Sebetulnya, untuk menuliskan hal yang demikian saya masih kurang sreg, mungkin karena melibatkan makhluk Tuhan bernama monyet. Memangnya ada apa dengan monyet sehingga saya masih merasa seperti itu? Baiklah, tidak usah jadi pembahasan karena bukan tanpa maksud juga Tuhan menciptakan monyet. Kalau monyet tidak dipersilahkan turun ke dunia ini barangkali Darwin kehabisan teori untuk mengungkapkan idenya tentang evolusi manusia. Biar begitu, monyet juga memberi makna khusus bagi beberapa penulis. Satu yang saya tahu adalah Mahesa Djenar Ayu, dengan karyanya berjudul “Mereka Bilang Saya Monyet”. Menarik, karena Djenar tidak hanya mampu menulis tetapi juga mengadaptasinya ke layar lebar.
Merujuk pada judul diatas, asumsi umum yang berlaku di dunia kita saat ini adalah suatu masa dimana anak muda menjelang dewasa mulai mengenal dan ingin tahu apa itu cinta. Biasanya ini terjadi pada masa akhir SD berlanjut hingga SMP, dan SMA. Kalau kau mau percaya, hal seperti itu tidak hanya terjadi pada hidupmu yang sudah begitu, tetapi juga terjadi dalam dinamika kehidupan saya. Maka, ketika kau memintaku bercerita tentang mereka aku sempat bingung harus memulai dari mana. Jujur saja, terlalu banyak nama yang harus saya ingat dan sebut-sebut lagi sambil membuka berkas-berkas kenangan penuh debu disela-sela memori yang terbatas ini.
Awalnya hanya rasa biasa. Entah mengapa jadi suka. Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati. Begitulah yang saya baca dari buku pantun di perpustakaan SD kami yang baru direnovasi. Konon, ada beberapa lembar rupiah yang mengalir dari Yayasan yang dikelola Pak Habibie sehingga perpustakaan SD kami bisa berfungsi layaknya sebuah perpustakaan. Imbalannya, ada banyak buku tentang profil, biografi, dan kisah-kisah pencapaian lainnya di lemari yang masih bau gergaji itu.
Kembali ke pantun tadi. Saya masih belum menyadarinya ketika saya perlahan-lahan mulai menyukai seseorang dari masa lalu. Sebut saja teman TK, namanya F. Entah waktu masih kelas 5 atau di kelas 6, ingatan tentang F mulai pudar. Gantinya, saya mulai melirik teman sekelas. Sebut saja namanya E. E ini rupanya “bos” di kelompok kecil yang guru kami bentuk untuk setiap tugas kelompok. Entah sebab apa Bapak Guru yang baik itu mempersilahkan nama saya masuk di kelompoknya. Omaigat. That’s it.
Kalau saya pikir-pikir lagi, semua kejadian yang berasal dari pembagian kelompok itu hanyalah sebuah kesalahan. Waktu itu, di sekolah kami sedang ramai-ramainya setiap murid punya kameumeut, bahasa gaulnya ‘kecengan’. Saya perhatikan betul, si Ne ngeceng D, si W ngeceng A, dan masih banyak lagi. Kebetulan, dua orang pemalas di kelompok kami, saya dan N, lagi mengobrol karena si ketua kelompok terlalu sibuk dengan anak buahnya yang lain. N bilang E ngecengin saya. Saya tak lantas percaya karena saya tahu betul tidak ada tanda-tanda dari E. Tetapi, si N ini masih keukeuh punya informasi rahasia (maklum, dulu itu kalau sudah main rahasia bisa jadi sesuatu yang benar dan dapat dipercaya). Saya akhirnya menuruti saja dan diam-diam mulai memperhatikan E. And the story goes bang bang boom.
Musim penuh cinta betul-betul saya rasakan. Dari wanginya pun sudah bisa ditebak. Kelas kami selalu wangi setiap hari. Bukan karena semprotan pewangi ruangan rasa mawar melati. Semarak wewangian itu hadir semerbak dari kertas loose leaf warna-warni. Love is in the air. Rupanya,ada beberapa dari kawan kami yang berniat menulis surat cintanya yang pertama dan kesekian kalinya untuk kemudian dititipkan atau sengaja ditinggal di kolong meja. Siapa tahu sang pujaan yang membacanya.
Agak non-sense memang untuk jalan pikiran anak SD waktu itu. Walaupun begitu, saya tidak terbawa oleh arus deras saat itu karena beberapa teman lelaki saya juga melakukannya. Hanya untuk mengungkapkan kata-kata yang sekarang nilainya adalah: Gombal! Saya pikir saya lebih baik melakukannya di rumah saja sehingga mudah-mudahan kata-katanya akan lebih teratur sehingga membuat perasaan E senang.
*
Baiklah, aku tahu kau masih penasaran. Sebentar, aku nyalakan dulu jatah rokok dari atasanku. Surya Pro Mild. Tahan dulu, aku masih mau menyeruput kopi susu yang sedari tadi mulai dijilati semut-semut hitam sialan.
Semuanya terjadi begitu saja and everything’s messed up! Dunia anak-anak adalah dunia bermain betul-betul saya alami, rasakan, dan pahami. Karena sekolah siang, saya selalu bermain sejak Bapak berangkat kerja sampai menjelang jam 11 siang. Pada hari naas itu, saya lupa bahwa saya harus menulis surat untuk si E, pujaan hati yang kian hari kian mempesona dan membakar rasa di dada. Sehabis mandi, saya tidak punya waktu untuk berpikir mengenai apa yang harus saya tulis. Kata-kata itu seketika buyar ketika saya berlari menendang bola dalam terik matahari pagi tadi. Jadinya, menguap begitu saja dan saya benar-benar tidak punya ide.
Untung saja Tuhan menjadikan saya orang yang to the point (waktu itu). Dengan penuh percaya diri, pada selembar kertas loose leaf wangi bunga lily made in China dan bermotif daun-daun kering kecoklatan. Saya menulis: E, I L U. Lengkap dengan tanda hati yang tergores tipis. Saya lipat dan segera saya masukkan amplop dengan warna senada milik adik perempuan saya**). Saya masukkan ke dalam tas, dan saya berangkat sekolah naik sepeda GT yang garpu depannya sudah diganti (yang waktu itu juga lagi musim).
Seperti judul lagu John Paul Young, Love is in the Air
Sesampainya di sekolah, saya menunggu waktu yang tepat untuk memberikannya pada E. Saya sudah lupa bagaimana tetapi E mau saja menerima surat cintaku yang pertama,***) tanpa curiga. Beberapa saat kemudian, E terlihat begitu marah. Surat itu pun dengan segera berubah jadi bola kecil dan E membuangnya ke arah jendela, lalu pergi begitu saja bagai pesawat tempur.****)
Mereka yang usil tentu saja mengetahui kalau saya sudah menyatakan perasaan saya ke E. Dan apa yang terjadi selanjutnya tidak pernah saya duga, bermimpi pun tidak pernah, mereka semua menertawakan saya. Hasilnya, seisi kelas tahu. Yang lebih parah, sejak saat itu E, tidak pernah mau lagi bicara sama saya walaupun masih satu kelompok. Saya memang telah membuatnya malu tetapi saya masih terus memikirkannya. Saya sadari bahwa saya masih mendambanya karena rasanya ada sesuatu yang membuat saya harus menaruh perhatian padanya.
Menjelang perpisahan SD, kami masih belum mau bicara. Tepatnya, E masih belum mau bicara sama saya. Makanya, waktu itu, sehabis acara paturay tineung atau Perpisahan (tanpa Prom Night), saya segera pulang ke rumah dan melewatkan banyak acara yang sudah disiapkan. Buat saya, acara perpisahan hanyalah keinginan sebagian orang saja supaya dianggap punya nama dan meninggalkan kesan yang baik terhadap sekolah. Saya kayuh sepeda sendirian, tanpa teman-teman yang biasa menemani. Matahari belum meninggi, jalanan tampak sepi dan sedikit berdebu. Belakangan, sikap saya itu saya sesali karena itu adalah saat-saat terakhir kita bisa bercengkerama dengan sahabat yang selalu menemani sejak kelas 1 hingga 6 tahun kemudian. Yang saya dengar, beberapa dari kami larut dalam kesedihan dan menangis. Mungkin itulah yang namanya perpisahan.
Sejak perpisahan itu dan kami masuk SMP, saya belum pernah bertemu lagi dengan E. Saya masih menyimpan penasaran karena saya tidak mampu menahan ego untuk segera pulang ke rumah dan melupakan semuanya. Padahal, saya masih punya satu kesempatan untuk memberikan penjelasan pada E. Saya masih beranggapan bahwa kami akan dipertemukan kembali karena pada hakikatnya saya dan E masih berada di batas kota dan kolong langit yang sama. Kalaupun terpisah, itu hanya masalah jarak saja.
*
Sampai suatu hari, takdir mempertemukan kami kembali. Dan E, masih belum mau bicara, hanya mampu menatap mata saya yang terlanjur berlalu karena malu.
Paninggilan, 8 Juli 2010. 15.46
*) dari lirik lagu lawas “Teringat Selalu”, dinyanyikan oleh Tetty Kadi
**) Saya sadari kemudian, Don’t try this at home!
***) dari lagu lawas “Surat Cintaku”, dinyanyikan oleh Vina Panduwinata
****) dari lagu “Pesawat Tempur”, dinyanyikan oleh Iwan Fals, Album “1910”foto courtesy Picasaweb