Senin, 19 Juli 2010

Hujan dan Hal-hal yang (Belum) Selesai

Aninda,
Diluar masih hujan. Rintiknya masih bisa kudengar sangat jelas. Menghantam ruang sunyi disekitar dinding hati. Entah hatiku yang sebelah mana. Pekaknya pun semakin perih kurasa, menimbulkan prahara. Membangunkanku dari lamunan panjang.

Aninda, betapa kuingin mendendangkan lagu bisu sepanjang jalan sunyi. Nyanyian yang hanya bisa kau dengar lewat setiap detak jantungmu. Dalam hujan yang selebat ini kadang-kadang aku selalu membayangkan sesuatu. Aku melihat kau bersama anak-anak kita menyanyikan lagu hujan itu “tik tik tik... bunyi hujan di atas genting...”. Kalau sudah begitu, giliran aku yang merinding. Betapa lirik lagu masa kecil kita dahulu itu berubah jadi momen-momen mengerikan. Aku selalu terbayang matinya seseorang oleh penembak misterius yang entah darimana asalnya. Barangkali, aku hanya terbawa cerita dalam buku itu saja*.

Aninda. Betapa derasnya hujan siang ini mengingatkanku pada dirimu. Usai hujan yang selalu basah di pinggir kota itu. Senja belum merambat, hanya wanginya kadang tercium. Begitulah, menjelang senja terakhir di batas kota, aku cium keningmu sambil berkata selamat tinggal. Kau tidak mengelak sedikitpun. Air mata yang sempat meluncur pun tak kau hiraukan. Kau hanya menatapku dalam. Mungkin hatimu menyanyikan lagu Dian Pisesha itu, “malam ini tak ingin aku sendiri, kucari damai bersama bayanganmu...**”. Tentu kau harap aku juga menyanyikan lagu lain, “bila kau seorang diri, jangan engkau bersedih... bila kau seorang diri, kuingin menemani... kan kuceritakan tentang sekuntum mawar merah... kan kunyanyikan lagu tentang asmara...***”.

*****

Tahukah kau Aninda, bahwa aku pun sama adanya dengan dirimu. Diantara lembaran-lembaran terbuka dan Horison yang menggelepar di atas kasur lipat itu, aku semakin kesulitan menuliskan cerita untukmu. Padahal, aku punya banyak cerita yang hanya kusimpan di kepalaku saja. Bukankah kau selalu ingin tahu konspirasi-konspirasi untuk menentang Hitler, lalu tentang kenapa tiba-tiba Petruk jadi Guru? Belum lagi bedanya Orang dan Bambu Jepang dengan heterogenitas masyarakat kita dan kenapa laki-laki lain dalam secarik surat selalu membuatku resah hingga berujung pada gelisah terindah.

Aku tahu semua tapi aku belum tahu kapan harus menuntaskannya. Hingga kau bisa beristirahat dengan tenang setiap malam. Tanpa harus risau menunggu cerita-cerita yang kukirimkan lewat angin malam. Aku hanya tidak ingin kau hanya mengendus bau rokokku saja setiap malam tanpa ada cerita untuk dibaca menjelang tidurmu. Hujan mulai mereda. Senja belum akan tiba. Aku masih disini, mencoba mengikat makna. Diantara melodi-melodi harmoni Diego Modena dan Jean-Phillipe Audin hingga nyanyian sunyi Olivia Ong. Masih teringat pada butir embun yang mampir di kacamatamu, aku menulis:

Antara hujan, basah, dan gelisah
Mana yang kau restui
Merangkai untaian paling indah
Menghujam sepi, meretas sunyi



Paninggilan, 19 Juli 2010. 15.15


*”Penembak Misterius”, Kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma

** dari lagu “Tak Ingin Sendiri”, dinyanyikan oleh Dian Pisesha

*** dari lagu “Bila Kau Seorang Diri”, dinyanyikan oleh Nur Afni Octavia


Dengan ingatan pada hal-hal yang belum selesai:

Ajip Rosidi, Orang dan Bambu Jepang, Pustaka Jaya, 2003

Darma Aji, Menantang Diktator, Penerbit Buku Kompas, 2006

Sindhunata, Petruk Jadi Guru, Penerbit Buku Kompas, 2006

Budi Darma, Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, Bentang Pustaka, 2008

Majalah Horison, Juni-Juli 2010


Tidak ada komentar: