Sabtu, 26 Oktober 2013

1

“Only by meeting you, warm feeling completely filled my heart.”

Nina mengirim email singkat padaku. Seketika mendung diluar berubah menjadi pagi dengan semburat mentari yang menakjubkan. Ah, itu hanya khayalanku saja. Hanya imajinasi pengalih perhatian. Aku mendadak kangen pada Nina. Aku merindukan kembali pagi dimana aku dan Nina saling berkirim pesan pendek lewat ponsel.

“You text, and i instantly smile.”

Satu jawaban dari Nina yang selalu kurindukan.

*

Aku menikmati secangkir kopi hitam pagi ini sembari menatap jendela dari pantry. Pagi di Jakarta adalah sebuah keajaiban bagi mereka yang tidak pernah berharap apapun. Terlalu banyak kejutan disana.

“Pagi, Gus. Nanti malem, ada waktu?” Erika menyapaku.
“Eh, kamu Rik. Kenapa? Ada yang penting?”aku balik bertanya.
“Nggak sih. Tapi,...” Erika terlihat ragu
“Tapi apa, Rik?”
“Nggak jadi deh. Lain kali,..”

Belum selesai kalimat Erika, aku sudah menggamit lengannya. Sebuah awkward moment lain diantara aku dan Erika. Erika mematung sambil perlahan menatap tanganku yang memegangi lengannya. Mungkin, Erika pikir mirip adegan di drama-drama Korea.

“Oke, kita duduk dulu bentar.” Aku mengajak Erika duduk.
“Aku nggak ada waktu sekarang, Gus.” Erika mulai merasa tak nyaman.
“Kenapa? Kamu mau ngajak aku nemenin kamu kemana lagi?  ” nada suaraku mulai meninggi.
“Bukan gitu, Gus.”
“Terus apa? Mana Arga yang selalu kamu banggain itu? Dia jalan sama perempuan lain?”

Diam. Hanya diam. Erika tidak bicara sepatah kata pun. Erika beranjak menuju jendela tak jauh dari tempatku berdiri. Erika mulai menangis. Aku bisa melihat bulir air mata mulai berjatuhan di pipinya. Andai ini bukan kantor, barangkali Erika sudah kurangkul atau kupeluk. Akan kubisikkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku pun sama termangu. Tak mampu berucap apapun untuk menenangkan Erika. Aku mengalihkan pandanganku lagi ke luar sana.

Erika mulai mengangis terisak. Aku tidak ingin terjebak dalam situasi sulit seperti ini. Jadi, aku beranikan diri untuk menatap Erika. Erika balik menghadapku. Matanya seakan berkata, “Dengerin aku, Gus.”

Erika berada di pelukanku sekarang. Air matanya semakin mengalir deras.

“Gus. Arga nikah, Gus... Tapi....gak sama aku...” Erika bicara sambil terisak.

Aku menenangkan Erika dan membuatkannya secangkir teh hangat. Matanya kini sembap ketika tangisnya reda.

“Aku masih belum bisa terima kenyataan ini, Gus. Makanya, aku mau kamu anterin aku.”
“Anterin kemana? Ketemu Arga? Bah, males banget. Udah tinggalin aja sih.”
“Aku masih sayang dia, Gus.”
“Ah, Erika. Kamu masih sayang dia, terus dia nikah sama orang lain, gitu?”

 Erika terdiam lagi.

“Erika, sayang. Look at yourself. Aku yakin kamu deserve more than him.”

Ada jeda sebelum Erika kembali bicara,

“Nanti anterin aku pulang ya, Gus.”
“Apa sih yang nggak buat kamu?” kataku sambil tersenyum.
“Ih, gombaaal.”

*

Erika tertidur di pangkuanku usai menamatkan “Bridget Jones’s Diary”. Erika memintaku untuk memilihkan film yang kami tonton malam ini. Malam sudah larut dan aku harus kembali bekerja besok. Begitu juga Erika. Namun, aku tidak kuasa meninggalkan Erika.

“Halo, Nin.”
“Kamu lagi dimana, Gus? Kata Mama kamu belum pulang. Lembur?”
“Nggak, Nin. Aku lagi di rumah temen nih. Kamu udah selesai? Jemput aku dong.”
“Nggak bisa pulang sendiri?”
“Aku jelasin semuanya pas kamu dateng, Nin.”
“You’re not in a big shit, right?”
“Absolutely no. Ntar aku bbm alamatnya ya. I’m waiting.”
“Cepetan. Jangan lama!”

Perlahan aku melepaskan genggaman tangan Erika. Aku mulai menata diriku lagi dan berkaca pada semua yang terjadi hari ini. Lebih baik seperti ini, Erika tidak perlu cari pelarian untuk hatinya yang terluka. Cukup menemaninya nonton semalaman tanpa kissing or even quickie. Catat.

Aku berkeliling di ruang tamu. Perhatianku tertuju pada sebuah amplop coklat.

Suatu saat nanti jika aku yang pergi, engkau baiknya memilih tidak percaya pada kehilangan.
Erika, maafkan aku.

Arga

Kalimat pembuka di secarik kertas yang terselip dalam sebuah undangan pernikahan. Mungkin inilah mengapa Erika begitu dramatis hari ini.

Bel pintu rumah Erika berbunyi. Aku mengintip lewat jendela depan. Nina sudah berdiri di depan pagar. Raut mukanya terlihat seperti seorang kekasih yang marah dan akan menyemprot selingkuhan kekasihnya.

Rupanya, bel itu membangunkan Erika.

“Siapa, Gus. Kok ada tamu malem gini, sih?”Erika memelukku dari belakang
“Maaf, Rik. Aku minta Nina jemput aku kesini.”
“Jadi, kamu nggak akan nginep malem ini? Ya udah deh.” Erika tampak kecewa sambil membukakan pintu pagar.

Nina langsung menghampiriku. Aku tidak suka tatapannya pada Erika. Erika terlihat berantakan usai bangun tidur.

“Malem. Mbak Nina ya? Kenalin, saya Erika.” Erika mencoba bersikap ramah pada Nina.
“Bagus udah cerita soal aku?” jawab Nina ketus.
“Baru dikasih tahu tadi kok, Mbak?” jawab Erika.
“Terus, ngapain si Bagus kamu ajak ke sini?” Nina mulai marah

Aku mencoba menahan Nina.

“Nin, masuk dulu yuk. Kita ngobrol di dalem.” Kataku sambil merangkul Nina.
“Mari, Mbak Nina. Silakan.” Erika mengikuti kami di belakang.
“Awas ya Gus kalo kamu macem-macem sama dia.” Nina mengancamku.

*

Erika menjelaskan semuanya kepada Nina. Aku dengan sabar duduk disamping Nina. Menjaganya jangan sampai lepas kendali. Aku tahu, itu semua karena Nina sayang padaku. Erika tampak seperti pagi tadi. Ia menangis lagi.

Nina memandangiku.

“Gus, bilangin dia dong, kamu mau anter aku mau ke toilet dulu.” Nina berbisik.

Aku dan Nina meninggalkan Erika yang masih menangis sendu di sofa yang sama saat ia tidur di pangkuanku. Aku dan Nina tak henti memandanginya dari kejauhan. Usai kembali dari toilet, Nina membawakan amplop coklat yang tadi aku baca.

“Gus, bagus banget undangannya. Menurut kamu bagus gak buat undangan nikahan kita nanti.”

Aku terkejut. Aku tidak ingin Erika tahu soal ini. Aku yakin Erika akan menghabiskan air matanya malam ini bila sampai dia tahu bahwa aku dan Nina membaca undangan itu.

“Hmm... Bagus, Nin. Kamu simpen lagi sana, ntar ketahuan Erika. Kasihan dia.”
“Sebentar, aku mau baca dari siapa ini.” kata Nina.

Erika masih menangis. Tangisannya kini terasa begitu pilu. Bagai tangis Sinta ketika ditawan Rahwana.

“Gus..” Nina menggumam.

Aku berbalik menghadap Nina yang tampak tertegun.

“Kenapa, Nin?”

Nina seketika pingsan. Tanpa menyisakan penjelasan.
 

Pharmindo, 25 Oktober 2013.