan itu kembali menyatu menjadi sebuah gambar utuh. Begitulah, pembacaan atas sejarah Republik ini dilangsungkan. Pembacaan yang menggabungkan kembali berbagai pengalaman sejarah lainnya.



Doorstoot Naar Djokja, dewasa ini menjadi sebuah referensi sekaligus catatan sejarah perjalanan bangsa yang hadir ditengah modernisasi yang dialami bangsa ini. Buku ini juga penuh dengan catatan sejarah pelakunya. Entah itu pejuang Republik, tentara KNIL, maupun anggota komisioner KTN. Seperti disebutka terlebih dahulu oleh penulisnya, maka catatan tambal sulam ini menjadi lebih bermakna karena pembaca disuguhkan kepada  bukti otentik melalui catatan yang bersifat personal itu.

Personally, saya menggarisbawahi beberapa nama yang kemudian tercatat dalam sejarah Republik sebagai ‘pengkhianat’. Pembentukan dewan-dewan bersenjata di beberapa daerah yang kemudian mencoba melakukan kudeta pasca diberlakukannya rasionalisasi angkatan perang adalah bukti ketidakpuasan militer terhadap kebijakan pemimpin politik. Memang pada akhirnya TNI berhasil menumpas pemberontakan tersebut. Namun, sangat disayangkan bahwa Republik telah kehilangan putra-putra terbaiknya. Meniru ucapan Syafruddin Prawiranegara menjelang ajalnya “rasanya lebih sakit dijajah bangsa sendiri...”.

Pengalaman long-range reading bersama Doorstoot Naar Djokja telah membuka wawasan pada sebuah tabir yang melingkupi sejarah Republik. Lengkap dengan kiprah dan sepak terjang tokoh-tokoh yang berperan di dalamnya. Khusus mengenai silang pendapat pemimpin militer-sipil, semuanya terletak di tangan pembaca. Siapa yang paling benar? Sejarah telah mencatat.

Judul        : Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer
Penulis     : Julius Pour
Penerbit   : Penerbit Buku Kompas
Tahun      : 2009
Tebal       : 435 hal.
Genre      : Sejarah

 
Paninggilan, 3 Maret 2013.

* image courtesy Digitale Museale Collectie Nederland, http://www.netwerkoorlogsbronnen.nl

Tidak ada komentar: